Lanjut ke konten

8 Alasan Tolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Oleh: Wido Supraha (Direktur Adab Insan Mulia)

Menambah deretan persoalan yang dikaitkan dengan PDI-P akhir-akhir ini, mulai dari RUU Haluan Ideologi Pancasila yang mendorong kadernya dicopot dari Ketua Panja, dilanjutkan dengan meragukan kesetiaan Sumbar pada Pancasila oleh salah satu pimpinannya, Puan, yang mendorong keluarnya PDI-P dari pertarungan Pilgub di Sumar, dilanjutkan dengan kasus pelajaran sila ke-IV Pancasila yang menggunakan logo identik PDI-P, kini PDI-P kembali berusaha memasukkan kembali RUU P-KS yang pada periode DPR lalu berhasil digagalkan karena mengandung banyak persoalan mendasar di dalamnya, merujuk berita:

https://nasional.kompas.com/read/2020/09/10/23083911/fraksi-pdi-p-berharap-ruu-pks-kembali-masuk-prolegnas-prioritas?fbclid=IwAR3LaWtRwXa84V_wNyZjCIakRZL9saacvRgNl31ODsnlvCin6vcolopW-XE

Apakah motif PDI-P memperjuangan RUU yang sudah ditolak ini?

Mengapa bulan ini begitu masif Rancangan Undang-undang ini dipaksakan untuk diadopsi oleh kampus-kampus negeri, padahal bentuknya masih RUU?

Perlu diketahui, RUU ini memang menggunakan judul yang sulit ditolak oleh publik karena mengesankan pembelaan pada perempuan, dengan judulnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Namun jika ditilik lebih mendalam mulai dari Naskah Akademik hingga RUU itu sendiri akan dapat disimpulkan bahwa RUU ini sangat berkiblat dengan ideologi trans-nasional Feminisme Radikal dari Barat.

Sebagai Negeri yang Berketuhanan Yang Maha Esa, patut dipertanyakan, apakah RUU ini memang menomorkesekiankan Tuhan, dan menomorsatukan Barat?

Barat memang punya sejarahnya sendiri yang kelam dan kelabu tentang hak-hak perempuan di masa kepemimpinan agama, namun di NKRI, negeri dengan mayoritas umat Islam ini, perempuan tidak mendapatkan legitimasi agama untuk didiskriminasikan. Justru sebaliknya, perempuan mendapatkan tempat yang sangat terhormat dengan bimbingan nilai Islam yang dianut mayoritas di negeri ini, Islam.

Tuduhan para aktifis feminis bahwa agama adalah sumber diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, sumber patriarki, sumber dominasi, adalah tuduhan yang keliru, menunjukkan rasa takjub yang besar pada Barat di satu sisi, namun memperlihatkan minimnya pemahaman akan Islam di sisi yang lain.

Jangan sampai kita menjadi Muslim yang masih shalat lima waktu (insya Allah), namun tidak mau mengambil konsep-konsep ‘Berketuhanan Yang Maha Esa’ dari Islam. Islam hadir untuk menghadirkan keserasian antara laki-laki dan perempuan, sehingga tidak muncul saling kecemberuan antara kedua jenis manusia ini, karena masing-masing hidup dengan tupoksinya masing-masing yang saling menguatkan.

RUU P-KS sendiri sebenarnya telah berhasil dipeti-eskan pada periode DPR kemarin, dikarenakan memliki sejumlah persoalan mendasar, namun baru-baru ini, PDI-P kembali bersemangat mengangkat RUU penuh persoalan ini kembali. Apakah persoalan RUU ini? Di antaranya adalah:

1. RUU ini membangun sistem hukum sendiri di luar sistem hukum nasional di Indonesia dan sistem hukum pidana atau hukum positif yang berlaku, yang tercermin pada KUHP yang telah ada.

Atas alasan inilah, DPR Komisi VIII maupun Menteru Hukum dan HAM sebenarnya telah menyepakati untuk menutup perjuangan RUU P-KS, dan menguatkan RUU KUHP. RUU KUHP sendiri berhasil disempurnakan, namun sayang sekali, menjelang ketok palu, muncul pidato Presiden yang kemudian menyebabkan tidak jadinya RUU KUHP itu diketok palu pada detik-detik terakhir, dan akhirnya RUU P-KS tidak jadi juga dibatalkan.

2. RUU ini memperjuangan konsep ‘gender’ sebagai konstruksi sosial dan kuasa pada tingkat perundang-undangan yang mendorong lahirnya kebebasan ‘hasrat seksual’ atau ‘orientasi seksual’.

Sebagaimana diketahui, bahwa Barat memisahkan antara ‘sex’ dan ‘gender’ untuk dapat membedakan antara ‘jenis kelamin’ dan ‘orientasi seksual’. Diskusinya adalah antara ‘nature’ dan ‘nurture’. Dampak masuknya teori ‘gender’ ini dalam perundang-undangan adalah menguatnya pondasi konstitusi untuk kelak dikembangkan memperjuangkan orientasi seksual generasi bangsa yang berbeda dengan jenis kelamin, yang singkatnya akan dapat menjadi pegangan kuat bagi pejuang seks sesama jenis, yang hingga hari ini bahkan belum memiliki payung hukum yang kuat di KUHP.

3. RUU ini tidak memberikan ketetapan nilai bagi hubungan seksual yang dilakukan di luar ikatan resmi pernikahan, dan justru sebaliknya RUU ini mendorong potensi kriminalisasi bagi suami dalam kaitannya dengan hubungan suami-istri di ranjang.

Hubungan badan tanpa ikatan pernikahan yang dilakukan secara sadar berpotensi besar mendapatkan legitimasi hukum dengan RUU ini. Bahkan teori permisifnya ‘hubungan badan secara sadar’ telah di-‘doktrin’-kan kepada para mahasiswa baru, studi kasus di salah satu kampus negeri.

4. RUU ini membolehkan hubungan seksual dengan cara apapun, selama tidak terjadi ‘kekerasan’, padahal Islam melarang hubungan seksual di luar pernikahan.

Tidak dijadikannya agama sebagai pondasi dasar bangunan RUU P-KS ini menjelaskan keringnya RUU dari nilai-nilai agama yang wajib ada. Bangsa Indonesia tidak membutuhkan RUU yang membuang agama dan tidak memasukkan nilai-nilai agama dalam kandungannya. Melepaskan nilai agama, pada akhirnya membuat generasi bangsa hanya akan mengekor pada nilai-nilai kebebasan Barat. Jika Barat hari ini sudah mulai menyadari kekeliruan mereka atas konstruksi laki-laki dan perempuan, mengapa kemudian NKRI ingin dibawa kepada cara hidup Barat?

5. RUU ini akan menjadi landasan kuat perubahan pada bangunan konstitusi lainnya seperti RUU Perkawinan Pasal 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 (muhallil), Pasal 11 (iddah), Pasal 31, Pasal 65, dll., PP No. 9 Tahun 1975, PP No. 10 Tahun 1983 diubah dengan PP No. 45 Tahun 1990, Kompilasi Hukum Islam.

6. RUU ini mendorong kebebasan tubuh khususnya dalam masalah seksualitas atas nama Hak Asasi Manusia (HAM).

Tubuh wanita dipandang oleh Barat sebagai objek utama penindasan oleh laki-laki. Pernikahan dengan demikian sering dianggap sebagai kemenangan dominasi laki-laki atas perempuan. Banyak aktifis feminis yang kemudian akhirnya tidak menyukai pernikahan, hanya karena kesombongan ingin dipandang setara dengan laki-laki. RUU ini mendorong konsep ‘relasi kuasa’ bagi wanita untuk bebas berekspresi atas nama kebebasan, meski bertentangan dengan nilai-nilai agama. Orang Tua yang mendidik penggunaan jilbab pada tubuh anak perempuannya, pun berpotensi menjadi soso-sosok kriminal di masa depan. Kelak penjara akan dipenuhi sosok-sosok pendidik yang berjuang dengan nilai-nilai agama dengan sebab RUU ini.

7. RUU ini dirumuskan oleh tim perumus naskah akademik yang di antaranya adalah para pegiat kebebasan seksual di Indonesia.

Dapat dibayangkan jika sebuah RUU dibangun di atas narasi akademik yang disusun para pejuang kebebasan seksual, dan jika RUU didukung pula oleh organisasi-organisasi yang berkorelasi dengan kebebasan seksual, kira-kira seperti apa kandungan isinya?

8. RUU ini mendefinisikan Kekerasan Seksual dengan di antaranya adalah pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, dan perbudakan seksual yang juga melingkupi rumah tangga.

Bagi masyarakat umum sekalipun, dapat bertanya, bagaimana jika sepasang manusia tanpa ikatan pernikahan melakukan hubungan dengan kontrasepsi tanpa dipaksa, bagaimana jika wanita melakukan aborsi tanpa dipaksa, dan bagaimana jika pelacuran dilakukan tanpa dipaksa? RUU ini sepertinya tidak akan mau menghukumi itu, karena rancangan dibuat berdasarkan tujuan dasarnya yang memang berseberangan dengan nilai agama. Kajian ini belum membahas mendalam, ke arah mana perbudakan seksual di rumah tangga bisa terjadi?

Demikianlah jika ideologi trans-nasional Barat dipaksakan kepada Negeri Pancasila yang Berketuhanan Yang Mahasa. Tuhan menjadi simbol belaka. Tuhan hanya untuk dikenali, bukan untuk diimani dan ditaati Kalam-kalamnya.
Sejatinya RUU ini tidak membela perempuan sama sekali, namun jika bangsa Indonesia mau melihatnya secara utuh, bukan sekedar judul RUU, akan tergambar betapa berbahayanya dampak-dampak kandungannya bagi tatanan sosial sekaligus ketahanan keluarga bangsa Indonesia.

Akhirul kalam, NKRI lebih butuh RUU Ketahanan Keluarga daripada RUU P-KS. Silahkan bangsa mengamati, fraksi-fraksi mana saja yang telah dan kelak akan menolak RUU Ketahanan Keluarga, karena mereka lebih ingin Keluarga NKRI sebagai benteng pertahanan terkecil negeri porak poranda, daripada bertahan dengan berbagai serangan proxy-war kepada generasi muda hari ini.

Bersama kita berjuang dengan ilmu dan amal shalih, untuk membuktikan kita Manusia yang Adil dan Beradab.

➖➖➖➖➖➖➖➖
💠 Facebook: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10217245122332807&id=1014022147
📷 Instagram: https://instagram.com/supraha
🐦 Twitter: twitter.com/supraha
📠 Telegram: telegram.me/supraha
🥏 LINE: https://line.me/ti/g2/PvdgSsOuDMVP-zmvMbAYmA
🎥 Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=afdy5GLq624
🌐 URL: https://widosupraha.com/2020/09/11/8-alasan-tolak-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual/

Ikuti kelas Tadabbur Al-Qur’an melalui Google Classroom, dan silahkan bergabung dengan kode kelas: ojm91z.

Pertanyaan dapat diajukan melalui: suprahawido@gmail.com, dan jawaban akan disampaikan di Channel: https://chat.whatsapp.com/EtScK0TbSuh6ihBt9E8JzV

Terima kasih telah membantu LIKE & SUBSCRIBE Channel YouTube, & SHARE pesan dakwah ini.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: