Bahagia Bersama Takdir
Ciri seseorang yang beriman adalah jiwa yang bahagia. Bahagia dengan apa-apa yang menjadi standar dasar seorang beriman. Jika seseorang mengaku beriman, namun tidak bahagia dalam keimanannya, maka patutlah melakkan refleksi sedalam apa kualitas keimanannya.
Rasulullah SAW pernah bersabda dalam riwayat at-Tirmidzi no. 2145:
لا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُؤْمِنَ بِأَرْبَعٍ: يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، بَعَثَنِي بِالْحَقِّ، وَيُؤْمِنُ بِالْمَوْتِ، وَيُؤْمِنُ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ،وَيُؤْمِنُ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Tidaklah seseorang di antara kalian beriman sebelum beriman kepada empat perkara, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allahdan aku adalah utusannya yang Dia utus dengan membawa kebenaran;beriman kepada adanya hari berbangkit sesudah mati;dan beriman dengan takdir yang baik dan takdir yang buruk.
Lebih lengkap lagi, sebagaimana ketika Malaikat Jibril a.s. bertanya kepada Rasulullah SAW tentang apakah itu Iman. Rasulullah SAW menjawab sebagaimana riwayat Muslim no. 8:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Engkau beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.”
Salah satu dari 6 (enam) rukun Iman tersebut adalah beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Beriman kepada takdir yang kita anggap baik, maupun takdir yang kita anggap buruk. Kita anggap baik, karena kita menyukainya. Kita anggap buruk, karena kita tidak menyukainya.
Namun, seorang Mukmin selalu bahagia dengan takdir yang dia alami, karena dia yakin, bahwa semua takdir Allah SWT sejatinya adalah baik bagi dirinya. Hal ini karena selalu ada maksud dan tujuan besar dari semua takdir Allah SWT kepada setiap hamba-Nya. Iman adalah persoalan how we change our internal state of mind, tentang bagaimana kita mengubah persepsi kita tentang sesuatu sehingga berbasiskan ilmu bukan perasaan.
Apa yang kita anggap baik, belum tentu ia sebenarnya baik untuk kita. Demikian pula sebaliknya. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah [2] ayat 216:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Alqamah rahimahullahu Ta’ala menjelaskan bahwa ketika seseorang mendapatkan musibah, dan ia kemudian sadar bahwa musibah itu datang dari Allah SWT, kemudian ia pun segera ridha dan memasrahkan diri kepada Allah SWT, maka itulah yang diinginkan-Nya dengan firman-Nya, Surat At-Taghabun [64] ayat 11:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗوَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚوَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Menyegarkan kembali pemaknaan kita akan takdir menjadi semakin relevan di masa kini. Rasulullah SAW dahulu pernah bersabda:
سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ يُكَذِّبُونَ بِالْقَدَرِ
Kelak di kalangan umatku akan ada beberapa kaum yang mendustakan takdir.
Antara Qadha dan Qadar
Secara bahasa, qadha bermakna ketetapan atau hukum, sementara qadar bermakna takdir. Keduanya bisa bermakna sama, namun jika dalam satu waktu disebutkan keduanya, maka masing-masing memiliki makna yang saling menguatkan.
Sebagian ulama meyakini bahwa qadar lebih dahulu daripada qadha. Jika qadar adalah sesuatu yang telah Allah SWT tetapkan sejak awal akan berlaku pada hamba-Nya, maka qadha adalah apa yang akhirnya Allah SWT tetapkan pada hamba-Nya di dunia.
Disebutkan oleh Iman an-Nawawi al-Bantani dalam Kasyifah as-Saja [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah], hlm. 12.:
اختلفوا في معنى القضاء والقدر فالقضاء عند الأشاعرة إرادة الله الأشياء في الأزل على ما هي عليه في غير الأزل والقدر عندهم إيجاد الله الأشياء على قدر مخصوص على وفق الإرادة
“Ulama tauhid atau mutakallimin berbeda pendapat perihal makna qadha dan qadar. Qadha menurut ulama Asy’ariyyah adalah kehendak Allah atas sesuatu pada azali untuk sebuah ‘realitas’ pada saat sesuatu di luar azali kelak. Sementara qadar menurut mereka adalah penciptaan (realisasi) Allah atas sesuatu pada kadar tertentu sesuai dengan kehendak-Nya pada azali.”
Adapun bagi Maturidiyyah, qadha terkait dengan penciptaan Allah pada sesuatu yang diikuti dengan penyempurnaannya bersama ilmu-Nya. Dalam pengertian ini, qadha menjadi batasan yang dikehendaki Allah sejak azali pada setiap makhluk dengan batasan teretentu seperti bermanfaat atau memberikan mudharat, baik atau buruk, dll.
Selanjutnya, Imam an-Nawawi al-Bantani menjelaskan:
فإرادة الله المتعلقة أزلا بأنك تصير عالما قضاءوإيجاد العلم فيك بعد وجودك على وفق الإرادة قدر
Iradah Allah yang terkait azali, seperti bahwa kelak engkau menjadi sosok yang ‘alim disebut sebagai qadha. Adapun penciptaan ilmu di dalam dirimu setelah kehadiran wujudmu di dunia ini dengan kehendak-Nya sebagai qadar.
وقول الأشاعرة هو المشهور وعلى كل فالقضاء قديم والقدر حادث بخلاف قول الماتريدية وقيل كل منهما بمعنى إرادته تعالى
Pandangan ulama Asy’ariyyah cukup masyhur. Dan di atas setiap pandangan itu, yang jelas qadha itu qadim (dulu tanpa awal), adapun qadar itu hadits (baru). Pandangan ini berbeda dengan pandangan ulama Maturidiyyah. Ada ulama berkata bahwa qadha dan qadar adalah pengertian dari Iradah-Nya.
Allah Maha Qudrah
Semua takdir adalah kehendak Allah. Oleh karenanya, Allah SWT Al-Qaadir, Al-Qadiir, Al-Muqtadir.
Allah SWT adalah Al-Qadiir, sebagaimana Dia Menamai untuk Dirinya dalam Surat Al-Ahqaf [46] ayat 33:
اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّ اللّٰهَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَلَمْ يَعْيَ بِخَلْقِهِنَّ بِقٰدِرٍ عَلٰٓى اَنْ يُّحْيِ َۧ الْمَوْتٰى ۗبَلٰٓى اِنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Dan tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena menciptakannya, dan Dia kuasa menghidupkan yang mati? Begitulah; sungguh, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
Allah SWT juga Menamai Dirinya Al-Muqtadir dalam Surat Al-Qamar [54] ayat 55:
فِيْ مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيْكٍ مُّقْتَدِرٍ ࣖ
Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Mahakuasa.
Berkata Imam al-Muzani (791-877 M):
أَحَاطَ عِلْمُهُ بِاْلأُمُوْرِ وَأَنْفَذَ فِي خَلْقِهِ سَابِقَ الْمَقْدُوْرِ وَهُوَ الْجَوَّادُ الْغَفُوْرُ يَعْلَمُ خَائِنَةَ اْلأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُوْرُ
Ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Allah mewujudkan dalam penciptaan-Nya (sesuai) yang telah ditaqdirkan sebelumnya. Dan Dia Yang Maha Dermawan lagi Maha Pengampun. Dalam ayat disebutkan, “Dia Mengetahui pandangan-pandangan mata yang berkhianat dan segala yang disembunyikan (dalam) dada.” (QS. Al-Mu’min/ Ghafir [40] ayat 19)
Awal Takdir Manusia
Pada hari ke-121 dari penciptaan manusia sehingga terjadinya ‘kehidupan’, pada saat itulah, takdir manusia disampaikan Allah SWT melalui malaikat-Nya. Rasulullah SAW bersabda sebagaimana riwayat al-Bukhari no. 6594 dan Muslim no. 2643:
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan, “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani (nuthfah) selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah (‘alaqah) selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging (mudhgah) selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan diperintahkan untuk ditetapkan empat perkara, yaitu rezekinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain-Nya. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli Surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta. Akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta. Akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.”
Semua ketetapan Allah SWT pasti akan berlaku. Jika Dia telah menetapkan keburukan atas suatu kaum, maka tak ada siapapun yang dapat menolaknya. Allah SWT berfirman dalam Surat Ar-Ra’d [13] ayat 11:
وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚوَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya.
Dengan demikian semua telah ditetapkan, dan tidak ada seorang pun yang bisa mengubahnya. Rasulullah SAW bersabda sebagaimana riwayat at-Tirmidzi no. 2516 dari jalur Abdullah ibn ‘Abbas r.a.:
وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ، لَمْ يَكْتُبْهُ اللَّهُ لَكَ، لَمْ يَنْفَعُوكَ، وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ، لَمْ يَكْتُبْهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، لَمْ يضروك. جفّت الأقلام وطويت الصحف”
Ketahuilah bahwa sekiranya umat ini bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu dengan sesuatu yang tidak ditakdirkan oleh Allah bagimu, niscaya mereka tidak akan dapat memberikannya kepadamu. Dan seandainya mereka bersatu untuk menimpakan mudarat kepadamu dengan sesuatu yang tidak ditakdirkan oleh Allah atas dirimu, niscaya mereka tidak dapat menimpakan mudarat itu kepadamu. Telah kering semua pena dan semua lembaran telah ditutup.
Oleh karenanya, seorang Muslim hendaknya sentiasa berdzikir: Laa Hawla Wa Laa Quwwata Illaa Billaah. Berkata ‘Abdullah ibn Mas’ud r.a. memaknai dzikir tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Syarh Shahih Muslim (17:27):
لاَ حَوْلَ عَنْ مَعْصِيَةِ اللهِ إِلاَّ بِعِصْمَتِهِ، وَلاَ قُوَّةَ عَلَى طَاعَتِهِ إِلاَّ بِمَعُوْنَتِهِ
Tidak ada daya untuk menghindarkan diri dari maksiat selain dengan perlindugan dari Allah. Tidak ada kekuatan untuk melaksanakan ketaatan selain dengan pertolongan Allah.
Semua Ada Takarannya
Pada apapun kehendak-Nya, selalu ada takaran yang dibuat-Nya. Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam Surat Al-Furqan [25] ayat 2:
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
… dan Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.
Studi kasus dalam penciptaan manusia dalam rahim seorang Ibu. Allah SWT berfirman dalam Surat Ar-Ra’d [13] ayat 8:
{اللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَحْمِلُ كُلُّ أُنْثَى وَمَا تَغِيضُ الأرْحَامُ وَمَا تَزْدَادُ وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ (8) عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالِ (9)
Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya. Yang mengetahui semua yang gaib dan yang tampak; Yang Mahabesar lagi Mahatinggi.
Yang jelas, tidak mungkin Allah SWT menetapkan sesuatu atas hamba-Nya di luar kesanggupan hamba-Nya. Setiap hamba pasti mampu bersabar dan bersyukur atas semua ketetapan-Nya. Namun, setiap ukuran yang Allah tetapkan, Allah pula yang memberikan petunjuk-Nya untuk sampai kepada takaran yang ditetapkan-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-A’la [87] ayat 1-3:
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعْلَى. الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى. وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى
Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan dan yang menyempurnakan (penciptaan-Nya) dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.
Allah SWT memberikan petunjuk-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia dan hewan. Sebagaimana Mujahid menjelaskan bahwa petunjuk Allah pula kepada hewan-hewan ternak untuk memakan makanannya di padang-padang penggembalaan. Ayat di atas semakna dengan Surat Thaha [20] ayat 50:
رَبُّنَا الَّذِي أَعْطى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدى
Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.
Maka tugas Mukmin adalah mengikuti petunjuk yang telah disiapkan Allah SWT. Hanya dengan petunjuk tersebut, seorang hamba akan sampai pada takdir dengan penuh kebahagiaan. Sebaliknya, jika petunjuk Allah SWT tidak diikuti, maka hamba bisa berakhir dengan kehinaan yang amat sangat, sebagaimana surat Al-Qamar [54] ayat 48-49:
يَوْمَ يُسْحَبُونَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ ذُوقُوا مَسَّ سَقَرَ (48) إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ (49)
(Ingatlah) pada hari mereka diseret ke neraka pada wajahnya. (Dikatakan kepada mereka), “Rasakanlah sentuhan api neraka.” Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.
Abu Hurairah r.a. menjelaskan bahwa ayat di atas turun ketika dahulu kaum musyrikin Quraisy datang untuk mendebat Rasulullah SAW perihal takdir. Rasullah SAW sendiri juga pernah menjelaskan (رواه الطبراني في المعجم الكبير (٥/٢٧٦) من طريق قرة بن حبيب عن جرير بن حازم -وأظن أن كنانة ساقط منه- عن سعيد بن عمرو به.):
نَزَلَتْ فِي أُنَاسٍ مِنْ أُمَّتِي يَكُونُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ يُكَذِّبُونَ بِقَدَرِ اللَّهِ
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan sebagian dari umatku yang kelak ada di akhir zaman, mereka mendustakan takdir Allah.
Lebih lanjut, Rasulullah SAW juga menjelaskan (المسند (١/٣٣٠)):
“كَأَنِّي بِنِسَاءِ بَنِي فِهْر يَطُفْنَ بِالْخَزْرَجِ، تَصْطَفِقُ أَلَيَاتُهُنَّ مُشْرِكَاتٍ، هَذَا أَوَّلُ شِرْكِ هَذِهِ الْأُمَّةِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَيَنْتَهِيَنَّ بِهِمْ سُوءُ رَأْيِهِمْ حَتَّى يُخْرِجُوا اللَّهَ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدّر خَيْرًا، كَمَا أَخْرَجُوهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدَّرَ شَرًّا”
Seakan-akan (diperlihatkan) kepadaku kaum wanita Bani Fihr berkeliling di kalangan Bani Khazraj, sedangkan pantat mereka digoyang-goyangkan dalam keadaan musyrik. Itulah permulaan syirik yang terjadi di kalangan umat ini. Dan demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, sungguh benar-benar akan membinasakan diri mereka sendiri buruknya pendapat mereka, hingga mereka berani mengatakan bahwa Allah tidak menakdirkan kebaikan sebagaimana mereka pun tidak percaya bahwa Allah menakdirkan keburukan’.
Fokuslah Pada Sebaik-baik Takaran
Takaran yang Allah SWT tetapkan adalah sebaik-baik takaran. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Mursalah [77] ayat 23:
فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ
Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baikYang Menentukan.
Jangan sampai kita meyakini adanya takdir Allah SWT, namun terlalu menyimpang dari apa yang telah dipahami oleh Ahlussunah wal Jama’ah. Dahulu, orang-orang yang berfaham Qadariyah meyakini bahwa Allah SWT tidak memilik pengetahuan pada siapa yang akan ta’at dan siapa yang akan maksiat, karena Allah SWT hanya memberikan perintah dan larangan semata. Di sisi lain, ada pula orang-orang yang juga berpaham Qadariyah meyakini bahwa amal hamba adalah sesuatu yang terpisah dari ketetapan Allah SWT.
Terdapat pula aliran seperti Jabriyah atau Jabariyah yang meyakini bahwa hamba telah dipaksa Allah SWT untuk menuruti takdir tanpa pernah punya kuasa dan kemampuan, sehingga tidak dapat berusaha. Allah SWT berfirman dalam Surat At-Takwir [81] ayat 28-29:
لِمَنْ شَاۤءَ مِنْكُمْ اَنْ يَّسْتَقِيْمَۗوَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ ࣖ
(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.
Secara jelas Allah SWT, di dalam ayat di atas, memberikan pilihan bagi yang mau menempuh jalan yang lurus. Artinya, Allah Maha Mengetahui adanya yang lebih memilih tidak mau menempuh jalan yang lurus yang telah disiapkan-Nya. Tidak ada paksaan dalam beragama, termasuk tidak ada paksaan dalam memilih jalan, apakah teguh berada di jalan Allah SWT atau berada di jalan selain-Nya. Oleh karenanya, mintalah kepada Allah SWT agar dimudahkan mencapai apa yang telah Allah tetapkan. Ketetapan dari-Nya, maka kemudahan mencapainya pun datang dari-Nya.
Jangan Sesali Takdirmu di Masa Lalu
Apa yang telah terjadi di masa lalu tidak akan terulang, tapi apa yang akan terjadi di masa depan maka harus direncanakan. Orang-orang beriman telah diperintahkan Allah SWT untuk merencanakan masa depannya, merencanakan takdir baik baginya. Perhatikan firman Allah dalam Surat Al-Hasyr [59] ayat 18:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
Yang telah berlalu tidak pantas untuk disesali. Menyesali apa yang telah terjadi hanya akan membuka peluang masuknya perbuatan syaithan. Hal ini telah diingatkan Rasulullah SAW sebagaimana riwayat Muslim no. 2664:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithan.
Dahulu, sekitar tahun 18 H, Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab r.a. berencana akan masuk negeri Syam atas undangan Gubernur Abu Ubaidah bin al-Jarrah r.a., untuk melakukan evakuasi dan mengatasi dampak dari wabah penyakit Tha’un yang merenggut sebagian warga Syam, sekitar 30.000 orang. Namun, setelah menerima berbagai masukan, Umar menahan diri untuk masuk ke Negeri Syam tersebut. Maka bertakalah Gubernur saat itu: “Wahai Amirul Mukminin, apakah ini lari dari takdir Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى?”.
Maka ‘Umar r.a. menjawab: “Benar ini lari atau berpaling dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain. Tidakkah engkau melihat, seandainya engkau memiliki unta dan lewat disuatu lembah dan mendapatkan dua tempat untamu yang subur dan yang gersang, kemana akan engkau arahkan untamu?, Jika ke lahan kering itu adalah takdir Allah, dan jika ke lahan subur itu juga takdir Allah?”
Jawaban Khalifah atas permohonan Gubernur tersebut, bukanlah jawaban Khalifah yang takut akan kematian dan terkena wabah. Jawaban itu menegaskan bahwa manusia harus merencanakan takdir yang baik baginya dengan perencanaan yang matang dan ilmiah. Terlebih ketika saat itu, datang ‘Abdurrahman bin ‘Auf r.a. yang mengingatkan pesan Rasulullah SAW yang Muttafaun ‘alaih:
“Jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri. Maka, jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada didaerah itu janganlah kalian keluar untuk lari darinya.”
Buatlah Jannah Sebagai Takdir Masa Depanmu
Jika seorang hamba memiliki secuil iman, meskipun sebesar biji dzarrah, pada akhirnya ia akan dimasukkan ke Jannah. Disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda dalam riwayat al-Bukhari no. 22:
أُخْرِجُوا مِنَ النَّارِ مَن كانَ في قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إيمَانٍ
Keluarlah dari neraka siapa saja yang dalam hatinya masih ada iman seberat biji sawi.
Namun begitu, Rasulullah SAW memotivasi hamba-Nya bukan sekedar untuk masuk Jannah, tapi untuk memasuki Jannah yang paling tinggi. Beliau SAW bersabda sebagaimana riwayat al-Bukhari no. 2790 dan Ibnu Hibban no. 4611:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ، فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ أُرَاهُ فَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ ، وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
Di surga itu terdapat seratus tingkatan, Allah menyediakannya untuk para mujahid di jalan Allah, jarak antara keduanya seperti antara langit dan bumi. Karena itu, jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Firdaus, karena sungguh dia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya ada Arsy Sang Maha Pengasih, dan darinya sumber sungai-sungai surga.
Hal ini karena dalam riwayat at-Tirmidzi no. 3174:
الْفِرْدَوْسُ رَبْوَةُ الْجَنَّةِ وَأَوْسَطُهَا وَأَفْضَلُهَا
Firdaus adalah surga yang paling tinggi, yang paling bagus, dan yang paling afdhal.
Untuk mendapatkan yang tinggi, seharusnya orang-orang beriman berlomba-lomba meraihnya. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Muthaffifin [83] ayat 26:
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
Untuk mendapatkan keindahan surga itu, seharusnya manusia berlomba.
Setiap mukmin hendaknya berlomba-lomba, tidak sekedar dalam amal ibadah ritual seperti shalat dan puasa, tapi juga pada kebagusan akhlak yang mulia. Di dalam Adab al-Mufrad, al-Bukhari mengangkat satu pesan Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قِيلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ فُلَانَةً تَقُومُ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ، وتفعلُ، وتصدقُ، وَتُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا؟ فَقَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا خَيْرَ فِيهَا، هِيَ من أهل النار قَالُوا: وَفُلَانَةٌ تُصَلِّي الْمَكْتُوبَةَ، وَتَصَّدَّقُ بِأَثْوَارٍ، وَلَا تُؤْذِي أَحَدًا؟ فَقَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Dikatakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya fulanah (seorang wanita) rajin mendirikan shalat malam, gemar puasa di siang hari, mengerjakan (kebaikan) dan bersedekah, tapi sering menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka.” Mereka (para sahabat) berkata (lagi): “Fulanah (lainnya hanya) mengerjakan shalat wajib, dan bersedekah dengan beberapa potong keju, tapi tidak (pernah) menyakiti seorang pun.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Dia adalah penghuni surga.”
Tetaplah Beramal
Jika seseorang telah ditetapkan masuk Jannah atau masuk neraka, maka kemudian dimana urgensi amal shalih? Dahulu, sahabat-sahabat Rasulullah SAW bahkan pernah bertanya atas masalah ini, sebagaimana riwayat Muslim no. 2648:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، بَيِّنْ لَنَا دِينَنَا كَأَنَّا خُلِقْنَا الْآنَ، فِيمَا الْعَمَلُ الْيَوْمَ؟ أَفِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ؟ أَمْ فِيمَا نَسْتَقْبِلُ؟ قَالَ: لَا، بَلْ فِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ، قَالَ: فَفِيمَ الْعَمَلُ، فَقَالَ: اعْمَلُوا، فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ
“Wahai Rasulullah, berikanlah penjelasan kepada kami tentang agama kami, seakan-akan kami baru diciptakan sekarang. Untuk apakah kita beramal hari ini? Apakah itu terjadi pada hal-hal yang pena telah kering dan takdir yang berjalan, ataukah untuk yang akan datang?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bahkan pada hal-hal yang dengannya pena telah kering dan takdir yang berjalan.” Ia bertanya, “Lalu apa gunanya beramal?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Beramallah kalian, karena masing-masing dimudahkan (untuk melakukan sesuatu yang telah ditakdirkan untuknya).”
Maka, setiap orang di dunia akan dimudahkan untuk mendapatkan takdirnya. Sebagaimana riwayat al-Bukhari no. 7551:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، فِيمَا يَعْمَلُ الْعَامِلُونَ؟،قَالَ: كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
Wahai Rasulullah, lantas untuk apa orang-orang yang beramal melakukan amalan mereka?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya.
Maka waspadalah jika suatu ketika jiwa kita merasa berat untuk melaksanakan shalat berjama’ah di Masjid, maka adakah kita tidak sedang dimudahkan menuju Jannah?
Sempurnakanlah Keimanan Atas Takdir-Nya
Dari seluruh pembahasan kita di atas, setiap mukmin yang terus melakukan refleksi atas keimanannya pada takdir, tentu akan mendapatkan berbagai keutamaan. Di antaranya:
- Rukun Iman akan semakin sempurna tegak dalam dirinya;
- Semakin mendalam pemaknaannya bahwa Allah itu Rabb;
- Terbiasa sabar dan syukur dalam seluruh takdir-Nya;
- Terus merasakan keterbatasan diri sehingga akan terjaga dari sifat kesombongan;
- Bersiap-siap sentiasa dalam menghadapi datangnya musibah;
- Segera mencari hikmah di balik setiap peristiwa
Dawamkan Do’a Meminta Takdir Baik
Rasulullah SAW berdo’a dengan redaksi do’a yang sangat jelas dimaknai sebagai permohonan meminta takdir yang baik, sebagaimana riwayat Ibn Majah no. 3846 dan Ahmad (6:133):
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنَ الخَيْرِ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ ، مَا عَلِمْتُ مِنْهُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الشَّرِّ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ ، مَا عَلِمْتُ مِنْهُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا سَأَلَكَ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَاذَ بِهِ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الجَنَّةَ وَمَا قرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَولٍ أَوْ عَمَلٍ ، وَأَعُوْذُ بِكَ مَنَ النَّارِ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ ، وَأَسْأَلُكَ أَنْ تَجْعَلَ كُلَّ قَضَاءٍ قَضَيْتَهُ لِي خَيْرًا
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu semua kebaikan yang disegerakan maupun yang ditunda, apa yang aku ketahui maupun tidak aku ketahui. Aku berlindung kepada-Mu dari semua keburukan, baik yang disegerakan maupun yang ditunda, yang aku ketahui maupun yang tidak aku ketahui. Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu dari kebaikan apa yang diminta oleh hamba dan Nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari apa yang diminta perlindungan oleh hamba dan nabi-Mu. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu surga dan apa yang mendekatkan kepadanya baik berupa ucapan maupun perbuatan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka dan apa yang mendekatkan kepadanya baik berupa ucapan atau perbuatan. Dan aku memohon kepada-Mu semua takdir yang Engkau tentukan baik untukku.
Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin. @supraha
WidoSupraha.Com
▫️ Web: WidoSupraha.Com
▫️ Telegram: t.me/supraha
▫️ FB: fb.com/suprahawido
▫️ IG: instagram.com/supraha
▫️ Twitter: twitter.com/supraha
▫️ YouTube: youtube.com/supraha
▫️ WA: https://chat.whatsapp.com/IRr5xEgVz5DBcxftSG0Pyp
Admin: wa.me/6287726541098
Kategori