Lanjut ke konten

Yaa Bunayya

Lafaz ‘ya bunayya’ dapat ditemukan pada 6 (enam) tempat dalam 4 (empat) surat, yakni pada Surat Hud [11] ayat 42, Yusuf [12] ayat 4-6, Luqman [31] ayat 13-17, dan As-Shaffat [37] ayat 102. Seluruh ayat ini secara umum menggambarkan betapa seharusnya perhatian Ayah yang berdaya kepada anak-anak biologisnya dalam mendampingi tumbuh besarnya bahkan ujian kehidupannya adalah sebuah keniscayaan. Hal ini juga menjelaskan betapa pentingnya komunikasi penuh kasih dalam membimbing generasi muda untuk berjalan dalam adab dan ilmu.

Seluruh dialog dalam Al-Qur’an yang mengangkat lafazh ‘Ya Bunayya’ adalah dialog yang dilakukan oleh Ayah, bukan Bunda. Hal ini telah menginspirasi banyak Ayah agar bukan saja semakin semangat dalam membangun pola komunikasi efektif dengan anak-anaknya, namun juga komunikasi yang dibangun dengan penuh kasih dan cinta, penuh kelembutan dan perhatian yang mendalam, penuh dengan nilai-nilai emosional dari hati ke hati. Dengan panggilan ‘Ya Bunayya’, diharapkan seorang anak tidak saja memberikan perhatiannya pada apa yang akan disampaikan oleh ayahnya, tapi juga menyiapkan jiwanya untuk menerima dengan penuh penghayatan.

1. Ayah Yang Bertanggung Jawab

Menurut Wahbah az-Zuhaili (1932-2015 M), lafazh ya bunayya dapat diartikan sebagai panggilan lembut yang menunjukkan kasih sayang terhadap anak. Seorang ayah yang bertanggung jawab adalah ayah yang selalu mengingatkan anak-anaknya untuk merawat keimanan kepada Allah SWT., dan agar selalu istiqamah dan khawatir dengan konsekuensi yang berat jika tidak istiqamah.

Dalam Surat Hud [11] ayat 42, terdapat kisah akan durhakanya anak Nabi Nuh a.s. yang tidak mau tunduk kepada Allah SWT.

وَهِيَ تَجْرِيْ بِهِمْ فِيْ مَوْجٍ كَالْجِبَالِۗ وَنَادٰى نُوْحُ ِۨابْنَهٗ وَكَانَ فِيْ مَعْزِلٍ يّٰبُنَيَّ ارْكَبْ مَّعَنَا وَلَا تَكُنْ مَّعَ الْكٰفِرِيْنَ

Dan kapal itu berlayar membawa mereka ke dalam gelombang laksana gunung-gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, “Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.”

Betapapun durhakanya anaknya kepada perintah ayahnya, ternyata tidak membuat hilangnya kecintaan Nabi Nuh a.s. sebagai ayah kepada anaknya. Bahkan, dengan tetap memanggil anak tersebut dengan: Ya Bunayya.

2. Ayah Yang Memberikan Pengantar Ilmu

Seorang Ayah hendaknya menyempatkan waktu khusus untuk mendengarkan sharing dari anak-anaknya dengan adab mendengar yang baik. Di antara adab yang dimaksud adalah dengan menampakkan raut wajah yang baik, dihiasi senyuman, pandangan mata yang teduh menatap wajah anak, dan menyimak dengan sungguh-sungguh apa yang disampaikan Ananda.

Dahulu, Nabi Yusuf a.s. saat masih kecil pernah bermimpi, dan segera menyampaikan mimpinya kepada ayahnya, Nabi Ya’qub a.s., empat mata. Allah SWT berfirman dalam Yusuf [12] ayat 4-6:

اِذْ قَالَ يُوْسُفُ لِاَبِيْهِ يٰٓاَبَتِ اِنِّيْ رَاَيْتُ اَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَاَيْتُهُمْ لِيْ سٰجِدِيْنَ قَالَ يٰبُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُءْيَاكَ عَلٰٓى اِخْوَتِكَ فَيَكِيْدُوْا لَكَ كَيْدًا ۗاِنَّ الشَّيْطٰنَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ وَكَذٰلِكَ يَجْتَبِيْكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيْلِ الْاَحَادِيْثِ وَيُتِمُّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكَ وَعَلٰٓى اٰلِ يَعْقُوْبَ كَمَآ اَتَمَّهَا عَلٰٓى اَبَوَيْكَ مِنْ قَبْلُ اِبْرٰهِيْمَ وَاِسْحٰقَۗ اِنَّ رَبَّكَ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ࣖ

(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Sungguh, aku (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.”

Dia (ayahnya) berkata, “Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia.”

Dan demikianlah, Tuhan memilih engkau (untuk menjadi Nabi) dan mengajarkan kepadamu sebagian dari takwil mimpi dan menyempurnakan (nikmat-Nya) kepadamu dan kepada keluarga Yakub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kedua orang kakekmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sungguh, Tuhanmu Maha Mengetahui, Mahabijak-sana.

Seorang Ayah hendaknya memberikan arahannya yang mengandung motivasi, menguatkan dan pilihan terbaik untuk dapat ditindaklanjuti oleh anak-anaknya.

3. Ayah Yang Memberikan Pengantar Ilmu

Seorang Ayah di tengah kesibukannya, hendaknya menyempatkan untuk memberikan pengantar ilmu. Sebagai sosok yang diibaratkan ‘Kepala Sekolah’ di wilayah pendidikan berbasis rumah, pengantar darinya sangat menentukan efektifitas proses pendidikan. Pengantar dari seorang Ayah yang berdaya, akan membuat Bunda sebagai ‘Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum’ lebih mudah dalam menurunkan dalam program dan target-target pendidikan.

Sosok Lukman menarik untuk dibahas, karena meskipun tidak ada penegasan bahwa beliau seorang Nabi, tapi nama beliau dipilih Allah SWT sebagai salah satu nama Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa beliau sosok yang penuh hikmah, sehingga bisa membagi hikmahnya kepada anak-anaknya.

Sedikit gambaran tentang sosok Lukman al-Hakim, Lukman yang Bijaksana, bisa kita cermati dari beberapa teks yang ada. Misalkan, Ibn Katsir dalam Tafsir-nya (Juz 6 hlm. 333) mengangkat perkataan seorang Tabi’in Sa’id bin al-Musayab (637-715 M):

لا تحزن من أجل أنك أسود، فإنه كان من أخير الناس ثلاثة من السودان: بلال، ومهجع مولى عمر بن الخطاب، ولقمان الحكيم، كان أسود نوبيا

Jangan bersedih karena kau berkulit hitam. Karena sesungguhnya ada tiga manusia terbaik (berkulit hitam) dari Sudan: Bilal, Mahja’ maula (budak) Umar bin Khattab, dan Luqman al-Hakim, ia orang kulit hitam dari Nubia.

Ibn Katsir menjelaskan dalam Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm (Riyadl: Dar Thayyibah, 1999, Juz 6, hlm. 333) bahwa sosok beliau jika merujuk riwayat ‘Sayyidina ‘Abdullah ibn ‘Ibnu ‘Abbas r.a. (3-68 H), maka Luqman berasal dari Ethiopia. Namun, kalau merujuk seorang Tabi’in, Sa’id bin Musayyab (15-94 H) dan Jabir bin Abdullah (16-78 H), beliau berasal dari Nubia, Mesir atau Sudan. Secara fisik pendek, berhidung pesek, berbibir tebal dan berkulit hitam.

Pesan-pesan kebijaksanaan beliau kepada anaknya dapat dilihat dalam surat Luqman [31] ayat 13-19:

وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ

Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, ”Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

يٰبُنَيَّ اِنَّهَآ اِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِى السَّمٰوٰتِ اَوْ فِى الْاَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ

(Lukman berkata), ”Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus, Mahateliti.

يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ

Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ

Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.

وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ اِنَّ اَنْكَرَ الْاَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ ࣖ

Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.

Ayat-ayat di atas mengisahkan betapa dekat dan eratnya sosok Lukman dengan anaknya yang memiliki akhlak yang mulia. Bahkan ketika beliau memiliki waktu luang, beliau menjabarkan hal-hal mendasar agar anaknya memiliki kesempurnaan akhlak, dengan bahasa yang mudah dipahami oleh anak-anak yang sedang dalam proses pertumbuhan akalnya, seperti dengan menggunakan kosa kata tijarah (perdagangan) untuk ketaatan kepada Allah, dll.

Imam Ahmad bin Hanbal menyampaikan nasihat Sayyidina Luqman al-Hakim kepada anaknya dalam karyanya, al-Zuhd (Kairo: Dar ar-Rayyan li at-Turats, 1992, hlm. 64):

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا أبِي، حَدَّثَنَا سَيَّارٌ، حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ، عَنْ مَالِكٍ يَعْنِي ابْنَ دِينَارٍ قَالَ: قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ: يَا بُنَيَّ، اتَّخِذْ طَاعَةَ اللَّهِ تِجَارَةً تَأْتِكَ الْأَرْبَاحُ مِنْ غَيْرِ بِضَاعَةٍ

Diceritakan oleh Abdullah, dari ayahku, dari Sayyar, dari Ja’far, dari Malik, yaitu Ibn Dinar, ia telah berkata: ‘Luqman berkata pada anaknya: “Wahai anakku, jadikan ketaatan kepada Allah sebagai perniagaan, maka keuntungan akan mendatangimu tanpa modal barang dagangan.

Mengibaratkan ketaatan dengan perniagaan dan tanpa modal menggambarkan arahan seorang ayah agar anaknya tidak mengarah pada materialistis dan agar selalu berprasangka baik kepada Allah SWT.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا أبِي، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَنْبَأَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ وَاسِعٍ قَالَ: كَانَ لُقْمَانُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَقُولُ لِابْنِهِ: يَا بُنَيَّ، اتَّقِ اللَّهَ، وَلَا تُرِ النَّاسَ أَنَّكَ تَخْشَى اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ؛ لِيُكْرِمُوكَ بِذَلِكَ، وَقَلْبُكَ فَاجِرٌ

Diceritakan oleh Abdullah, dari ayahku, dari Yazid bin Harun, menceritakan Abu al-Asyhab, dari Muhammad bin Wasi’, ia berkata: Luqman al-Hakim as berkata pada anaknya: “Wahai anakku, bertakwalah kepada Allah, dan jangan tunjukkan pada manusia bahwa kau takut kepada Allah ‘azza wa jalla karena (mengharap) mereka memuliakanmu dengan itu, sedangkan hatimu (mudah) terhanyut.

Seorang Ayah juga hendaknya mendidik anak-anaknya menjadi pribadi pejuang yang ikhlas. Mengingatkan anak-anaknya bahaya akan riya yang akan menggugurkan kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan.

4. Ayah Yang Memperhatikan Tumbuh Kembang Anak

Seorang ayah harus mampu memilih kata-kata yang disesuaikan dengan tumbuh kembang umur anak-anaknya. Hal ini meliputi saat memberikan penugasan atau memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka. Allah SWT berfirman dalam As-Shaffat [37] ayat 102:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”

Menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir bahwa ayat ini menunjukkan panggilan kepada anak yang telah berusia produktif, yakni rentang usia 7-13 tahun, sebagaimana Ibrahim a.s. memanggil Isma’il a.s. ketika telah masuk usia tersebut. Ayat ini juga menjelaskan bagaimana Nabi Ibrahim a.s. mulai berbicara hal yang sangat mendasar terkait semangat pengorbanan dalam kehidupan.

Kesimpulan

Dari seluruh ayat yang mengandung ‘Ya Bunayya’ dalam Al-Qur’an yang telah kita kupas di atas, setidaknya terdapat 9 (sembilan) motivasi terbaik yang hendaknya sangat prioritas untuk disampaikan oleh seorang Ayah kepada anak-anaknya, sebelum ia mendengarkan dari selainnya. Di antara motivasi tersebut adalah:

  1. Selalu berkumpul dengan orang-orang shalih, dan memberikan warna kepada orang-orang thalih;
  2. Cintailah ilmu dan bersabarlah dalam menjemput dan menegakkan ‘ilm;
  3. Jangan mendekati perilaku syirk dan jangan durhakan kepada kedua orang tua;
  4. Berbahagialah dengan perbuatan sekecil apapun, jangan meremehkannya, karena tidak lahir peradaban tanpa pemuliaan pada adab-adab yang kecil;
  5. Rawatlah ibadah shalat dengan penuh penghayatan;
  6. Jangan malu untuk mengajak teman-temannya kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang munkar;
  7. Berbahagialah dengan setiap mushibah dalam kehidupan;
  8. Tidak ada kesuksesan sejati tanpa tadhiyyah (pengorbanan), maka berikanlah pengorbananmu yang terbaik;
  9. Jangan memiliki sifat dan berperilaku yang menggambarkan al-kibr (kesombongan)

Semoga Allah SWT memudahkan anak-anak kita menjadi anak-anak yang siap bergerak bersama bimbingan terbaik dari Ayahnya yang berdaya.

Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin. @supraha

WidoSupraha.Com

▫️ Web: WidoSupraha.Com
▫️ Telegram: t.me/supraha
▫️ FB: fb.com/suprahawido
▫️ IG: instagram.com/supraha
▫️ Twitter: twitter.com/supraha
▫️ YouTube: youtube.com/supraha
▫️ WA: https://chat.whatsapp.com/IRr5xEgVz5DBcxftSG0Pyp

Admin: wa.me/6287726541098

One thought on “Yaa Bunayya Tinggalkan komentar

  1. alhamdulilah sudah menyimak kajian ust Wido Supraha secara live di Bintang Cendekia, jazakillah ustadz..semoga ilmunya berkah utk seluruh para kepala sekolah di keluarga masing masing…

Tinggalkan komentar