Akal Pondasi Agama
Akal dari asal kata عقل- يعقل- عقلا memiliki beberapa makna. Di antaranya bermakna husn at-tasharruf (penyebab lahirnya tindakan yang baik atau tepat), al-nuba (kebijaksanaan), al-hikmah, penghalang, dan penahan. Artinya, dengan nikmat akal diharapkan akan lahir manusia dengan kebijaksanaan yang mampu melahirkan tindakan yang baik dan tepat, dan menghalangi dirinya dari bermaksiat dan menahan dirinya untuk selalu berada dalam ketaatan.
Menjaga akal adalah bagian dari dharuriyat al-khamsah sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Ghazali dalam al-Musytasyfa. Ada 5 (lima) perkara yang dilindungi oleh hukum syari’at yakni terjaganya agama (hifzh ad-din), jiwa (hifzh an-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz an-nasl) dan harta (hifz al-mal).
Mereka yang diberikan nikmat akal secara otomatis akan dibebani tanggung jawab menjadi a good man (orang yang baik). Hilangnya akal dengan demikian akan mencabut tanggung jawab itu. Rasulullah SAW bersabda dalam riwayat Abu Dawud no. 4403:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ.
“Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi (baligh), orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).”
Pada dasarnya, sejak manusia diciptakan, Allah SWT telah memuliakannya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Isra’ [17] ayat 70:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan….”
Ketika manusia bersyukur dengan penciptaan itu, dan bersyukur karena dibekali akal dalam kehidupannya, maka saat ia menggunakan akal tersebut, Allah SWT akan mengangkatnya kepada derajat yang lebih khusus daripada sekedar orang biasa-biasa saja (‘awwam). Hal ini karena ketika manusia menggunakan akalnya, ia akan mendapatkan pelajaran. Perhatikan firman-Nya dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 269:
وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الأَلْبَابِ
“Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
Renungkanlah, mengapa perintah pertama dalam agama itu adalah Iqra‘ dengan Adab.
Renungkanlah, mengapa 49x kata akal terulang dalam Al-Qur’an seluruhnya dalam bentuk kata kerja.
Hal ini membangun kesadaran bahwa berpikir adalah pekerjaan dasar manusia. Sehingga, setiap manusia harus mau berpikir, kemudian harus mengetahui bagaimana cara berpikir yang benar, bagaimana kemudian ia dapat memilih yang benar, hingga ia dapat mempertanggungjawabkan semua pilihan-pilihannya dalam kehidupan.
Berpikir adalah tanda syukur nikmat. Malas berpikir adalah tanda kufur nikmat. Peringatan Allah SWT akan dianggap biasa saja bagi mereka yang tidak mau berpikir. Dalam surat Shad [38] ayat 43, Allah SWT berfirman:
وَذِكْرَىٰ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“…Dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal.”
Padahal orang-orang yang berpikir akan mendapatkan pelajaran (‘ibrah), hikmah dan bashirah. Mereka yang mau berpikir akan diberikan kemampuan untuk melihat sesuatu tidak saja dengan mata lahir, tapi juga mata batin atau firasat. Rasulullah SAW pernah bersabda:
اتّقوا فراسة المؤمن، فإنه ينظر بنور الله.
Takutlah dengan firasat orang Mukmin kerana sesungguhnya dia melihat dengan cahaya Allah.
Mereka digelari Allah SWT dengan gelar-gelar mulia seperti Ulil Albab, Ulil Abshar, dan Ulin Nuha. Rasulullah SAW juga menyebut mereka Al-Kayyis, bahkan Akyas. Lihat firman-Nya dalam surat Yusuf [12] ayat 111:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُوْلِي الأَلْبَابِ
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat ‘ibrah bagi orang-orang yang mempunyai akal.”
Untuk meraih gelar Ulul Albab, Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk memadukan kebiasaan baik berupa tadabbur ayat-ayat Qauliyah dan tafakkur ayat-ayat Kauniyah.
Jika manusia berpikir, maka ia akan mendapatkan pelajaran yang membuatnya hidup di dunia dengan pemuliaan dari Allah SWT, dan kelak di Akhirat ia menjadi orang yang mendapatkan kebahagiaan (as-sa’adah). Sebaliknya, mereka yang tidak mau berpikir hanya akan menjadi orang-orang yang menyesal di Hari Penyesalan (Yaum al-Hasrah). Pada saat itu, mereka mengungkapkan penyesalan mereka sebagaimana Surat Al-Mulk [67] ayat 10:
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ
مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni Neraka yang menyala-nyala’.”
Allah SWT memberikan contoh kepada mereka yang hidup tapi akalnya telah mati. Yakni ketika seseorang lebih mendahulukan tradisi nenek moyang mereka, meski bertentangan dengan bimbingan agama. Perhatikan firman-Nya dalam Surat Al-Baqarah [2] ayat 170:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: ‘Tidak! Tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikutinya juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”
Mereka yang berpikir Qurani tentu akan mendapati bahwa Al-Qur’an mendorong pembacanya untuk berpikir holistik dan tidak mendikotomikan antara ilmu agama dan ilmu dunia. Hal ini sejatinya karena ilmu agama adalah ilmu yang membimbing manusia agar dapat hidup dengan standar agama di dunia, dan dengannya ia akan mendapatkan kehidupan yang bahagia di Akhirat.
Dengan berpikir, manusia akan memiliki kemampuan untuk membedakan (al-furqan) antara yang benar (al-haqq) dan yang sia-sia (batil) dan menyimpang (adh-dhalal), antara yang baik (al-birr) dan dosa (al-itsm), antara jalan kebahagiaan (as-sa’adah) dan kesedihan (asy-syaqawah), antara jalan cahaya (an-nur) dan jalan kegelapan (azh-zhulumat).
Dengan berpikir, manusia tidak saja mampu membedakan antara yang halal dan yang haram, antara yang baik dan buruk, bahkan bisa memilih yang terbaik di antara yang baik, atau mendahulukan menutup mafsadat daripada mengerjakan maslahat.
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghilangkan mafsadat lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.”
المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
“Melestarikan tradisi lama yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik.”
Al-ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah.
Melakukan perbaikan ke arah yang lebih baik secara berkelanjutan.
Mereka yang berpikir tentu akan mengenali bahwa ikhtilaf sebuah keniscayaan, dan inkhiraf sebuah penyimpangan. Disebut penyimpangan karena keluar dari ma’lumumminaddiini biddhoruuri. Dengan demikian terdapat perbedaan yang dapat ditoleransi (fi majalil ikhtilaf), namun juga ada perbedaan yang harus diamputasi.
Mereka yang berpikir akan bisa mengenali mana informasi otoritatif yang layak dikonsumsi, dan mana yang tidak mengandung kebenaran.
Imam al-Mawardi, Qadhi al-Qudhah dalam Madzhab Syafi’i membuka pembahasan Kitab Adab-nya yang berjudul Adab ad-Dunya wa ad-Din, dengan penjelasan bahwa Akal adalah Pondasi Agama, dan bahwa hawa nafsu harus terus menerus dibimbing untuk wahyu.
Maka di antara makna kemanusiaan yang adil dan beradab adalah mereka yang bisa memilih the right action, yang bisa mendudukkan sesuatu pada tempatnya, dan terbiasa dengan kebiasaan baik sebagaimana arahan Allah SWT.
WidoSupraha.Com
▫️ Web: WidoSupraha.Com
▫️ Telegram: t.me/supraha
▫️ FB: fb.com/suprahawido
▫️ IG: instagram.com/supraha
▫️ Twitter: twitter.com/supraha
▫️ YouTube: youtube.com/supraha
▫️ WA: https://chat.whatsapp.com/IRr5xEgVz5DBcxftSG0Pyp
Admin: wa.me/6287726541098
Kategori