Mengambil Kebaikan dari Negeri Myanmar

Sabtu, 07 Juli 2007, saya berangkat ke Myanmar, negeri yang belum pernah saya kunjungi sama sekali sebelumnya. Perjalanan dimulai dari Jakarta (Gate 2D Soekarno Hatta, 070707, 12.45 WIB, Thai Airways TG 434H) menuju Bangkok (070707, 16.15), dan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Myanmar (070707, 18.10 WIB, Thai Airways TG 305H) dan tiba di Bandara Yangoon pukul 19.00 WIB, dan dijemput oleh perwakilan kolega di sana dan kemudian diantarkan menuju tempat penginapan di Hotel Shangrila. Banyak keunikan yang hendak saya tuliskan dalam kesempatan ini, yang mungkin bisa membawa manfaat bagi para pembaca di dalam mengenali Myanmar, satu dari 10 (sepuluh) negara ASEAN Community. Beberapa hal berikut semoga sedikit banyak mewakili pertanyaan-pertanyaan yang muncul terkait Myanmar.
Militerisme
Myanmar adalah negeri junta militer yang dipimpin oleh para petinggi militer di republik sosialis ini, sehingga nuansa khas militerisme tentu saja amat mudah dikenali dan mewarnai kehidupan di Myanmar, sebagai berikut :
– Pembatasan Jam Malam. Mayoritas kehidupan malam di Myanmar akan berakhir di pukul 21.00 waktu setempat, sehingga di atas jam tersebut amat sulit mendapati pusat bisnis yang masih bertransaksi
– Pembatasan Mobil. Jumlah mobil di Myanmar dibatasi oleh pemerintah secara kuota, sehingga tidak mengherankan jika dimana-mana akan ditemukan mobil-mobil lama keluaran tahun 80-an yang masih beroperasi baik sebagai kendaraan umum, taksi, maupun kendaraan pribadi. Pemerintah telah menghentikan impor mobil secara massal. Sehingga kebijakan ini menimbulkan derivasi lanjutan berikut,
o Harga mobil melambung tinggi. Sebagai ilustrasi, mobil sedan tahun 80-an seharga 70 juta-an, dan mobil Land Cruiser tahun 90-an seharga 800 juta-an.
o Pembatasan bahan bakar per mobil 2 galon atau 18 liter saja dalam satu hari, dan jatah ini dibagikan menggunakan kertas kontrol
o Setiap pengendara mobil kebanyakan bisa memperbaiki mobil sendiri, karena usia mobil yang sudah berumur, dan mahalnya spare-part, dan tentu saja sulit sekali ditemukan dealer mobil dikarenakan kebijakan tersebut
Kalau Anda hendak menggunakan taksi, maka saya sarankan agar ditawar terlebih dahulu, karena tidak ada argo, dan Anda jangan berharap merasakan sedan senyaman Blue Bird, karena ACnya pun AC alam
– Pembatasan Motor. Motor tidak diperkenankan digunakan, dikarenakan kekhawatiran aksi-aksi terorisme. Sehingga tidak akan kita temukan sama sekali motor lalu lalang kecuali mungkin satu atau dua saja yang dipakai oleh pemerintah untuk kepentingan tertentu semisal pengantar surat (post officer)
– Pembatasan komunikasi selular dan internet. Hal ini mempertimbangkan efek negatif bagi keamanan dalam negeri. Kebijakan ini diikuti dengan harga nomor ponsel yang sangat tinggi, dimana untuk mendapatkan satu nomor saja kita harus membayar bea administrasi sebesar 20 juta-an, dan kebanyakan nomor diinjeksi langsung ke dalam handphone (CDMA atau GSM), sehingga pasar black-market membesar, dengan harga nomor relatif jauh lebih murah yaitu kurang lebih 300 ribu-an. Kalau dari hotel, tarif telfon lokal adalah USD 0,25 / menit, dan tarif internasional adalah USD 4,9 / menit, meskipun baru terdengar 3 kali nada sambung, atau mail voice. Untuk koneksi internasional membutuhkan waktu koneksi pembuka selama 30 detik, dan seringkali gagal tersambung untuk nomor PSTN. Adapun tarif internet menggunakan koneksi ADSL (Business Center, 09.00 – 18.00) adalah USD 2 / 30 menit atau USD 1 / e-mail (Outlook).
– Pembatasan Distribusi Film. Agak sulit menemukan bioskop disana, namun sangat mudah menemukan DVD bajakan yang difasilitasi dan dikeluarkan langsung oleh pemerintah secara legal di pinggiran jalan, kebetulan saya menemukan di China Town saat berjalan kaki
– Pembatasan UMR. Untuk hal ini sepertinya pemerintah belum memperhatikan efek dari sistem perekonomian yang mereka terapkan. Perbedaan antara si kaya dan si miskin sangat terasa, di satu sisi si miskin harus memberdayakan seluruh anggota keluarganya untuk bekerja, dan di satu sisi si kaya mampu membeli mobil tua dengan harga selangit. Upah buruh minimal yang dipakai oleh para pengusaha sekitar Rp 300 ribu-an, dan upah insinyur dengan kualitas ahli berkisar Rp 1 juta saja. Tentu saja dengan upah 300 ribu, sementara tingkat inflasi negara yang tinggi menyebabkan tidak cukupnya hanya kepala keluarga yang bekerja.
Bagi orang Myanmar, dua hal yang mahal bagi mereka, yakni mobil dan komunikasi selular. Pemerintah telah mengambil alih dan membuat segenap sektor menjadi terpusat, termasuk sektor broadcasting, telekomunikasi, dan perdagangan (international business).
Budaya
Myanmar adalah negerinya para Buddhis, sehingga pagoda banyak sekali ditemukan di sini. Dengan populasi Buddha kurang lebih 82% dari total penduduk (44,5 juta), dan sisanya dari komunitas agama lain termasuk Islam 4%, kerukunan antar umat beragama sangat terasa di sini, dan bagi komunitas muslim dikarenakan kondisi mereka yang minoritas, membuat persaudaraan di antara mereka begitu kuat terasa. Beberapa masjid besar juga saya temukan di beberapa tempat.
Beberapa hal positif yang dapat dikemukakan dalam hal ini sebagai berikut,
– Negeri yang rindang. Meski secara infrastruktur terlihat masih jauh dari modernisme, namun pohon-pohon besar dimana-mana dan begitu banyak taman relaksasi yang luas dipertahankan oleh pemerintah dengan danau air, dan beragam hiburan di dalamnya, membuat suasana sejuk, rindang, dan nyaman
– Negeri yang religius. Ajaran Buddhis sangat kental terasa di negeri ini, yang mungkin juga disebabkan laju modernisme yang masih bisa dipertahankan oleh pemerintah setempat. Beberapa derivasi lanjutan dari hal ini,
o Sarung. Dimana-mana akan ditemukan mayoritas pria mengenakan sarung dengan pola pengikatnya yang sedikit berbeda dengan cara memakai sarung muslim. Sarung yang dipakai terbagi atas bahan dasar sutera (silk) atau katun (cotton). Bahkan handphone pun dipasang di kain sebagaimana kita di tali pinggang
o Pagoda. Buddhis juga sangat sering ditemukan di jalan-jalan, baik yang sedang sendirian maupun yang berkelompok. Pagoda-pagoda yang ramai dikunjungi, dimana di setiap area pagoda dibagi atas sudut-sudut tempat beribadah sesuai hari kelahiran masing-masing. Pagoda terbesar bernama Shwe Dagon terletak U Htaung Bo Road, dimana untuk menaikinya menggunakan lift, dan bangunan ini dipenuhi dengan bahan dasar emas. Usia dari pagoda terbesar ini kurang lebih 2500 tahun, dengan perbaikan terakhir dilakukan 100 tahun yang lalu
o Bersih. Meski negeri ini terlihat kumuh (Jakarta Tempo Doeloe), namun sangat sulit menemukan sampah yang berserakan, bahkan di tempat-tempat makan di pinggir jalan sekalipun. Luar biasa sekali. Saya sempat mencoba durian di China Town, dan setelah selesai, penjual langsung memasukkan sampah sisa durian ke dalam satu plastik, sehingga praktis tidak ada satupun yang tercecer di jalanan. Mungkin ini adalah bagian dari ajaran Buddhis, selain memang power dari pemerintah setempat yang begitu kuat dalam hal kebersihan
o Ramping. Agak sulit menemukan penduduk setempat yang bertubuh gemuk, hampir kebanyakan bertubuh ramping dan langsing, baik pria maupun wanita, padahal kalau dilihat dari makanan yang mereka makan kebanyakan menggunakan minyak (oily foods). Analisa sementara saya, hal ini adalah efek dari pembatasan mobil dan motor, sehingga fenomena umum yang berlaku adalah walking trip
o Pekerja. Tipikal masyarakat Myanmar adalah tipikal pekerja. Jarang terlihat sekumpulan pemuda yang berkumpul di suatu tempat hanya untuk ngalor-ngidul (kongkow) tanpa jelas juntrungannya. Semuanya harus bekerja karena mereka butuh uang untuk menyambung hidup
o Ramah. Keramahan cukup terasa di negeri ini, minimal para pelayan Hotel selalu menyapa dan tersenyum (tanpa dibuat-buat) setiap kali bertemu, bahkan untuk pertemuan yang kedua kalinya. Sesuatu yang jarang saya peroleh di beberapa hotel di Indonesia. Berjalan kaki di negeri ini pun jangan khawatir kehausan, karena di setiap sudut jalan, banyak rumah atau toko yang mendermakan air buat para pejalan kaki secara gratis (semacam sedekah)
o Cerdas. Hampir semua generasi muda Myanmar, pada level apapun, dapat berbicara menggunakan bahasa Inggeris secara fasih dan enak didengar, termasuk sebagian orang tua dan pekerjanya. Mereka mendapatkan pelajaran bahasa sejak kelas 4 SD, namun mungkin pola pembelajarannya yang jauh lebih efektif daripada Indonesia. Di saat bekerja, mereka akan serius sekali. Saya cukup terpukau dengan beberapa industri dan produk-produk ICT yang mereka kembangkan, dan mampu memproduksi untuk kebutuhan dalam negeri. Kalau Anda sedang berjalan kaki di jalanan, jangan terkejut kalau para pedagang di sana juga memiliki minat baca yang tinggi, terutama mungkin terhadap buku-buku spiritual Buddhis, dimana waktu kosong mereka isi dengan membaca dan membaca.
Artikel ini telah dimuat di : http://artikel.prianganonline.com/?act=artikel&aksi=lihat&id=172
Kategori
terima kasih artikelnya pak, sangat bermanfaat nih. Semoga indonesia bisa mencontoh kebaikan yg ada di myanmar..