Menghidupkan Sunnah

Menghidupkan Sunnah bermakna mengembalikannya kembali hidup jika ditemukan ia sedang mati suri. Di dalam Kitab Faidhul Qadhir, Syarah Sunan Ibnu Majah, dijelaskan bahwa menghidupkannya bermakna memahami petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan dan menyebarkannya di kalangan manusia, serta menganjurkan orang lain untuk mengikutinya dan melarang manusia dari menyelisihinya. Adapun yang disebut dengan Sunnah (secara bahasa adalah metode dan jalan, baik terpuji atau tercela. Dikutip dari karya Syaikh Manna’ al-Qaththan, Mabaahits fii ‘Uluumil Hadiits) adalah seluruh perkataan Nabi Muhammad Saw., perbuatannya dan ketetapannya atas segala sesuatu. Akan datang senantiasa masa dan kesempatan bagi manusia untuk menghidupkannya agar Allah melihat siapa di antara hambaNya yang mencintai Sunnah.
Allah Swt berfirman di dalam Al-Qur’an, tepat pada hari Ahzab, di kala manusia saat itu berada dalam kegoncangan jiwa, gelisah, gusar dan bimbang, mengingatkan mereka bagaimana kesabaran Nabi Saw, keteguhannya, kepahlawanannya, perjuangannya, dan kesabarannya dalam menanti pertolongan dari Rabb-nya Saw.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
Di dalam ayat ini, Allah Swt. menggambarkan bahwa manusia hidup membutuhkan keteladanan, dan sebaik-baik keteladanan adalah jika ia mengambilnya dari Rasulullah Saw. Namun, Allah juga menegaskan, bahwa tidak akan mungkin ada manusia yang mau menjadikannya teladan kecuali bahwa manusia tersebut adalah dari golongan orang-orang yang sangat mengharapkan turunnya rahmat Allah Swt di dunia dan di akhirat, dan sehingga dia pun banyak menyebut-nyebut nama Allah. Pada saat itulah ia sedang berada dalam jalan keselamatan, jalan yang lurus (shirat al-mustaqim), dan bahwa kecintaannya kepada Allah Swt ternyata mengharuskannya mengambil sebaik-baik teladan untuk kehidupannya dan itu ada pada diri Rasulullah Saw. Maka kita semakin memahaminya ketika Al Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan kepada kita, bahwa ayat yang mulia ini adalah pokok yang agung tentang mencontoh Rasulullah dalam berbagai perkataan, perbuatan dan perilakunya.
Allah Swt telah menguatkan korelasi antara keimanan manusia dengan kuatnya upaya dalam menghidupkan Sunnah manusia yang diutusnya dalam firman-Nya,
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31).
Ayat ini sebagai hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya, demikian tafsir dari Al-Hafizh Ibnu Katsir untuk menjadi renungan kita semua. Demikian pula Imam Qadhi ‘Iyadh mengingatkan bahwa ciri kecintaan manusia adalah saat dia senantiasa mengutamakannya dan kemudian berusaha meneladaninya.
“Dan ambillah apa yang datang kepadamu dari Rasul dan tinggalkan apa yang dilarang untukmu.” (Al-Hasyr:7)
Semangat manusia untuk meneladani Rasulullah Saw adalah perkara yang akan menyempurnakan keimanannya di dunia. Karenanya Rasulullah Saw diutus dari kalangan manusia, hidup bersama manusia, dan memiliki sifat-sifat manusia yang sama, agar wahyu dari langit benar-benar menjadi mudah untuk diamalkan, bukan wahyu yang tinggi dalam pengertian hanya dapat diamalkan oleh para Nabi, dan bukan untuk manusia kebanyakan. Pada titik ini, peran Nabi Saw telah berhasil di dalam membumikan Al-Qur’an.
Menghidupkan Sunnah bagi seorang manusia juga akan membawanya kepada 2 (dua) keutamaan (fadhilah), yakni balasan dari pengamalannya itu sendiri, berikut mengamalkannya ketika kebanyakan manusia telah melupakan atau meninggalkannya. Bahkan sebagaimana ditulis dalam Kitab Manasik Haji dan Umroh, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menegaskan bahwa semakin terlupakan sebuah sunnah, semakin besar keutamaan bagi mereka yang mengamalkannya.
Sungguh mendalam untaian kata dari sebagian ahlul hikmah,
ليس الشآن آن تحب، إنما الشآن آن تحب
“Yang jadi permasalahan bukanlah jika engkau mencintai, tapi permasalahannya ialah jika engkau dicintai.”
Sunnah sebagai segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad Saw. adalah sangat tinggi kedudukannya di sisi Allah Swt, sebagaimana firman-Nya yang kemudian dijelaskan oleh ‘Aisyah r.a, bahwa akhlak beliau Saw adalah Al-Qur’an.
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang agung” (QS al-Qalam:4).
Al-Qur’an diturunkan sebagai pedoman hidup manusia (minhajul hayah), maka ayat di atas menegaskan bahwa Rasulullah Saw adalah memang yang paling layak diteladani karena beliau Saw yang paling memahami Al-Qur’an, sekaligus mengamalkannya, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi dirinya dengan sebaik-baik akhlak dari Al-Qur’an.
من أحيا سنة من سنتي فعمل بها الناس، كان له مثل أجر من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئاً
“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun“
Dalam posisinya sebagai penjelas dari Al-Qur’an yang qath’i, Sunnah menjadi sumber ilmu dan pengetahuan, sumber peradaban, sumber adab, referensi utama dalam kehidupan manusia, sebagaimana dijelaskan secara detail oleh Syaikh Yusuf al-Qaradhawy dalam kitabnya, As-Sunnah, Mashdaran li al-ma’rifah wa al-hadharah. Akan semakin kagumlah kita kepada para ulama terdahulu yang begitu memahami pentingnya menghidupkan sunnah, sampai-sampai mereka merelakan waktu dan segala yang mereka miliki dicurahkan untuk menghidupkannya. Imam Syafi’i digelari Nashir as-Sunnah (Pembela As-Sunnah) ketika berhasil meyakinkan para ulama Iraq untuk menerima hadits Ahad.
Kita juga teringat kepada sosok Imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana dalam kitab Talbis Iblis, ketika dia mendengar satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum sampai kepada beliau sebelumnya, beliau mengatakan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun (zikir yang diucapkan ketika ditimpa musibah), satu sunnah dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sampai kepadaku (sebelum ini)? Beliau juga pernah mengatakan, “Tidaklah aku menulis sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali aku telah mengamalkannya, sehingga ketika sampai kepadaku hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dan memberikan (upah) satu dinar kepada Abu Thaibah (tukang bekam), maka ketika aku berbekam aku memberikan (upah) satu dirham kepada tukang bekam.
Kategori