Konsep Wahyu

Secara bahasa, “wahyu” bermakna “pemindahan sesuatu kepada yang lain”. Imam Ibn Manzhur menyebutkan, “Setiap yang kamu alihkan kepada selainmu”. Maka maknanya mencakup berisyarat (isyaarah), menulis (kitaabah), menyampaikan surat/pesan (risaalah), memberi ilham (ilhaam), dan berbicara dengan pelan (kalam khafiy).
Dapat diketahui bahwa wahyu adalah sumber ajaran para Nabi. Yang membedakan Nabi dari manusia lainnya adalah wahyu itu sendiri. Wujud wahyu itu sendiri adalah kalaam (firman) Allah SWT yang ditransferkan kepada Nabi-Nya, baik secara langsung ataupun melalui perantaraan malaikat. Itu berarti bahwa wahyu memiliki dua unsur pokok, yakni Allah SWT selaku pemberi wahyu dan Nabi sebagai penerima wahyu.
Ketika wahyu itu disebut munazzal (diturunkan langsung), maka ia perlu mendapatkan perhatian tersendiri, karena maknanya apa yang diterima Nabi adalah murni sebagai firman Allah SWT secara utuh. Di dalamnya tidak terkandung penafsiran dan pengalihan bahasa oleh malaikat atau oleh Nabi sendiri. Dengan sangat tegas dinyatakan bahwa al-Qur’an itu tanziil; diturunkan langsung dalam bahasa Arab ke dalam sanubari Nabi Muhammad saw. Tidak ada campur tangan malaikat sedikit pun. Terlebih syaithan tidak akan mampu mengembannya.
Oleh karenanya teks wahyu tidak akan sama dengan teks buatan penyair, ataupun jampi-jampi paranormal. Inilah wahyu yang metahistoris; tidak terikat sejarah, tidak terikat oleh ruang dan waktu. Ia jelas tidak tunduk pada budaya Arab yang ada waktu itu, melainkan melintasinya. Kalau memang wahyu merupakan hasil kreasi manusia, tentu manusia-manusia yang lainnya pun bisa membuat karya yang serupa dengannya. Akan tetapi fakta berbicara lain; wahyu tidak bisa tersamai oleh karya manusia yang ada waktu itu, bahkan sampai hari ini.
Ketika hari ini ada upaya penggeseran hakikat bahwa wahyu bukan kalam Ilahi, melainkan teks sejarah, maka hermeneutika pun menjadi terkesan dipaksakan sebagai model penafsiran terbaru. Aslinya metode ini adalah hasil pemikiran Barat atas kesadaran mereka akan kekurangan Injil yang ditulis ratusan tahun setelah Isa a.s. wafat, dan bahwa penulisnya tidak satupun yang pernah bertemu dengan Isa a.s., dan padahal kita tidak pernah punya persoalan dengan teks wahyu, dan dengan demikiran tidak akan pernah membutuhkan hermeneutika.
Baiklah, mari kita masuk ke dalam terminologi Al-Qur’an, sebagai wahyu-Nya terakhir sekaligus penyempurna dan penutup. Berbahagialah kita berada dalam barisan umat penutup, umat yang mendapatkan tambahan nikmat akan terjaganya Al-Qur’an sejak ia diturunkan hingga 1400-an tahun setelahnya.
Al-Qur’an memiliki akar: qara-a bermakna mengumpulkan dan menghimpun. Qira’ah adalah merangkai huruf dan kata satu dengan lainnya dalam ungkapan nan teratur. Qara-a, qira-atan wa qur-aa-nan. Secara khusus, Al-Qur’an menjadi nama kitab, identitas genuine. Istilah ini tidak saja merujuk pada sebuah kitab, namun juga bagian dari ayat-ayatnya.
Tidak terdapat bukti empiris langsung yang menerangkan bahwa Al-Qur’an langsung dari Tuhan kecuali bukti dari lembarannya sendiri. Namun juga tiada bukti empiris bahwa Al-Qur’an adalah bikinan Muhammad Saw. Dapat ditunjukkan secara rasional dari bukti sejarah bahwa bukan Muhammad Saw, juga bukan orang lain, yang menyusun Al-Qur’an, dan kemudian mengubahnya sebagai Wahyu Tuhan.
Yang menarik, justeru Al-Qur’an sendiri yang menantang orang-orang yang masih ragu tentang sumber ketuhanannya. Kedua, sangat menarik juga melihat betapa tidak beralasannya mereka yang mengangkat tesis bahwa Al-Qur’an merupakan produk sastra Muhammad Saw. Ketiga, sikap Muhammad Saw yang selalu menta’zhimkannya dengan ta’awudz dan basmallah, terus menerus membacanya dalam kesendirian, dan memanfaatkan malam2nya dengan menangis berbekalnya, ini semua praktik yang tidak umum di kalangan orang-orang shalih di masanya, dan dengan demikian perlu dipertimbangkan. Terakhir, tema-tema yang terputus-putus dan beragam ternyata masih menjadi sifat ayat-ayat yang konsisten dan utuh bahkan sejak awal sekali, dan ini bukanlah keumuman seorang penulis yang biasanya mengetengahkan alur pikirannya yang teratur dan runtut, dan akan sangat sulit jika dilakukan secara sporadis dalam beragam situasi yang meliputi hatinya dalam kurun 23 tahun!
Oh ya, jangan lupa ada dua hal pelengkap, bahwa penyebutan Al-Qur’an akan kelemahan dan kemanusiaan ‘penulisnya’ betul-betul tidak sesuai dengan sikap umum pengklaim peraih ilham Tuhan. Al-Qur’an pun ternyata sangat mudah dihafalkan, meskipun tidak memahami bahasanya.
Demikian kira-kira beberapa konsep utama dan mendasar tentang Wahyu, semoga Allah Swt memudahkan kita untuk menjaganya dan dijaga dengannya. Segala urusan setelahnya kita kembalikan kepada Rabbul ‘Izzati wa al-Jalalah. Silahkan bagi yang hendak membongkarnya, menyempurnakannya sebagai bagian dari diskusi kita. Wassalaamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakaatuh.
Kategori