Lanjut ke konten

Talak Tiga

talak1Talak Tiga adalah talak yang dilakukan secara berturut-turut oleh seorang suami kepada isterinya dengan perkataan yang diulang 3x, baik dalam keadaan emosi maupun tidak emosi. Seluruh imam madzhab yang empat bersepakat bahwa hukumnya adalah telah jatuh talak ketiga, atau talak bainunah kubra. Namun, apakah seluruh ulama bersepakat dengan para imam madzhab yang empat? Jika ada yang tidak bersepakat, apakah dalil yang dijadikan landasannya? Kajian ini mencoba mengulas masalah ini, sehubungan semakin maraknya di akhir zaman ini, perilaku manusia tanpa ilmu yang bermudah-mudah dalam masalah talak, bahkan cenderung mempermainkan agama menurut definisi Rasulullah Saw.

Dewan Ulama Besar Saudi Arabia ketika membahas mengenai masalah Talak Tiga dengan Satu ungkapan ini, pada akhirnya suara mayoritas juga memutuskan telah jatuhnya talak, yakni pada keputusan Nomor 18 Tanggal 12/11/1393H, kecuali lima anggota dewan yang tidak bersepakat, yakni Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz, Syaikh Abdul Razaq Afifi, Syaikh Abdullah Khiyath, Syaikh Rasyid bin Khunain dan Syaikh Muhammad bin Jubair. Ulama lima yang mulia ini memiliki pandangan yang ungkapannya[1] sebagai berikut:

Segala puji bagi Allah, shalawat beserta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah dan keluarganya serta kepada orang-orang setelahnya. Kami melihat bahwa talak tiga dengan satu ungkapan berarti talak satu. Peneliti berkata: Masing-masing dari dua kelompok datang dengan dalil-dalil dan apa yang mereka pandang.

talak2Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa dalam UU Mesir No. 25 tahun 1929 pasal 3 disebutkan, “Talak dengan kata-kata atau isyarat yang dinyatakan beberapa kali hanya dihitung sekali.” Hal ini bagian dari keinginan untuk membina keluarga yang bahagia dan untuk menghindarkan orang dari perbuatan “muhallil” yang menodai.[2]

Dr. Wahbah Az-Zuhaily menyebutkan bahwa fuqaha’ telah sepakat (ittifak) bahwa talak sunni yang disyari’atkan adalah talak yang dijatuhkan dengan tartib, terpisah- pisah satu setelah yang lain, dan bukan dengan menghabiskannya tiga sekaligus. Dan apabila talak tiga dilakukan dengan satu lafaz, atau dengan lafaz-lafaz yang terpisah namun dalam satu masa suci, maka itu adalah talak bid’i.[3]

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa para ulama salaf dan khalaf dari kalangan sahabat berpendapat bahwa talak jenis ini adalah talak yang diharamkan, dan tidak ada yang mengikat kecuali hanya satu talak saja. Maka pendapat seperti ini menjadi pendapat mayoritas tabi’in dan para ulama setelah mereka, sebagaimana ia pendapat sebagian pengikuti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad.[4] Al-Bassam menyebutkan dari para ulama bahwa para sahabat yang sependapat dengan hal ini di antaranya Abu Musa al-Asy’ari, Ibn ‘Abbas, Abdullah ibn Mas’ud, Abdurrahman bin ‘Auf dan Zubair bin Awwam. Sementara dari kalangan tabi’in adalah Thawas, Atha, Jabir bin Zaid, pengikut mayoritas Ibn ‘Abbas, Abdullah ibn Musa, dan Muhammad Ishak. Sementara dari kalangan Imam Madzahib: Imam Daud dan mayoritas pengikutnya, sebagian pengikut Abu Hanifah, sebagian pengikut Imam Malik, sebagian pengikut Imam Ahmad seperti Al-Majid Abdissalam ibn Taimiyah, dimana ia memfatwakan hal ini dengan sembunyi-sembunyi, sementara cucunya secara terang-terangan di majelisnya, demikian pula dengan banyak pengikutnya, di antaranya Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam kedua kitabnya Al-Huda dan Ighatsatul Lafhan, dengan kajian yang panjang, teks yang luas, serta membantah orang-orang yang bertentangan dengan jawaban yang cukup dan memuaskan.[5]
Di antara perbedaan pemahaman yang melahirkan perbedaan sikap dan keputusan sesungguhnya dilatarbelakangi di antaranya atas hal-hal berikut ini,

1. Maksud dari ayat-ayat Allah terkait hal ini bahwa asasi dari Talak bersifat tiga kali waktu yang berbeda setelah diselingi kemungkinan rujuk. Hal ini adalah bagian dari keindahan Islam yang menjadikan talak sebagai emergency exit, dan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang patut dimuliakan.

2_229

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya [144]. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Baqarah/2:229)

2_230

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah/2:230)

talak3Al Imam Ibn Hajar Al-Atsqalani meskipun berbeda pendapat dengan dijadikannya ayat ini sebagai dalil, namun beliau mengetengahkan pendapat Imam Al-Qurthubi yang menyatakan, “Imam Bukhari menyebutkan ayat ini di bawah judul, ‘Orang yang membolehkan Talak Tiga berdasarkan firmannya, Ath-Thalaqu Marrataan. Hal ini sebagai isyarat bahwa jumlah ini untuk memberi kelapangan bagi mereka. Barangsiapa mempersempit, maka hal itu mengikat baginya.“[6]

2. Pemahaman akan Hadits Riawayat Muslim dalam shahihnya, bahwa ‘Umar sebagai khalifah di masanya berijtihad dengan hukum yang berbeda dengan hukum yang pernah diamalkan olah Rasulullah Saw dan para sahabat sebelumnya.

HR. Muslim No. 2689

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ وَاللَّفْظُ لِابْنِ رَافِعٍ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ ابْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ ابْنِ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ الطَّلَاقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ طَلَاقُ الثَّلَاثِ وَاحِدَةً فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِنَّ النَّاسَ قَدْ اسْتَعْجَلُوا فِي أَمْرٍ قَدْ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ فَأَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dan Muhammad bin Rafi’ sedangkan lafazhnya dari Ibnu Rafi’, Ishaq mengatakan; Telah mengabarkan kepada kami, sedangkan Ibnu Rafi’ mengatakan; Telah menceritakan kepada kami Abdur Razaq telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas, dia berkata: Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan dua tahun dari kekhilafahan Umar, talak tiga (dengan sekali ucap) masih dihukumi talak satu. Setelah itu Umar bin Al Khaththab berkata; Nampaknya orang-orang tergesa-gesa dalam urusan yang sebenarnya telah diberikan keleluasaan bagi mereka. Bagaimana seandainya kami memberlakukan suatu hukum atas mereka?! Niscaya mereka akan memberlakukannya (menjatuhkan talak tiga bagi yang menceraikan isterinya tiga kali dengan sekali ucap-pent).

HR. Muslim No. 2690

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ رَافِعٍ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي ابْنُ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ أَبَا الصَّهْبَاءِ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ أَتَعْلَمُ أَنَّمَا كَانَتْ الثَّلَاثُ تُجْعَلُ وَاحِدَةً عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَثَلَاثًا مِنْ إِمَارَةِ عُمَرَ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ نَعَمْ

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Rauh bin ‘Ubadah. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Ibnu Rafi’ sedangkan lafazhnya dari dia, telah menceritakan kepada kami Abdur Razaq telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij telah mengabarkan kepadaku Ibnu Thawus dari ayahnya bahwa Abu Ash Shahba` dia berkata kepada Ibnu Abbas; Tahukah kamu bahwa talak tiga (dengan sekai ucap) dihukumi satu talak pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar, dan dihukumi tiga talak pada masa kekhilafahan Umar? Ibnu Abbas menjawab; Ya.

HR. Muslim No. 2691

و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ عَنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ السَّخْتِيَانِيِّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مَيْسَرَةَ عَنْ طَاوُسٍ أَنَّ أَبَا الصَّهْبَاءِ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ هَاتِ مِنْ هَنَاتِكَ أَلَمْ يَكُنْ الطَّلَاقُ الثَّلَاثُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَاحِدَةً فَقَالَ قَدْ كَانَ ذَلِكَ فَلَمَّا كَانَ فِي عَهْدِ عُمَرَ تَتَايَعَ النَّاسُ فِي الطَّلَاقِ فَأَجَازَهُ عَلَيْهِمْ

Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Sulaiman bin Harb dari Hammad bin Zaid dari Ayyub As Sakhtiyani dari Ibrahim bin Maisarah dari Thawus bahwa Abu As Shahba` berkata kepada Ibnu Abbas; Beritahukanlah kepadamu apa yang engkau ketahui! Bukankah talak tiga (yang di ucapkan sekaligus) pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar dinyatakan hanya jatuh talak sekali? Jawab Ibnu Abbas; Hal itu telah berlaku, dan pada masa pemerintahan Umar, orang-orang terlalu mudah untuk menjatuhkan talak, lantas dia memberlakukan hukum atas mereka (yaitu jatuh talak tiga dengan sekali ucap).

Menurut al-Bassam, ini adalah teks hukum yang benar dan jelas sekali yang tidak membutuhkan penafsiran dan pemindahan redaksi lagi. Praktek langsung dari ‘Umar bin Khaththab ini semata-mata merupakan suatu ijtihan dari ijtihad para pemimpin. Ijtihad ini berbeda sesuai dengan kondisinya. Ijtihad tidak menetapka nsyariat yang mengikat yang tidak boleh berubah, melainkan yang permanen dan mengikat adalah syari’at yang asli bagi masalah ini.[7]

torn piece of paper with divorce text and paper couple figuresIbn Qayyim al-Jauziyyah, setelah menjelaskan dengan panjang lebar dan ilmiah tentang batalnya thalak tiga, karena masuk dalam kategori talak bid’ah yang tertolak, kemudian menjelaskan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab tidaklah melawan atau menentang ijmak pendahulunya, akan tetapi ‘umar mengemukakan pendapat yang mengharuskan jatuhnya thalak tiga sebagai hukuman bagi mereka karena mereka telah mengetahui bahwa thalak tiga menjadjikan hubungan suami istri menjadi haram dan masyarakat banyak melakukannya hingga di luar hitungan. Maka ‘Umar memberikan hukuma kepada masyarakat atas kesulitan yang mereka buat sendiri dan tidak menerima keringanan hukum dan kemudahan yang dianugerahkan Allah dalam masalah ini, bahkan lebih memilih yang keras dan mempersulit diri. Yang jelas, ‘Umar bin al-Khaththab r.a. tidak mengatakan bahwa keputusan ini dari Rasulullah, akan tetapi dia mengatakan bahwa keputusan tersebut hanyalah pendapat pribadinya yang didasarkan pada pengamatannya terhadap kemaslahatan umum dan masyarakat secara umum, yang dapat menghentikan kebiasaan mereka yang tergesa-gesa dalam mengambil keputusan untuk menjatuhkan thalak tiga. Inilah penyelarasan dan pengumpulan terbaik dalam penyatuan antara sejumlah nash dengan sikap ‘Umar bin al-Khaththab dan orang-orang yang sependapat dengannya.[8]

3. Pemahaman bahwa Hadits Rukanah adalah hadits mudtharib.

Hadits Rukanah adalah di antara dalil yang dijadikan rujukan bagi mereka yang berbeda pendapat. Menurut Imam Bukhari, hadits ini mudtharib. Imam Ahmad berkata, “Sanad hadits ini semuanya lemah. Sebagian ulama berkata: Di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang tidak diketahui. Di dalam sanad tersebut terdapat perawi yang dha’if dan matruk. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berkata, “Hadits Rukanah dha’if menurut para ulama hadits. Hadits tersebut dinilai dha’if oleh Ahmad, Bukhari, Abu Ubaid, dan Ibn Hazm di mana para perawinya tidak adil dan dhabit.”

Demikianlah tulisan ini untuk melengkapi pemahaman kita akan diskursus seputar masalah Talak Tiga ini. Semoga Allah menjaga umat ini dengan baiknya keluarga-keluarga Muslim dan upaya mereka untuk sentiasa menjaga diri dan keluarga mereka dengan iman, ilmu, dan amal shalih.

keluarga sakinah

Maraji’:

1] Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Jilid V, hlm. 579.

2] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah Jilid III, Dar al-Fath, 2004, hlm. 164.

3] Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz 9, Damaskus: Dar el-Fikr, 2002, hlm. 6926.

4] Al-Bassam, Taudhih, hlm. 578.

5] Ibid, hlm. 576.

6] Ibn Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Jilid 26, hlm. 74.

7] Al-Bassam, Taudhih, hlm. 576.

8] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zaad al-Ma’ad, Jilid V, Dar at-Taqwa lil Nasyr wa at-Tauzi’, 1420, Cet. I, hlm. 293.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: