Diksi Kafir Untuk Diimani, Bukan Digugat

Diksi kafir adalah diksi Kitab Suci yang tidak patut untuk digugat. Di dalam Al-Qur’an, diksi ini digunakan baik dalam periode Makkiyah, juga dalam periode Madaniyah. Jika dalam periode Makkiyah ada Surat Al-Kāfirun (Orang-orang Kafir), begitu pula dalam periode Madaniyah, dengan 26 surat itu, memiliki Surat Al-Baqarah yang mengandung 3 (tiga) tipologi manusia dalam Rubū’ Pertama, yaitu: takwa, kafir, dan munafik.
Diksi kafir dipahami sebagai kondisi bagi siapapun yang tertutupi dari sesuatu. Kafir dalam ber-Islam bermakna kalbu yang tertutup akan kebenaran cahaya Islam melalui kedua sumber ajarannya, Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yang menarik, dalam Surat Al-Baqarah [2] ayat 256 yang diturunkan di Kota Madinah yang Terang Benderang (Al-Munawwarah), terma kafir dan iman justru berpadu dalam sebuah jiwa: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar (kafir) kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Makna kafir kemudian banyak diserap dalam bahasa lain, seperti to cover, menutupi, dalam bahasa Inggris. Seorang Muslim tidak akan pernah marah disebut kafir oleh penganut agama lain, karena memang realitasnya Muslim tidak meyakini keyakinan agama lain. Menghormati keyakinan umat lain bahwa Muslim adalah domba tersesat, atau umat yang tidak selamat, menurut sudut pandang agama lain, adalah hal yang biasa, karena memahami realitas akidah yang berbeda. Demikian pula tentunya perasaan umat lain atas konsep-konsep inti yang diajarkan dalam Islam.
Realitas kafir menjadi bagian yang wajib diyakini Muslim dalam kajian akidah (baca: beragama), namun Muslim juga diwajibkan berlaku baik kepada orang-orang kafir dalam kajian akhlak (baca: berbangsa). Identitas kafir dalam kajian akidah tidak serta merta membawa Muslim untuk berperilaku buruk kepada orang-orang kafir, karena puncak kualitas akidah sebagai pondasi dan inti Islam adalah akhlak yang terpuji, dan terapi meraihnya melalui penghayatan ibadah. Dapat dipahami mengapa kemudian keindahan Islam dapat dinikmati orang-orang kafir sepanjang sejarah kepemimpinan Islam sejak abad 7 M, karena dalam tata kenegaraan, orang-orang kafir mendapatkan kesempatan untuk mengisi posisi-posisi profesional dalam kepemimpinan Islam.
Di masa para penduduk dunia saling melakukan ekspansi wilayah di masa lalu, dikenalkan bagaimana membagi orang-orang kafir yang berhasil dikuasai, dalam istilah-istilah fiqh seperti kafir harbi, kafir dzimmi, kafir musta’min, dan kafir mu’ahad. Seluruh frasa yang digunakan ini tetap menegaskan identitas kafir. Justru yang menarik, hadirnya aturan dari penguasa Islam seperti kafir dzimmi, malah menghadirkan sebuah kondisi bahwa Muslim dan Kafir dalam Kepemimpinan Islam, sama di mata hukum (before the law), bukan warga kelas dua.
Penggunaan keempat terma kafir dalam kitab fiqh klasik di atas tentu tidak kontekstual untuk diterapkan di Indonesia, dan karenanya tidak pernah diterapkan oleh ulama manapun di Indonesia. Negara ini dibangun di atas kesepakatan umat beragama, dengan realitas umat Islam sebagai mayoritas, sehingga wajar nilai-nilai Islam lebih mewarnai dalam seluruh produk kenegaraan, dan tidak bisa dibaca sebagai tirani mayoritas atas minoritas. Justru menjadi anomali jika yang terjadi ke depan justru tirani minoritas atas mayoritas.
Akhir-akhir ini memang ada sebagian kecil kaum muslimin yang bermudah-mudah dalam mengkafirkan sesama Muslim hanya karena perbedaan pandangan politik. Kasus ini terjadi di internal tubuh umat Islam, sebagaimana juga terjadi pada internal tubuh umat agama lain. Namun, selain kasus yang terjadi sangatlah kecil, juga sangat tidak kontekstual untuk dijadikan alasan untuk mengganti kata kafir menjadi Non-Muslim, karena umat Islam sekali lagi tidak pernah menyebut kafir kepada orang-orang Non-Muslim dalam implementasi akhlaknya sehari-hari di ruang publik. Kasus yang terjadi adalah pelabelan kepada Muslim sendiri, bukan kepada Non-Muslim.
Pemikiran mudah mengkafirkan (takfiri) seperti paham Khawarij tentu menjadi sesuatu yang wajib diperangi secara ilmiah, namun solusinya bukan dengan mengganti istilah kafir menjadi Non-Muslim, karena sekali lagi tidak berkorelasi sama sekali. Pembinaan terhadap akar masalah berpikir yang melahirkan paham takfiri yang perlu dilakukan. Adapun menggunakan terma kafir menjadi Non-Muslim dalam situasi menjelang perhelatan politik, justru menghadirkan keresahan di tengah masyarakat.
Tentu saja diksi kafir memiliki ruangnya tersendiri, sebagaimana Allah memanggil mereka juga dengan sebutan beberapa sebutan seperti An-Nās, Bani Ādam, Ahli Kitab, ‘Ibādi. Menyebut Non-Muslim (Ghair al-Muslimīn) adalah di antara wujud kebaikan akhlak. Persoalan ini telah lama dipahami umat, sehingga tidak memiliki tingkat urgensitas yang tinggi untuk diangkat ke publik.
Bukti bahwa tidak ada diskriminasi antara Muslim dan Non-Muslim di Indonesia dapat terlihat dalam banyak hal, seperti dipilihnya hari Ahad (Minggu) sebagai hari Libur, padahal mayoritas menginginkan hari Jum’at sebagai hari Libur. Begitu pula di bidang politik, siapa pun diperkenankan mencalonkan diri hingga posisi Presiden di Indonesia. Namun, bukan berarti dengan mengusulkan istilah Kafir dengan Non-Muslim, umat diminta meyakini bahwa Muslim dan Non-Muslim sama saja untuk dipilih. Tentunya Muslim menjadikan agamanya sebagai panduan politik, termasuk kewajiban memilih sosok Muslim dengan kriteria seperti cerdas, berintegritas, dan profesional.
Muslim dan Non-Muslim tentu faktanya adalah memang sama-sama warga negara (muwathin) di Indonesia, dan karenanya saling menghormati dalam semangat kebangsaan (muwathanah). Hal ini belum pernah dipersoalkan oleh kaum muslimin di Indonesia, dan keharmonisan di antara pemeluk agama telah berlangsung lama di setiap daerah. Namun begitu, konsep kesamaan sebagai warga negara jangan sampai menjadi dalil bagi sebagian orang, untuk kemudian tidak mementingkan agama sebagai identitasnya, menghapuskan kolom agama pada KTP, atau bahkan lebih jauh lagi meyakini kebenaran ada pada setiap agama. Menjadi warga negara yang baik di Indonesia harus berawal dari memahami identitasnya sebagai umat beragama, yang menjadikan agama sebagai panduan berpikirnya dalam semangat kebangsaan.
Terhadap usulan dari ormas PBNU, dibutuhkan kearifan dari Pemerintah untuk secara proporsional juga meminta pertimbangan banyak ormas lainnya yang setara seperti Persatuan Umat Islam (PUI), Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, Al-Khairat, Persatuan Islam (Persis), Jam’iyyatul Washliyah, IKADI, Ittihadiyah, Al-Irsyad al-Islamiyah, Hidayatullah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Nahdhatul Wathan, Syarikat Islam, Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Wahdah Islamiyah, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan ormas lainnya. Penting juga untuk sentiasa menjaga komunikasi regular dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai wadah silaturrahim ormas Islam. Jangan sampai negara terlibat dalam intervensi diksi-diksi Kitab Suci, dan menghadirkan persepsi ketidakadilan oleh seluruh ormas Islam yang ada di Indonesia.
Selain wajib berlaku baik kepada Non-Muslim, seorang Muslim juga dituntut untuk sentiasa melahirkan kedamaian kepada sesama kaum muslimin. Keinginan untuk membahagiakan dan diterima Non-Muslim, jangan kontra produktif dengan kewajiban menjaga perasaan umat Islam sebagai umat mayoritas, sementara Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari Nomor 10: “Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya.” Bagi Non-Muslim yang dibutuhkan bukan permainan kata-kata, melainkan bukti kepribadian sebagai Muslim dengan keunikan cirinya: Akhlak yang terpuji (Akhlakul Karimah). Jangan sampai seseorang bersemangat membangun ukhuwah wathaniyah, padahal mereka masih memiliki pekerjaan rumah dalam membangun ukhuwah imaniyah atau ukhuwah islamiyah.
Forum ilmiah nan mulia seperti Bahts al-Masāil hendaknya tidak melupakan isu-isu paling strategis terkini yang membutuhkan keputusan dan persatuan ulama yang sangat ditunggu-tunggu oleh bangsa Indonesia, sehingga berharap lebih diprioritaskan. Ada beberapa kasus yang dampaknya sangat strategis merubah seluruh sendi kehidupan bahkan mengancam Ketahan Nasional seperti Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang sedang dibahas di DPR, dengan Naskah Akademik dan kandungan Rancangan yang sarat berideologi trans-nasional Feminisme Radikal dari Barat. Kasus lain yang menarik misalkan bagaimana hukum pemilikan lahan sekian ratus ribu hektar yang saat ini dikuasai oleh banyak perusahaan di Indonesia dengan izin pemerintah. Kedua kasus ini selain sangat kontekstual, juga tentunya jauh lebih prioritas, mengingat tidak mudah untuk mengumpulkan ulama dalam sebuah waktu untuk membahas semua hal.
Sebagai penutup, pola komunikasi publik dari sebuah produk hukum yang dibuat oleh para ulama hendaknya tidak menutup diri dari konteks waktu dan tempat, sekaligus analisa dampak dari sosialisasi produk hukum. Perlu terus diciptakan kondisi yang kondusif agar umat semakin dekat dan percaya dengan ulama. Menjelang perhelatan akbar demokrasi 17 April 2019, peran ulama sebagai garda terdepan panduan umat harus terus berkolaborasi menciptakan kedamaian dalam keilmiahan. Berbeda namun tetap bersatu.
Penulis:
Dr. Wido Supraha
Wakil Sekretaris Komisi Ukhuwah MUI Pusat
Dosen Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor
HP: +62 815 891 25 22
e-Mail: wido.supraha@uika-bogor.ac.id
Paper dapat didownload, klik:
https://www.academia.edu/38668137/Diksi_Kafir_Untuk_Diimani_Bukan_Digugat
Kategori