Lanjut ke konten

Pertarungan Ideologi?

ideologySelasa, 20 Maret 2007

Partai yang mengaku ’nasionalis’ melihat Islam sebagai ancaman dan musuh ideologi kebangsaan, sehingga seluruh elemen bangsa harus bersatu mempertahankan NKRI. Benarkah Islam tidak nasionalis?

oleh : Wido Q Supraha, M.Si.

Hari Kamis pekan lalu, 17 partai politik (parpol) memberikan pernyataan bersama dan secara resmi menyatakan berkoalisi untuk mendukung salah satu calon gubernur sebuah propinsi yang juga menjadi ibukota negara Republik Indonesia, meski kemudian 2 parpol menyatakan belum bergabung dengan koalisi tersebut. Deklarasi tersebut secara otomatis menskenariokan 1 parpol yang berideologi Islam berjalan sendirian, dan lebih jauh menjadikannya musuh utama dan terbesar di dalam perhelatan akbar pesta demokrasi yang akan berlangsung di propinsi tersebut. 

Media Online Detik.Com, 15 Maret 2006, menurunkan sebuah berita berjudul: ’PDIP DKI: Kita Berhadapan dengan Musuh Ideologis’. Disebutkan dalam berita itu, Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan DPD PDIP DKI Jakarta, Budi Aris Setiadi mengungkapkan, Presiden SBY adalah musuh politik, tapi ada yang lebih dari itu, yaitu musuh ideologis, dan kita sedang berhadapan dengan musuh ideologis. 

Masih menurut Budi Aris Setiadi, seperti diberitakan Detik.Com, koalisi antara 17 partai politik adalah koalisi dari partai-partai yang jelas mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), karena koalisi tersebut melihat ada ancaman ideologis yang mengancam keutuhan NKRI. PDIP akan tetap mempertahankan aspek pluralisme dan Bhinneka Tunggal Ika, karena yang dihadapi oleh bangsa saat ini adalah terancamnya pluralisme dan Kebhinnekatunggalikaan. Koalisi yang terjadi adalah koalisi Jakarta atau koalisi besar untuk mempertahankan pluralisme, NKRI dan kebhinnekaan, sehingga Koalisi Nasionalisme versus Sektarianisme. Diharapkan dengan koalisi ini semakin jelas siapa yang eksklusif, siapa yang inklusif, terangnya secara bersemangat. 

Berita ini sebenarnya merupakan sesuatu yang penting ditinjau dari sudut pemikiran Islam. Jika dilihat dari kacamata politik pada umumnya, menebarkan fitnah atas perjuangan harakatul ishlah adalah sesuatu yang biasa terjadi. Namun, mengeluarkan sebuah pernyataan tanpa ilmu justeru akan membuat geli para pendengarnya. Jadi, dalam hal ini berlaku peribahasa ”faqidu-sy-syai’ la yu’ti” (yang kehilangan / kekurangan sesuatu tidak akan [bisa] memberi). 

Islam dan Rahmat

Allah SWT di dalam Q.S. al-Anbiya’ ayat 107 berfirman, ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Menyebutkan makna ayat di atas, seorang pemimpin pergerakan salah satu organisasi da’wah Islam terbesar di dunia saat ini, Ustadz Hasan Al Banna berkata,”Setelah ini semua saya harus katakan bahwa pergerakan ini menghendaki kebajikan bagi seluruh dunia. Mereka menyerukan persatuan global, sebab inilah maksud dan tujuan Islam.” Lebih lanjut, sebagaimana dikutip Prof. Dr. Taufiq Yusuf al-Wa’iy di dalam bukunya Pemikiran Politik Kontemporer, dijelaskan bahwa sesungguhnya, Islam telah memerintahkan agar setiap orang bekerja demi kebajikan negerinya, untuk mempersembahkan pengabdiannya, untuk memberi kebajikan sebanyak yang dia mampu kepada masyarakat yang ia hidup di tengahnya, dan untuk mempersembahkan hal itu mulai dari yang terdekat, kerabat, famili, dan tetangga, hingga zakat tidak boleh didistribusikan lebih jauh dari jarak shalat qashar – kecuali terpaksa – karena memperhatikan yang lebih dekat terlebih dahulu. Ibnu ’Abbas menjelaskan makna ayat di atas dengan berkata, ”Barangsiapa yang mengikutinya, niscaya hal itu menjadi rahmat di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa yang tidak mengikutinya, niscaya dia akan ditimpa suatu ujian yang mengenai seluruh umat berupa bencana alam, perubahan bentuk dan fitnah. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Abu Hurairah r.a. pernah berkata, ”Ya Rasulullah! Sumpahilah orang-orang musyrik itu.” Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai orang yang melaknat. Aku diutus hanyalah sebagai rahmat.”  Setiap Muslim harus mencari peluang untuk berbuat baik dan berbakti kepada tanah air tempat ia tumbuh. Oleh karena itulah, maka seorang Muslim yang paling nasionalis dan paling besar sumbangsihna bagi bangsa, sebagaimana Allah telah mewajibkan atas mereka. Dengan demikian, seorang Muslim telah mendapatkan dogma untuk menjadi orang-orang yang paling peduli akan kebaikan tanah air dan paling siap berkorban bagi masyarakatnya, mencintai tanah airnya dan senantiasa berusaha untuk mempersatukan kebangsaannya dengan makna seperti itu. Mereka tidak mendapati keberatan atas setiap orang yang berjuang secara tulus untuk-negerinya dan berjihad demi memperjuangkan bangsanya, dan bercita-cita agar tanah airnya dapat meraih segenap kejayaan dan kebanggaan. Islam dan Nasionalisme

Nasionalisme menjadi sebuah isme yang dianut oleh rakyat setiap negara. Islam menjadikan dakwahnya bersifat universal dan integral, dan melihat bahwa tidak ada sisi baik yang ada pada sebuah isme, kecuali telah dirangkum dan diisyaratkan dalam dakwah agama ini. Banyak orang terpesona dan mengaku sebagai seorang nasionalis dengan persepsi nasionalisme yang mereka anut masing-masing. Jika yang dimaksud nasionalisme oleh para penyerunya adalah mencintai tanah air, akrab dengannya, rindu kepadanya, dan ketertarikan pada hal di sekitarnya, maka sesungguhnya hal ini telah tertanam dalam fitrah manusia di satu sisi, dan di sisi lain diperintahkan oleh Islam. Bukankah Bilal r.a. yang telah mengorbankan segalanya demi akidah dan agama, adalah juga Bilal yang mengungkap kerinduan pada Makkah melalui bait-bait syair yang lembut dan indah. 

Oh angan … mungkinkah semalam saja aku dapat tidur

Di suatu lembah, dan rumput idkhir serta teman di sekitarku

Mungkinkah sehari saja aku mendatangi mata air mijannah

Mungkinkah Syamah dan Thafil nampakkan diri padaku 

Rasulullah SAW tatkala mendengar gambaran tentang Makkah dari Ushail, tiba-tiba saja air mata beliau bercucuran, karena rindu padanya. Maka beliau berkata, ”Wahai Ushail, biarkan hati ini tenteram.” 

Jika yang dimaksud nasionalisme oleh para penyerunya adalah keharusan bekerja serius untuk membebaskan tanah air dari penjajah, mengupayakan kemerdekaannya, serta menanamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putra-putrinya, maka sesungguhnya kaum muslimin Indonesia telah memberikan tauladan terbaik di saat perebutan kemerdekaan tanah air Indonesia dari tangan penjajah. Hampir mayoritas perjuangan bangsa ini dipimpin oleh kaum santri dengan keberanian yang luar biasa, dan ketulusan yang tidak terbeli dengan sesuatu yang lebih murah nilainya. Jika yang dimaksud nasionalisme oleh para penyerunya adalah memperkuat ikatan antaranggota masyarakat di satu wilayah dan membimbing mereka menemukan cara pemanfaatan kokohnya ikatan untuk kepentingan bersama, maka Islam menganggap itu sebagai kewajiban yang tidak dapat ditawar. Nabi SAW telah bersabda, ”Dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.”  

Batasan Nasionalisme 

Jika nasionalisme yang mereka anut menganggap batasnya adalah teritorial negara dan batas-batas geografis saja, maka Islam lebih luas daripada itu, melihat seluruh tanah air berhak mendapatkan penghormatan, penghargaan, kecintaan, ketulusan, dan jihad demi kebaikannya. Islam memperhatikan mereka dan merasakan apa yang mereka rasakan, dan tidak berkehendak terjebak kepada urusan wilayah terbatas dan sempit di muka bumi ini, karena berbagai ikatan akan menjadi renggang, kekuatan melemah, dan musuh menggunakan sebagian untuk menggunakan sebagian yang lain. Ketika sebuah bangsa hendak memperkuat dirinya dengan cara yang merugikan bangsa lain, maka Islam pun tidak akan pernah ridha dengannya.Jika nasionalisme yang mereka anut hanya memusatkan seluruh perhatian tertuju kepada kemerdekaan negaranya saja, dan kemudikan memfokuskan pada aspek-aspek fisik semata, maka Islam lebih luas daripada itu, membimbing seluruh bangsa dengan cahaya menuju rahmat. Semuanya dilakukan bukan untuk mencari harta, popularitas, kekuasaan atas orang lain, dan bukan pula untuk memperbudak bangsa lain, akan tetapi untuk mencari ridha Allah semata, membahagiakan alam denganNya. Sehingga seluruh dunia mampu bekerjasama membangun dunia yang penuh rahmat dan kasih. 

Islam dan Pluralisme

Ketika Budi Aris Setiadi menyebutkan bahwa paham pluralisme harus dipertahankan, maka sesungguhnya ia sedang membicarakan sesuatu yang ia tidak ketahui filosofi perkataannya sendiri. Sesunguhnya pluralisme adalah istilah khusus dalam kajian agama-agama. Sebagai ’terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah ’toleransi’, mutual respect, dan lainnya. Sebagai sebuah paham (isme) yang membahas cara pandang terhadap agama-agama yang ada, istilah pluralisme telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan dalam studi agama-agama (religious studies). Adian Husaini, dalam bukunya yang berjudul Pluralisme Agama, dengan tegas menjelaskan secara ilmiah, bahwa Pluralisme adalah Parasit bagi Agama-agama. Ketika kita berbicara pluralisme, maka sesungguhnya ia menjadi ancaman bagi kesucian setiap agama, bukan terbatas kepada Islam belaka. Pluralisme agama berkembang pesat dalam masyarakat Kristen – Barat disebabkan setidaknya oleh 3 (tiga) hal, yaitu (1) trauma sejarah kekuasaan Gereja di Zaman Pertengahan dan konflik Katolik – Protestan, (2) Problema teologi Kristen, dan (3) Problema Teks Bibel. Ketika gereja berkuasa di zaman pertengahan, para tokohnya telah melakukan banyak kekeliruan dan kekerasan yang akhirnya menimbulkan sikap trauma masyarakat Barat terhadap kebenaran suatu agama tertentu. Problema yang menimpa masyarakat Kristen Barat ini kemudian diadopsi oleh sebagian kalangan Muslim yang ’terpesona’ oleh Barat atau memandang bahwa hanya dengan mengikuti peradaban Baratlah maka kaum Muslim akan maju. Termasuk dalam hal cara pandang terhadap agama-agama lain, banyak yang kemudian menjiplak begitu saja, cara pandang kaum Iklusifis dan Pluralis Kristen dalam memandang agama-agama lain. 

Pluralisme berbeda jauh dengan pluralitas, karena pluralitas lebih melihat kepada realitas bahwa bangsa ini adalah plural dan berdiri di atas berbagai perbedaan yang menjadi sebuah sunnatullāh yang tidak dapat dihindari. Terhadap pluralitas, Islam tidak perlu lagi diajarkan untuk dapat menerima perbedaan dan mensikapi perbedaan agar berbuah rahmat. Fakta sosio-historis telah menjawab segala hipotesa yang menolak pernyataan ini sepanjang peradaban umat Islam. Sebagai contoh ”pemerintahan madani konstitusional” yang mampu memberikan teladan tentang keadilan dan toleransi yang luar biasa indah bagi pola hubungan bermasyarakat yang pluralistik yang sangat modern. Robert N. Bellah, dalam Beyond Belief, bahkan menyebutkan terlalu modern untuk ukuran zamannya, menjadi umat yang satu (ummah wāhidah) sebagaimana diundangkan Rasulullah saw. dalam teks ”Piagam Madinah”. Maka, ketika Islam dicitrakan sebagai agama yang menjadi pemecah NKRI, sepertinya kita perlu bertanya kepada sang pencetus gagasan, darimana ia mendapatkan pelajaran seperti itu. Dr. Anis Malik Thoha, di dalam bukunya, Tren Pluralisme Agama, menegaskan bahwa mengakui eksistensi praktis agama-agama lain yang beragam dan saling berseberangan ini, dalam pandangan Islam, tidak secara otomatis mengakui legalitas dan kebenarannya seperti yang diajarkan oleh kaum pluralis. Lebih tepatnya, menerima kehendak ontologis Allah swt. dalam menciptakan agama-agama ini sebagai berbeda-beda dan beragam, karena Dia telah menghendaki untuk menciptakan jagad raya dan segala isinya ini dengan bentuk dan kondisi yang demikian balanced. Dengan demikian, pluralitas adalah unik dan sangat karakteristik, dengan kemampuannya: (i) mengapresiasi secara penuh perbedaan-perbedaan penting dan mendasar antara agama-agama beserta kekhususan-kekhususan masing-masing; (ii) mengidentifikasi berbagai faktor dan sarana yang mengantarkan manusia pada kesempurnaan kemanusiaannya; dan (iii) menamakan segala sesuatu dengan namanya tanpa reduksi atau simplifikasi dengan definisi-definisi baru. Secara tegas dalam ayat Al-Qur’ān ” La ikrāha fi al-din”. 
Sektarianisme  Ketika tuduhan berlanjut ke arah kesimpulan yang teramat menyakitkan, sebuah ideologi sektarianisme, maka kalimat ini perlu direvisi secara total sampai ke akar permasalahannya. Secara logika, ketidakmampuan ’kaum nasionalis’ versi 17 parpol menerima ideologi Islam sebagai bagian dari kemajemukan bangsa, menjadi pertanyaan besar, sejauh mana paham nasionalisme mereka akan mampu menyatukan segenap perbedaan mendasar dari setiap komponen bangsa ini, agar dapat berjalan secara sinergi, ataukah akan berakhir dengan pemberangusan dan kediktatoran yang membungkan demokrasi yang mereka ciptakan sendiri. Apakah setiap perbedaan yang tidak sepaham dengan pendapat mereka akan selalu dianggap sebagai musuh bersama? Jika demikian, rasanya tidak pantas kalau nasionalisme akan mampu menginspirasikan semangat kebangsaan bagi rakyatnya. Yang ada justeru koalisi yang tercipta malah melahirkan semangat neo-eksklusif bukan inklusif, dengan persepsi nasionalisme yang mereka fahami dan artikan sendiri untuk kepentingan besar agenda kelompok elit dan mengabaikan agenda rakyat yang pluralistik. Menuduh ideologi lain sebagai ideologi sektarian, juga berarti menyebutkan bahwa kelompok mereka anti sektarianisme. Pertanyaannya, benarkah komponen koalisi tersebut terdiri atas partai-partai yang tidak sektarianisme? Bukankah disana ada partai yang dipimpin oleh seorang pendeta Kristen fanatik bernama Ruyandi Hutasoit, yang oleh The Jakarta Post disebutkan sebagai “president of the Doulos Foundation”. Perlu diingat, bahwa Komplek Kristen Doulos pernah diserang penduduk pada tanggal 16 Desember 1999 sehingga habis terbakar, setelah bertahun-tahun diprotes massa karena melakukan aksi pemurtadan terhadap umat Islam sehingga pada akhirnya Pemda Jakarta Timur memerintahkan agar Komplek itu ditutup setelah mendapat rekomendasi dari Muspika Kecamatan Cipayung Jakarta Timur bernomor 231/1.75 tertanggal 11 Oktober 1999. Fakta tentang Yayasan Doulos ini penting untuk dicatat, bahwa Doulos yang dipimpin oleh Ruyandi Hutasoit memang jelas-jelas merupakan kelompok misionaris Kristen. Adalah menarik, bahwa dalam partainya, misi Kristen itu dengan halus disembunyikan. Kitapun perlu menelaah lebih jauh, apakah PDI Perjuangan di saat berkuasa telah benar-benar memberikan teladan kebangsaan, nasionalisme, dan patriotisme yang tinggi dan baik bagi sejarah bangsa ini? 

Wallāhu ta’ala a’lam,

Tulisan ini ditampilkan pertama kali di PrianganOnline.Com

Link : http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4568&Itemid=60 ; http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4576&Itemid=60; http://www.prianganonline.com/?act=artikel&aksi=lihat&id=15;

3 tanggapan untuk “Pertarungan Ideologi? Tinggalkan komentar

  1. tapi metode bertemu dengan manusia langsung tetep dipakai kan om……?saya maunya comment dipost ini Peran Teknologi Mendukung Da’wah
    tapi malah salah masuk ke “ideologi” sorry

  2. hemmm, saya rasa ini lebih pada pertarungan kepentingan politik. Setelah revolusi ideologi telah mati. PKS tidak lebih dari perpanjangan tangan dari agen neoliberalisme yang berwajah islam. ….

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: