Kepribadian Terpecah (Split Personality)

Oleh : Wido Q Supraha, M.Si.
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. [Al Baqarah : 85]
Manusia secara maknawi adalah tempatnya kekeliruan dan lupa sehingga amat tepat jika di dalam bahasa arab, kata manusia menggunakan kata insaan. Karakter dasar daripada manusia adalah dzat yang penuh kebodohan, kelemahan, kekeliruan, kerendahan, dan kezhaliman. Adalah sebuah keberuntungan yang luar biasa, manakala Pencipta manusia tidak membiarkannya hidup tanpa pedoman di atas muka bumi ini, sehingga dengan pedoman hidup yang telah disiapkan Pencipta, membuat manusia mampu memperbaiki segala kekurangan fitrahnya untuk kemudian keluar dari masa kegelapan dan bahkan lebih jauh mampu menata kehidupan yang artistik dengan penguasaan akan ilmu, kekuatan, ketinggian derajat, dan keadilan yang utuh tanpa harus kesulitan membuang waktu dan energi membuat sebuah aturan kehidupan baru yang belum tentu teruji.
Alangkah indahnya jika seluruh bangsa di dunia ini mengambil Aturan Tertinggi tersebut dalam seluruh peri kehidupannya, dan kemudian menyaksikan bersama-sama kembalinya sebuah tatanan kehidupan dengan peradaban terbaik sebagaimana pernah terjadi di dalam sejarah kehidupan, tanpa bermaksud kembali dalam romantika sejarah. Akan tetapi, seperti biasa bahwa kondisi ideal seperti itu laksana terminologi sebuah ‘visi’ yang merupakan cita-cita yang bakal tidak mudah tercapai.
Pembangunan peradaban berawal dari komponen terpenting berupa pribadi-pribadi dengan keunikannya masing-masing. Perhatian kita terhadap perkembangan setiap pribadi pembangun peradaban adalah sebuah keniscayaan, karena pada kenyataannya tidak semua pribadi berusaha mencoba untuk menginternalisasikan Aturan Tertinggi secara utuh di dalam setiap peri kehidupannya.
Pribadi yang masih memiliki pola fikir bahwa kebaikan berada pada waktu, tempat dan hal-hal yang suci semata, dan mengizinkan (excuse) pribadinya melakukan keburukan karena relevan pada waktu, tempat dan hal-hal yang tidak ‘suci’ inilah yang dimaksudkan dalam tulisan ini sebagai kepribadian terpecah (split personality), kepribadian yang tidak mampu mengintegrasikan seluruh konsep dan aturan Pencipta dalam semua waktu, tempat, dan hal-hal yang ia menjadi bagian daripadanya.
Sebagai ilustrasi, ada pribadi yang begitu istiqomah di dalam melakukan ibadah-ibadah yang bersifat ritual, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, dan mampu menjadi yang terbaik pada waktu, tempat dan hal-hal yang berkaitan dengannya, akan tetapi kita melihat sebuah identitas lain pada pribadi yang sama namun pada waktu, tempat, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Bahkan dalam banyak hal, bukan tidak mungkin, pribadi yang sama memanfaatkan seluruh ibadah ritual yang ia kerjakan sebagai ciri identitasnya yang pertama untuk menjustifikasi, mendukung dan melindungi identitasnya yang kedua.
Ilustrasi kedua, adanya pribadi yang begitu menghormati sosok-sosok ‘suci’ di sekitarnya, dan melindunginya daripada keterlibatan dalam perkara-perkara yang tidak ‘suci’, akan tetapi ia tidak berkeinginan melindungi dirinya sendiri untuk bisa meneladani perilaku dan konsep kehidupan sosok-sosok suci tersebut, meski ia tahu bahwa sosok suci itulah yang sebenarnya benar, namun seakan-akan kembali ia melakukan perizinan (excuse) yang dikhususkan pada dirinya, mungkin dengan dalih bahwa ia belum termasuk dalam kategori sosok suci, sehingga adalah sebuah kewajaran jika ia masih diizinkan melakukan hal-hal yang bersifat jahiliyah.
Ilustrasi ketiga, adanya pribadi yang menyadari bahwa dirinya memiliki kekurangan yang besar dalam hal pemahaman akan Aturan Tertinggi, akan tetapi ia tidak memiliki rencana sedikitpun untuk mengisi hari-hari mudanya dengan kesibukan yang padat guna menutupi kekurangannya, dan membiarkan dirinya apa adanya, mungkin karena ia khawatir bahwa semakin banyak yang ia ketahui, akan semakin ‘sulit’ kehidupannya dan ketidakmampuannya meninggalkan kebiasaannya selama ini, dan akhirnya membuat rencana yang tidak masuk akal, dengan menjanjikan pada dirinya untuk meningkatkan pemahamannya di masa tuanya saja, seakan-akan ia masih hidup di masa yang telah direncanakannya tersebut.
Bukankah di dalam diri kita memang terdapat dua sifat utama yaitu fujur dan taqwa, dan sesungguhnya yang beruntung adalah yang mampu membesarkan sifat taqwanya dengan senantiasa mensucikannya, dan berusaha mereduksi sifat fujur yang tidak mungkin hilang dari persemayaman di dalam dirinya. Lebih jauh, ia mampu mencegah hadirnya kecenderungan sebagaimana telah disinyalir oleh James C. Turner, dari budaya beragama (religious culture) kepada sekedar kepercayaan agama (religious faith), agar agama tidak mengerucut menjadi sekedar fideisme dan eupraxophy.
Oleh karenanya, tidak ada jalan lain bagi kita para penunggu kematian, untuk bersegera menginternalisasikan Aturan Tertinggi yang sempurna itu di dalam diri kita secara lengkap untuk melahirkan pribadi baru yang penuh keshalihan secara utuh dan totalitas menuju gerakan perbaikan bangsa. Berhentilah mengambil sebagian isi Al Kitab dan meninggalkan sebagiannya yang lain, merasa beragama tanpa beribadah, mengaku beriman tanpa beramal, believing withoung belonging, membedakan antara Kota Bumi (civitas terrena) dan Kota Tuhan (civitas dei), sebagaimana doktrin yang dikembangkan St. Augustin. Semoga peradaban terbaik itu akan segera terlahir tidak lama lagi, dan pada saat itu kita telah menjadi bagian dari para pelaku dan bukan sekedar penontonnya.
Wallaahu muwaffiq ilaa aqwaam ath-thariiq.
Kategori
Ass.w.w
tulisan bagus tapi maraji’nya kebanyakan dari orang kulit putih yg belum teruji kepribadiannya apakah mereka bagian dari ahli fujur atau ahli taqwa.