Membedah Tantangan Pendidikan Islam di Indonesia

Pendahuluan
Menurut teori Gujarat, Islam telah hadir di Indonesia di abad 14 M, dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, India. Namun kemudian para peneliti menemukan bahwa teori ini dikeluarkan oleh orientalis Snouck Hurgronje, dan telah ditemukan fakta-fakta terbaru yang menguatkan hipotesa bahwa jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab, sebagaimana pendapat Rizki Ridyasmara, Peter Bellwood, G.R. Tibbets, T. W. Arnold, Ad-Dimasqi, Rockhill, S. Q. Fatini, Ahmad Mansyur Suryanegara, bahkan Prof. Dr. HAMKA.1
Kehadiran Islam di Indonesia, sebagaimana pula kehadirannya ke dunia Timur dan ke beberapa tempat di Eropa telah menimbulkan pengaruh aliran baru dalam pandangan hidup masyarakatnya, sebagaimana Al Attas ketika mengatakan,
“Terbitnya Islam telah dianggap sebagai membimbing ke arah suatu zaman baru, membawa permulaan suatu zaman yang disebut zaman moden.”2
Lebih lanjut Al Attas mengatakan,
“Zaman moden itu disebut ‘moden’ sebab ilmu pengetahuannya berdasarkan rasionalisma atau pengetahuan akliah, dan sistim masharakatnya mementingkan kebebasan orang perseorangan atau kepribadian insan dari genggaman keperchayaan yang tiada rasional, sedangkan zaman yang bukan moden itu berdasarkan seni yang membantu membelenggu masharakat dengan keperchayaan takhyul. Perbedaan ini, diantara lainnya, menjadi perbedaan utama antara sifat2 zaman moden dan yang bukan moden.”3
Maka sungguh disayangkan jika masih ada di antara mereka yang disebut sebagai cendekiawan muslim masih meyakini bahwa Islam dikembangkan di Indonesia dengan cara-cara mistis dan irrasional, seperti ketidakilmiahan tulisan Dr. Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya yang berjudul Syeikh Siti Jenar, Ajaran dan Jalan Kematian, yang kemudian dibantah secara lugas oleh Prof. Hasanu Simon, Guru Besar Kehutanan UGM, dalam sebuah seminar di Yogyakarta tahun 2003, yang diisi oleh beliau, Abdul Munir Mulkhan (UIN), dan Damarjati Supadjar (Filsafat UGM).
Sebagaimana dahulu Islam dikembangkan di Indonesia dengan lahirnya banyak madrasah, pesantren, dan institusi-institusi pendidikan, sehingga mampu melahirkan perubahan-perubahan yang signifikan terhadap peradaban di sekitarnya, maka demikian pula tantangan bagi dunia pendidikan Islam hari ini, untuk menjaga keaslian Islam itu sendiri, dan melahirkan masyarakat yang tetap menjadi agen perubah menuju peradaban yang bergerak dengan islamic worldview menuju tatanan masyarakat madani yang dicita-citakan, di tengah derasnya pengaruh dari luar Islam dengan ragam tujuannya.
Tulisan ini ingin melihat persoalan-persoalan yang dihadapi Pendidikan Islam di Indonesia pada khususnya dan bagaimana agar permasalahan itu disikapi sebagai tantangan (challenge) bagi umat Islam untuk dapat mengetahui inti dan hakikat permasalahannya, sehingga diharapkan akan memudahkan usaha untuk memperbaikinya bersama-sama.
Pendidikan Islam Mengatasi Ketiadaan Adab
Hingga pertengahan abad ke-20, ketika sebagian besar negara Islam memperoleh kemerdekaannya dari tangan-tangan penjajah Barat dan secara serentak menjadikan pendidikan sebagai sarana utama untuk membangun negara serta memenuhi impian agar bisa turut andil dalam percaturan dunia modern, maka muncullah kata magis yang paling sering dipakai untuk tujuan tersebut yaitu “modernisasi”, yaitu sebuah istilah yang sarat dengan ide-ide pem-Barat-an yang dikemas dalam semangat nasionalisme, sebuah istilah yang dimaksudkan untuk pembaruan dan pembangunan, juga revolusi yang bertujuan menggantikan status-quo lama menjadi solidaritas kehidupan bernegara.4
Tiga dekade belakangan ini, Syed Muhammad Naquib Al Attas berpendapat bahwa persoalan utama yang menimbulkan keadaan semakin bingung dan lemahnya pandangan dan pemahaman keagamaan umat berkisar di seputar persoalan muatan pendidikan, yang bersumber dari kekeliruan (confusion) mengenai hakikat dan lingkup ilmu pengetahuan, juga kekeliruan mengenai makna agama, kata-kata kunci (key terms), dan aspek-aspek Islam, serta kekeliruan mengenai jiwa, sains, dan institusi-institusi peradaban Islam.5 Bahkan terhadap kuesioner yang dikirim oleh Sekretaris Islam yang berpusat di Jeddah, Al Attas menegaskan bahwa permasalahan inti yang menjadi penyebab semua permasalahan lainnya adalah permasalahan ilmu, bukan pandangan sekilas seakan semua permasalahan dikarenakan ketertinggalan dalam bidang ekonomi, sains, dan teknologi. Pembenahan atas konsepsi ilmu yang benar perlu mendapatkan perhatian khusus di berbagai tingkat pendidikan Islam.
Secara metafisis, Islam tidak hanya melihat manusia sebagai subjek, tetapi juga sebagai objek ilmu pengetahuan.6 Pendidikan bukan sekedar sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial ekonomi, namun hendaknya menjadi sarana pencapaian tujuan spiritual manusia, sehingga perlu didefinisikan ulang ilmu dalam kaitannya dengan realitas spiritual manusia, dimana kebahagiaan seseorang ada pada keyakinanannya terhadap hal-hal mutlak mengenai realitas alam, identitas diri, dan tujuan hidupnya hingga hari akhirat nanti, sehingga muncul kualitas spiritual yang permanen, yang secara sadar bisa dialami dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang.
Pendidikan, bahkan ilmu pengetahuan, bukanlah sesuatu yang bebas nilai (neutral), akan tetapi seringkali telah teresapi dengan elemen-elemen pandangan hidup, agama, kebudayaan, dan peradaban perorangan. Lebih jauh lagi, harus dapat dibedakan dengan jelas mana yang merupakan pendapat dan spekulasi yang merefleksikan unsur-unsur kepribadian, agama dan kebudayaan dan mana yang murni ilmu pengetahuan. Kebingungan dan kekeliruan yang dibiarkan terus-menerus terhadap konsepsi ilmu pengetahuan akan menimbulkan keadaan ketiadaan adab (the loss of adab). Maka Syed Muhammad Naquib Al Attas mengatakan bahwa untuk mengatasi masalah ini, sehingga ujung-pangkalnya dapat dihancurkan maka yang pertama kali harus diselesaikan masalah keruntuhan adab, karena ilmu tidak dapat diajarkan serta ditanamkan dididik dalam diri seseorang tanpa terlebih dahulu memenuhi syarat adab, yang harus dikenakan pada diri orang yang menuntutnya dan yang penjadi penampung ilmu yang dituntut itu.7
Pendidikan Islam Mengatasi Kebodohan
Kebodohan seperti diuraikan Ibn Manzhur dalam karyanya Lisan Al-‘Arab membagi kebodohan ke dalam dua jenis. Pertama, kebodohan yang ringan yaitu kurangnya ilmu mengenai apa yang seharusnya diketahui; dan kedua, kebodohan yang berat, yaitu keyakinan yang salah yang bertentangan dengan fakta ataupun realitas, meyakini sesuatu yang berbeda dari sesuatu itu sendiri, ataupun melakukan sesuatu dengan cara-cara yang berbeda dari bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan.
Kebodohan yang ringan dapat dengan mudah diobati dengan pengajaran biasa ataupun pendidikan, namun kebodohan yang berat merupakan sesuatu yang sangat berbahaya dalam pembangunan keilmuan, keagamaan, dan moralitas individu dan masyarakat, sebab kebodohan jenis ini bersumber dari spiritualitas yang tidak sempurna, yang dinyatakan dengan sikap penolakan terhadap kebenaran. Namun menariknya bahwa yang disebut kebodohan bagi pihak yang berpikiran filosofis Barat adalah kebodohan yang pertama. Al-Attas menjelaskan bahwa orang-orang yang bodoh akan menghancurkan ilmu pengetahuan dan mempertahankan kebiasaannya berpraduga dan berpendapat tanpa dasar.8
Pendidikan Islam, Pendidikan Multidisipliner dan Interdisipliner
Perkembangan terkini dunia pendidikan di Indonesia, mengikuti kiblatnya sistem pendidikan Barat, khususnya dalam hal kurikulum pendidikan, telah membawa anak manusia ke arah pola berfikir untuk menguasai satu disiplin khusus keilmuan saja, sesuatu yang tidak dikenal terjadi di masa kejayaan umat Islam terdahulu.
Pengkhususuan yang sedemikian membuat para profesional seperti guru, ahli sains, dan spesialis teknik antara golongan yang paling mudah dimanipulasi dalam masyarakat modern. Mengutip seorang pemikir Kristen Katolik Perancis, Jacques Maritain, Wan Daud menuliskan bahwa pengkhususan sebenarnya melatih manusia untuk menjadi hewan, karena hewan memang ternyata mempunyai kemahiran amat khusus dalam sesuatu bidang.9
Kekhususan akan membutakan diri daripada bidang ilmu lain, dan sebagaimana dikhawatirkan oleh Jose Ortega Y. Gasset, seorang filosof Spanyol paling berpengaruh setelah Friedrich Nietszche (meninggal dunia 1900M), akan melahirkan “manusia biadab baru” (a new barbarian),
“It is evident that the change has been pernicious. Europe today is taking its sinister consequences. The convulsive situation in Europe at the present moment is due to the fact that the average Englishman, the average Frenchman, the average German aru uncultured: they are ignorant of the essential system of ideas concerning the world and man, which belong to our time. This average person is the new barbarian a laggard behind the contemporary civilization archaic and primitive in contrast with his problems, which are grimly, reletnlessly modern. This new barbarian is above all the professional man, more learned than ever before but at the same time more uncultured … 10
Beranjak dari hal tersebut maka perlu dikembangkan sistem keilmuan yang multidisipliner dan interdisipliner, dimana sifat ini harus diinternalisasikan di dalam diri setiap anggota masyarakat, institusi masyarakat, dan negara. Dan telah terbukti dalam sejarah, bagaimana para ilmuwan islam telah berhasil memadukan unsur-unsur filsafat, ilmu, dan agama menjadi satu kesatuan yang saling mendukung.11 Maka peserta didik akan mampu untuk tidak melihat kenyataan ini sebagai suatu yang terpilah-pilah tetapi sebagai sesuatu kesatuan.
Pendidikan Islam Berorientasi Individu
Wan Mohd Nor Wan Daud mengatakan bahwa secara umum ada dua pandangan teoretis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat keragamannya tersendiri. Pertama, pandangan berorientasi kemasyarakatan yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Kedua, pandangan berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar.12
Pandangan pertama banyak dianut dan diterapkan di negara-negara di dunia saat ini, termasuk dianut oleh aliran Perenial atau aliran Transmisi Kebudayaan yang sering dihubungkan dengan dengan Plato, Sarjana Barat Abad Pertengahan, dan beberapa sarjana modern, serta oleh aliran Rekonstruksi Sosial Modern, dan juga para feminis yang giat meneriakkan prinsip-prinsip kebebasan.
Indonesia, yang penduduknya merupakan penganut agama Islam terbesar di dunia, juga menekankan pendidikan yang berorientasi kemasyarakatan, berdasarkan ideologi negaranya yang disebut dengan Pancasila.
Sebaliknya, hampir semua agama besar di muka bumi ini menganut pandangan yang berorientasi kepada individu, termasuk beberapa sistem moral pada zaman dahulu yang masih berpengaruh hingga sekarang seperti Kung Fu Tze.13
Pandangan teoretis pendidikan yang berorientasi individual terdiri dari dua aliran. Aliran pertama, berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan ekonomi, jauh lebih berhasil dari yang pernah dicapai oleh orang tua mereka, atau pendidikan adalah jenjang mobilitas sosial-ekonomi suatu masyarakat tertentu. Aliran kedua, lebih menekankan peningkatan intelektual, kekayaan, dan keseimbangan jiwa peserta didik.
Aliran pertama di atas telah melahirkan patologi psiko-sosial, terutama di kalangan peserta didik dan orang tua, yang banyak dikenal dengan istilah “penyakit diploma” (diploma disease), yaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan pendidikan itu sendiri, melainkan karena nilai-nilai ekonomi dan sosial.14
Al Attas, pemikir kontemporer Muslim pertama yang mendefinisikan arti pendidikan secara sistematis, menegaskan dan menjelaskan bahwa tujuan pendidikan menurut Islam bukan untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik, sebaliknya, tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Pada September 1970, Al Attas mengajukan kepada Ghazali Syafie, yang kemudian menjadi Menteri Dalam Negeri Malaysia, bahwa “tujuan pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang sempurna (complete citizen), tetapi untuk memunculkan manusia paripurna”.15 Secara detail di dalam bukunya, Islam and Secularism, Al Attas menegaskan,
Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, (dengan demikian yang ditekankan itu) bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat, dan dunia.16
Pendidikan Islam Melahirkan Manusia Beradab
Pendidikan menurut Al-Attas adalah penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang (ta’dib), sehingga melahirkan sosok terpelajar yang merupakan sosok yang baik. “Baik” yang dimaksudkannya di sini adalah adab dalam pengertian yang menyeluruh, “yang meliputi kehidupan spiritual dan material seseorang”, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya”, sehingga sosok yang terpelajar adalah sosok yang beradab.
Orang baik adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.17 Sebagai orang yang beradab maka sebagaimana ditegaskan di dalam Al Qur’an, bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi Muhammad SAW, yang oleh kebanyakan sarjana Muslim disebut sebagai Manusia Sempurna atau Manusia Universal (al-insan al-kulliyy),18 dan oleh karenanya sistem administrasi pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam sistem pendidikan Islam haruslah merefleksikan Manusia Sempurna.
Pendidikan Islam Berkurikulum Sumber Yang Jelas dan Mapan
Di dalam menyusun kurikulumnya, rujukan utama dikembalikan kepada Al Qur’an dan As Sunnah, yang pemahaman, penafsiran, dan penjelasannya diserahkan dan dikonsultasikan (shura) kepada sumber yang otoritatif di bidangnya (ahl al-dzikri), sementara peserta didik disarankan untuk tidak tergesa-gesa belajar kepada sembarang guru, dan harus meluangkan waktu untuk mencari siapakah guru terbaik dalam bidang yang ia gemari.
Adanya dominasi tujuan memproduksi warga negara yang berguna di dalam pendidikan modern, memindahkan otoritas tersebut dari guru ke universitas yang berfungsi sebagai institusi komersial. Akhirnya, universitaslah yang memberikan gelar dan bukannya dosen, dan ketika seorang dosen – apapun kemampuannya – dipensiunkan dari universitas, dengan disengaja atau tidak, ia akan kehilangan kekuasaannya, atau bahkan identitasnya. Maka disinilah sistem berperan mencegah terulangnya kondisi para ilmuwan kontemporer hanya sekedar menjadi serdadu akademis.
Universitas perlu membatasi kuantitas rujukan hanya pada buku-buku yang sudah disahkan agar tidak terlalu memusingkan para peserta didik, dan agar bagaimana setiap peserta mampu menguasai teori sebaik penguasaannya dalam praktik. Untuk itu hubungan antara murid dan guru perlu terjaga dalam kedisiplinan pikiran dan jiwa, dan adanya proses saling mengingatkan dan menerima nasihat dalam kerangka saling menyempurnakan, sehingga terjadilah sebuah aplikasi kedisiplinan yang konsisten yang bahkan tercermin dalam keputusan-keputusan seorang guru ataupun murid dalam urusan pribadi mereka masing-masing.
Perhatian terhadap bahasa dan segala derivasinya adalah satu modal kuat kurikulum pendidikan. Bahasa adalah sebuah fenomena kultural di mana bahasa terbentuk berdasarkan pengalaman historis dan kultural sebuah bangsa. Karena adanya perbedaan pengalaman antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, maka bahasa pun juga banyak berbeda, khususnya dari segi semantik, sehingga akan banyak ditemui konsep-konsep serta terminologi yang terdapat di satu bahasa, namun tidak terdapat di bahasa yang lain. Salah satu contoh adalah kesulitan yang dihadapi oleh para penerjemah bahasa Arab menuju ke bahasa Inggris, dimana bahasa Arab adalah bahasa yang sangat metafisis akibat keberadaan Al Qur’an, sedangkan bahasa Inggris telah berubah menjadi bahasa yang sangat teknis, mekanis dan anti-metafisis.19 Maka, dalam tataran linguistik, Islamisasi berarti membersihkan dan merehabilitasi kata-kata kunci yang penting bagi pembahasan ilmu dari sisa-sisa efek sekularisasi yang ada. Islamisasi akan mengembalikan bentuk semantik kata-kata kunci tersebut, kepada bentuk asalnya sehingga pemahaman yang didapatkan darinya akan sesuai dengan pandangan hidup serta pengalaman historis dan kultural di mana kata-kata itu terbentuk. Jikalau bahasa telah terislamisasi, maka pemikiran seseorang pun akan dengan mudah terislamisasi, karena bahasa dan keberadaan kata-kata kunci dan terminologi inilah yang sesungguhnya mengatur daya pikiran seseorang.20
Pendidikan Islam Tidak Melahirkan Cara Berfikir Menyimpang
Cara berfikir menyimpang yang dimaksudkan disini adalah hasil-hasil proses pendidikan yang melahirkan cara berfikir yang baru yang tidak sesuai dengan konsep-konsep asli Islam, seperti sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama. Menurut Anis Malik Thoha, kalau ditelusuri lebih jauh dalam peta sejarah peradaban agama-agama dunia, kecenderungan sikap beragama yang pluralistik, dengan pemahaman yang dikenal sekarang, sejatinya sama sekali bukan barang baru. Cikal bakalnya telah muncul di India pada akhir abad ke-15 dalam gagasan-gagasan Kabir dan muridnya yaitu Guru Nanak pendiri agama “Sikhisme”. Namun kemudian berkembang seiring menipisnya pagar-pagar kultural Barat-Timur dan mulai maraknya interaksi kultural antar kebudayaan dan agama dunia.21
Cara berfikir menyimpang ini masih merupakan hal baru dalam dunia Islam dan tidak mempunyai akar ideologis dan teologis yang kuat, terutama diperkuat oleh realitas kemunculannya baru pada masa-masa pasca Perang Dunia Kedua, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat, sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat. Bahkan menurut Syamsuddin Arif, ini merupakan strategi Orde Baru, yaitu ‘de-politisasi Islam’ dan ‘de-islamisasi politik’, seperti kebijakan Menteri Agama untuk mengirimkan dosen-dosen tersebut ke Barat dengan menjelaskan agar mereka dapat memperluas wawasan keilmuannya dan mempelajari metode kritis dalam mengkaji agama, di samping pertimbangan strategis di balik itu, seperti maraknya kajian-kajian keislaman di kampus-kampus umum yang cukup merisaukan pemerintah.22
Beberapa institusi pendidikan Islam terkemuka saat ini secara gencar mempropagandakan “inclusive understanding of Islam” sebagai tujuan utama mereka, dengan melupakan bahwa istilah ini sarat dengan problematika, bahkan menurut Adian Husaini, istilah ini sangat khas Kristen dan sesuai tradisi Barat yang berpikir Traumatic terhadap agama, dan tidak dapat diterapkan untuk Islam.23
Sekitar 30 tahun lalu, seorang tokoh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Prof. Dr. HM Rasjidi sudah mengingatkan kalangan akademisi di IAIN dan pejabat Departemen Agama tentang dampak dari digunakannya buku Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya karya Prof. Harun Nasution sebagai buku rujukan bagi studi Islam di lingkungan IAIN dan kampus-kampus afiliasinya.24 Lebih jauh sebagaimana analisis Hamid Fahmy Zarkasyi, bahwa dimasukkannya nama Harun Nasution sebagai salah satu tokoh Filsafat Islam masa kini adalah tidak tepat ketika disandingkan dengan Muhammad Iqbal, terlebih karena karya-karyanya dalam bidang filsafat tidak cukup banyak untuk dikaji, selain daripada buku-buku rujukan yang dicantumkan masih sangat terbatas dan tidak sesuai dengan topik yang diberikan.25
Di samping itu, menurut Kuntowijoyo, dalam konteks Indonesia maupun negara lainnya, setidaknya ada tiga tradisi keilmuan Islam yaitu normatif, ideologis dan ilmiah. Namun yang lebih penting adalah bagaimana menghubungkan perkembangan intelektual dengan perkembangan sosial, kampus dengan masyarakat.26
Kesimpulan
Islamisasi ilmu secara kaffah, adalah sebuah tantangan terbesar bagi para penanggung jawab institusi pendidikan Islam di Indonesia. Bagaimana sebuah pendidikan dalam berjalan di atas konsep, kurikulum, sistem, dan tujuan yang shahih, dan implementasi kesehariannya termonitor dengan baik, khususnya dalam hubungan antara guru dan murid yang merupakan inti dari pendidikan tersebut, yakni bagaimana orientasi individu dibangun dan dikembangkan secara sistematis dan efektif.
Melihat realitas dan tantangan zaman dewasa ini, maka kebutuhan akan hal ini menjadi fardhu ‘ain bagi setiap cendekiawan Islam yang terlibat dalam sebuah disiplin ilmu untuk dapat menghasilkan sintesa-sintesa baru dan melahirkan lebih banyak kebaikan untuk seluruh manusia, tanpa harus mengekor dengan apa yang sudah jadi dihasilkan dari produk Barat. Kemalasan kita melahirkan sintesa baru adalah wujud kemalasan berfikir kita yang berarti pangkal dari keruntuhan peradaban Islam secara keseluruhan.
Suatu saat, M. Natsir dalam pidatonya saat Rapat Persatuan Islam di Bogor mengatakan,
“Apakah kiranja jang mendjadi tudjuan dari didikan Islam itu?” Jang dinamakan didikan, ialah suatu pimpinan djasmani dan ruhani jang menudju kepada kesempurnaan dan lengkapnja sifat-sifat kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya. (Natsir, 1954: 81-82)27
Mengutip Buya Hamka dalam Pendahuluan Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, bahwa segala amal dan usaha di dalam hidup kita adalah dorongan dari fikiran dan batin kita. Di dalam batinlah terletak pertimbangan di antara buruk dan baik, cantik dan jelek.28 Maka, segala sesuatu haruslah dimulai dari keikhlasan agar berbuah kebaikan.
Daftar Pustaka (maraji’)
1 Eramuslim, Islam di Indonesia Sejak Jaman Rasulullah
2 Al Attas, Naquib, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit
3 ibid
4 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas, (Bandung: MIZAN, Cetakan 1 Juli 2003) hal. 113
5 ibid hal 77
6 Al Attas, Islam and the Philosophy of Science (KL: ISTAC, 1989), h. 7. Menjadi bab 3 Prolegomena.
7 Al Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin (KL: ISTAC, 2001), h. 138.
8 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas, (Bandung: MIZAN, Cetakan 1 Juli 2003) hal. 139
9 Wan Mohd Nor Wan Daud, Penjelasan Budaya Ilmu (KL: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997), h. 51
10 Jose Ortega Y. Gasset, 1944, Mission of the University, diedit dan diterjemahkan dari Bahasa Spanyol oleh Howard Lee Nostrand, New York: W. W. Norton & Co., h. 38-9
11 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 7
12 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas, (Bandung: MIZAN, Cetakan 1 Juli 2003) hal. 163
13 The Chinese Classics. Dilengkapi terjemahan, catatan, pendahuluan, dan indeks oleh James Legge; 5 Jil. Edisi pertama 1893. Edisi ketiga (Taipei: SMC Publishing Inc., 1991) 1:357-359
14 Ronald Dore, The Diploma Disease: Education, Qualification, and Development (London: George Allen dan Unwin, 1976); Healing Ourselves from the Diploma Disease (India: Shikshantar: The People’s Institute for Rethinking Education and Development, 2005)
15 S.M.N. Al-Attas, Preliminary Notes on the National Philosophy and Objectives of Education, dikirim kepada Tan Sri Ghazali Syafie pada September 1970. Ketikan surat h. 2-3
16. Islam and Secularism, h. 141
17 S.M.N. Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, (KL : ISTAC, 2001), h. 43
18 QS Al-Hujurat (49): 13; QS Al-Ahzab (33): 21; QS Al-Qalam (68): 4, dan QS Saba’ (34): 28
19 Ismail Fajrie Alatas, Sungai tak Bermuara, Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam, (Jakarta: Diwan, 2006), h. 279
20 S.M.N. Al-Attas, The Concept of Education in Islam, (KL: ISTAC, 1999), h. 44-45
21 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Perspektif, 2005), h. 20
22 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 99
23 Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 109
24 ibid, hal. 127
25 Hamid Fahmy Zarkasyi sebagai editor, Metodologi Pengkajian Islam Pengalaman Indonesia – Malaysia, (Indonesia-Malaysia: ISID-API, 2008), h. 5
26 Kuntowijoyo, Ilmu Sosial Sebagai Gerakan Intelektual, (Malaysia: Akademi Kajian Ketamadunan, 1943), h. 4
27 Tiar Anwar Bachtiar, M. Natsir: Pelopor Pendidikan Islam Integral, (Jakarta: Islamia, 2009), h. 81
28 Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), h. 9
Kategori