Pandangan Quraish Shihab Melihat Agama di Luar Islam

Pendahuluan
Prof. Dr. Quraish Shihab adalah satu dari sekian ulama besar di Indonesia yang memiliki pandangan yang tegas akan kebenaran Islam atas agama-agama lain di dunia, dan menolak pluralisme atas dalih toleransi beragama, karena pluralisme dan toleransi beragama adalah sesuatu yang berbeda dan tidak dapat dipersamakan. Membaca tulisan-tulisannya dalam ragam tema-tema Al-Qur’an membawa kita pada pemahaman yang komprehensif untuk tidak mudah terombang-ambing dengan pemikiran-pemikiran sekular dan liberal yang tidak memiliki pijakan epistemologis yang kuat dalam agama ini kecuali sekedar membeo pada pendapat para orientalis Barat.
Dalam hal penafsiran Al-Qur’an, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudhu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat Al-Qur’an yang tersebar dalam berbagai surat yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat Al-Qur’an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.
Di dalam makalah ini akan dibahas pandangan-pandangan Quraish Shihab berkenaan tentang Islam sebagai agama yang paling benar dan pandangannya atas agama-agama lain di luar Islam. Keluasan wawasannya akan hal ini akan membawa kita pada pemahaman yang menyeluruh akan pentingnya menjaga orisinalitas Islam, dan lebih khusus lagi, bahwa toleransi beragama adalah suatu keharusan tanpa harus terjerembab ke dalam lembah pluralisme yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan keberagamaan dalam keberagaman.
Riwayat Hidup Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, Lc., MA. lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944. Dia seorang cendekiawan muslim dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an dan mantan Menteri Agama Republik Indonesia pada Kabinet Pembangunan VII (1998).
Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar, ayahnya, Prof. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang Tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang ulama, pengusaha, dan politikus yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujung Pandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian Timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang. Ia juga tercatat sebagai rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959 – 1965 dan IAIN 1972 – 1977.
Sebagai seorang yang berpikiran progresif, Abdurrahman percaya bahwa pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan pandangannya yang demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang pendidikannya, yaitu Jami’atul Khair, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Murid-murid yang belajar di lembaga ini diajari tentang gagasan-gagasan pembaruan gerakan dan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena lembaga ini memiliki hubungan yang erat dengan sumber-sumber pembaruan di Timur Tengah seperti Hadramaut, Haramaian dan Mesir. Banyak guru-guru yang didatangkan ke lembaga tersebut, di antaranya Syaikh Ahmad Soorkati yang berasal dari Sudan, Afrika.
Sebagai putra dari seorang guru besar, Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi Tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anak-anaknya duduk bersama setelah magrib. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat Al-Qur’an. Quraish kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap Al-Qur’an sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian Al-Qur’an yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca Al-Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam Al-Qur’an. Di sinilah, benih-benih kecintaannya kepada Al-Qur’an mulai tumbuh.
Dia mengkisahkan bahwa di samping pengaruh keluarga, pengaruh pendidikan formal pun tidak kurang besarnya. Pendidikan formalnya di Makassar dimulai dari sekolah dasar sampai kelas 2 SMP. Pada tahun 1956, ia dikirim ke kota Malang untuk “nyantri” di Pondok Pesantren Dar al-Hadist al-Faqihiyah, di bawah asuhan langsung Al Habib Abdul Qadir Bilfaqih (Lahir di Tarim Hadhramaut, Yaman, pada tanggal 15 Shafar 1316 H. dan wafat di Malang Jawa Timur pada 21 Jumadil Akhir 1382 H. bertepatan dengan 19 November 1962 M)[1].
Karena ketekunannya belajar di pesantren, 2 tahun berikutnya ia sudah mahir berbahasa arab. Melihat bakat bahasa Arab yg dimilikinya, dan ketekunannya untuk mendalami studi keislamannya, Quraish beserta adiknya Alwi Shihab dikirim oleh ayahnya ke Al-Azhar Cairo melalui beasiswa dari Propinsi Sulawesi, pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua I’dadiyah Al-Azhar (setingkat SMP/Tsanawiyah di Indonesia) sampai menyelasaikan tsanawiyah Al-Azhar. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 ia meraih gelar LC. Dua tahun kemudian (1969), Quraish Shihab berhasil meraih gelar MA. pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul al-I’jâz at-Tasyr’i al-Qur’ân al-Karîm (kemukjizatan Al-Qur’an Al-Karim dari Segi Hukum)”.
Pada tahun 1973 ia dipanggil pulang ke Makassar oleh ayahnya yang ketika itu menjabat rektor, untuk membantu mengelola pendidikan di IAIN Alauddin. Ia menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Di samping menduduki jabatan resmi itu, ia juga sering mewakili ayahnya yang uzur karena usia dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish Shihab diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian Timur, pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental, dan sederetan jabatan lainnya di luar kampus. Di celah-celah kesibukannya ia masih sempat merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia (1975) dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978).
Untuk mewujudkan cita-citanya, ia mendalami studi Tafsir, pada 1980 Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya, Al-Azhar Cairo, mengambil spesialisasi dalam studi Tafsir Al-Qur’an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul “Nazm ad-Durâr li al-Biqâ’i Tahqîq wa Dirâsah (Suatu Kajian dan analisa terhadap keotentikan Kitab Nazm ad-Durâr karya al-Biqa’i)” berhasil dipertahankannya dengan predikat dengan predikat penghargaan Mumtâz Ma’a Martabah asy-Syaraf al-Ûlâ (summa cum laude).
Pendidikan Tingginya yang kebanyakan ditempuh di Timur Tengah, Al-Azhar, Cairo ini, oleh Howard M. Federspiel dianggap sebagai seorang yang unik bagi Indonesia pada saat di mana sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di Barat. Mengenai hal ini ia mengatakan sebagai berikut: “Ketika meneliti biografinya, saya menemukan bahwa ia berasal dari Sulawesi Selatan, terdidik di pesantren, dan menerima pendidikan tingginya di Mesir pada Universitas Al-Azhar, di mana ia menerima gelar M.A dan Ph.D-nya. Ini menjadikan ia terdidik lebih baik dibandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat dalam Popular Indonesian Literature of the Quran, dan lebih dari itu, tingkat pendidikan tingginya di Timur Tengah seperti itu menjadikan ia unik bagi Indonesia pada saat di mana sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di Barat. Dia juga mempunyai karir mengajar yang penting di IAIN Makassar dan Jakarta dan kini, bahkan, ia menjabat sebagai rektor di IAIN Jakarta. Ini merupakan karir yang sangat menonjol”.
Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Makassar ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Quran di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibouti berkedudukan di Kairo.
Kehadiran Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Di samping mengajar, ia juga dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashhih Al-Qur’an Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, ‘Ulumul Qur ‘an, Mimbar Ulama, dan Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.
Quraish Shihab adalah seorang ahli Tafsir yang pendidik. Keahliannya dalam bidang Tafsir tersebut untuk diabdikan dalam bidang pendidikan. Kedudukannya sebagai Pembantu Rektor, Rektor, Menteri Agama, Ketua MUI, Staf Ahli Mendikbud, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan, menulis karya ilmiah, dan ceramah amat erat kaitannya dengan kegiatan pendidikan. Dengan kata lain bahwa ia adalah seorang ulama yang memanfaatkan keahliannya untuk mendidik umat. Hal ini ia lakukan pula melalui sikap dan kepribadiannya yang penuh dengan sikap dan sifatnya yang patut diteladani. Ia memiliki sifat-sifat sebagai guru atau pendidik yang patut diteladani. Penampilannya yang sederhana, tawadhu, sayang kepada semua orang, jujur, amanah, dan tegas dalam prinsip adalah merupakan bagian dari sikap yang seharusnya dimiliki seorang guru.
Karya Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab
Quraish Shihab sangat aktif sebagai penulis. Beberapa buku yang sudah dia hasilkan antara lain :
- Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya.
- Filsafat Hukum Islam.
- Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah).
- Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992) . Buku ini merupakan salah satu Best Seller yang terjual lebih dari 75 ribu kopi.
- Fatwa-Fatwa. Buku ini adalah kumpulan pertanyaan yg dijawab oleh Muhammad Quraish Shihab dan terdiri dari 5 seri : Fatwa Seputar Al-Qur’an dan Hadits; Seputar Tafsir Al-Qur’an; Seputar Ibadah dan Muamalah; Seputar Wawasan Agama; Seputar Ibadah Mahdhah.
- Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan.
- Lentera Al-Qur’an : Kisah dan Hikmah Kehidupan.
- Mukjizat Al-Qur’an : Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Aspek Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib.
- Secercah Cahaya Ilahi : Hidup Bersama Al-Quran.
- Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat.
- Haji Bersama M. Quraish Shihab.
- Tafsir al-Mishbah, Tafsir Al-Qur’an lengkap 30 Juz.
Islam dan Agama Lain
Quraish Shihab adalah satu dari sederetan ulama Indonesia yang dengan tegas menolak pendapat sebagian kalangan yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama, terlebih dengan menjadikan toleransi beragama sebagai justifikasi untuk mengorbankan keyakinan keberagamaan para penganutnya.
Dia mengakui bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Keragaman dan perbedaan tidak dapat dihindari walau dalam saat yang sama manusia dituntut oleh kedudukannya sebagai makhluk sosial untuk menyatu dalam bentuk bantu-membantu dan topang-menopang.[2] Lebih lanjut Quraish Shihab menegaskan beda antara perbedaan dan perselisihan. Yang pertama harus ditoleransi apalagi ia dapat menjadi sumber kekayaan intelektual serta jalan keluar bagi kesulitan yang dihadapi. Keragaman dan perbedaan dapat menjadi rahmat selama dialog dan syarat-syaratnya terpenuhi. Karena itu, perbedaan tidak otomatis menjadi buruk atau bencana, sebagaimana tidak juga ia selalu baik dan bermanfaat.[3] Dan tentu saja, perbedaan bukanlah ancaman sehingga menjadi alasan untuk menyatukan pemahaman keberagamaan yang memang tidak akan pernah bisa disatukan, terutama karena terkait dengan aspek tauhid, aspek yang menjadi inti dasar keberagamaan.
Menurut Quraish Shihab, keberagamaan adalah fithrah (sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya sebagaimana Surat al-Rum ayat 30. Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan demikian karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama – boleh jadi sampai dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum ruh meninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu.[4]
Islam terlahir dengan ide dasar perdamaian. Kedamaian yang bukan saja didambakan untuk orang per-orang, tetapi juga untuk semua pihak. Sehingga tidak heran, menurut Quraish Shihab, jika salah satu ciri seorang Muslim, adalah seperti sabda Nabi Muhammad SAW.,
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Siapa yang menyelamatkan orang lain (yang mendambakan kedamaian) dari gangguan lidahnya dan tangannya. (HR. Bukhari) [5]
Perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Ia lahir dari pandangan ajarannya tentang Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, alam, dan manusia. Allah, Tuhan Yang Maha Esa, adalah Maha Esa, Dia yang menciptakan segala sesuatu berdasarkan kehendak-Nya semata. Semua ciptaan-Nya adalah baik dan serasi, sehingga tidak mungkin kebaikan dan keserasian itu mengantar kepada kekacauan dan pertentangan. Dari sini bermula kedamaian antara seluruh ciptaan-Nya.[6]
Benar bahwa Islam memerintahkan untuk mempersiapkan kekuatan guna menghadapi musuh. Namun persiapan itu tidak lain kecuali – menurut istilah Al-Qur’an – adalah untuk menakut-nakuti mereka (yang bermaksud melahirkan kekacauan dan disintegrasi), sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Anfal ayat 60. Peperangan – kalau terjadi – tidak dibenarkan kecuali untuk menyingkirkan penganiayaan, itu pun dalam batas-batas tertentu. Anak-anak, orang tua, kaum lemah, bahkan pepohonan harus dilindungi, dan atas dasar ini, datang petunjuk Tuhan dalam firman-Nya Surat al-Anfal ayat 61,
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
“Kalau mereka cenderung kepada perdamaian, maka sambutlah kecenderungan itu, dan berserah dirilah kepada Allah”[7]
Ketika menafsirkan Surat al-Baqarah ayat 62,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Quraish Shihab menolak pandangan sekelompok orang yang menyatakan bahwa semua agama itu sama. Dia mengatakan,
“Ada sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar umat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini, selama beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian, maka mereka semua akan memperoleh keselamatan dan tidak akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, tidak pula akan bersedih.”[8]
Pendapat semacam ini menurutnya nyaris menjadikan semua agama sama, padahal agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta ibadah yang diajarkannya. Dia katakan,
“Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani dipersamakan, padahal keduanya saling mempersalahkan. Bagaimana mungkin yang ini dan itu dinyatakan tidak akan diliputi rasa takut atau sedih, sedang yang ini menurut itu – dan atas nama Tuhan yang disembah – adalah penghuni surga dan yang itu penghuni neraka? Yang ini tidak sedih dan takut, dan yang itu, bukan saja takut tetapi disiksa dengan aneka siksa.”[9]
Di dalam menafsirkan ayat ini, dia belum secara tegas menegaskan agar pilihan manusia jatuh kepada Islam, selain agar setiap pemeluk agama menyerahkan keputusannya kepada waktu Kemudian,
“Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah memang harus diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama dihadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama. Caranya adalah hidup damai dan menyerahkan kepadaNya semata untuk memutuskan di hari Kemudian kelak, agama siapa yang direstui-Nya dan agama siapa pula yang keliru, kemudian menyerahkan pula kepada-Nya penentuan akhir, siapa yang dianugerahi kedamaian dan surga dan siapa pula yang akan takut dan bersedih.”[10]
Dia menguatkan bahwa kita harus percaya bahwa di hari Kemudian ada yang dinamai penimbangan amal. Bagaimana cara menimbang dan apa alatnya tidaklah harus kita ketahui, tetapi yang jelas dan yang harus dipercaya adalah bahwa ketika itu keadilan Allah Swt. akan sangat nyata lagi sangat sempurna dan tidak seorang pun – walau yang terhukum – mengingkari keadilan itu.[11]
Terdapat ayat yang hampir serupa redaksinya dengan ayat ini, yakni yang terdapat dalam firman Allah Surat al-Maidah ayat 69,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Kalau di ayat yang awal penyebutan kata an-Nashârâ adalah yang kedua setelah hâdu dan sebelum ash-Shâbi’în, sedang di sini gilirannya adalah yang ketiga setelah hâdu dan ash-Shâbi’ûn. Perbedaan yang lain adalah dalam al-Baqarah ada kalimat “bagi mereka ganjaran mereka di sisi Tuhan mereka”, sedang dalam al-Ma’idah kalimat ini tidak disebut. Dari segi redaksional, kelihatannya perurutan penyebutan kelompok-kelompok tersebut pada ayat al-Baqarah lebih sesuai, yakni tidak memisahkan antara orang-orang Yahudi dan Nasrani dengan kata ash-Shabi’un, lebih sesuai dengan pemisahan yang terjadi pada ayat ini.
Mengutip pakar tafsir az-Zamakhsyari dalam tafsirnya, dia mengemukakan bahwa ayat ini mengandung satu makna yang ingin dikemukakan dan karena itu pula bentuk kata ash-Shabi’un yang digunakan di sini, bukan ash-Shabi’in semacam Q.S. al-Baqarah di atas dan yang sepintas harus demikian itu menurut kaidah kebahasaan. Redaksi ini menurutnya bertujuan untuk menggarisbawahi bahwa jangankan orang-orang Yahudi dan Nasrani, para Shabi’un yang kedurhakaan mereka terhadap Allah jauh lebih besar, diterima taubatnya oleh Allah, apalagi Ahl al-Kitab itu, selama mereka beriman dengan benar dan beramal shaleh.
Ketika menafsirkan firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 62, Quraish Shihab mengemukakan bahwa persyaratan beriman kepada Allah dan hari kemudian seperti bunyi Surat Ali ‘Imran ayat 69,
وَدَّتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يُضِلُّونَكُمْ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
“Segolongan dari ahli kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya.”
bukan berarti hanya kedua rukun itu yang dituntut dari mereka, tetapi keduanya adalah istilah yang biasa digunakan oleh Al-Qur’an dan Sunnah untuk makna iman yang benar dan mencakup semua rukunnya. Dan akan sangat panjang bila semua objek keimanan disebut satu demi satu. Rasul SAW. dalam percakapan sehari-hari sering hanya menyebut keimanan kepada Allah dan hari kemudian. Misalnya sabda beliau SAW., “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah dia menghormati tamunya”[12], di kali lain beliau bersabda, “… mengucapkan kata-kata yang baik atau diam, …”[13] dan masih banyak yang serupa.
Quraish Shihab cukup serius dalam mengomentari pendapat sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar umat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini, selama beriman kepada Tuhan dan hari kemudian, maka mereka semua akan memperoleh keselamatan, tidak akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, tidak pula akan bersedih. Menurutnya, pendapat semacam ini nyaris menjadikan semua agama sama, padahal agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta ibadah yang diajarkannya. Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani dipersamakan padahal keduanya saling mempersalahkan. Dia mengakui bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah, tetapi hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama di hadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama. Caranya adalah hidup damai dan menyerahkan kepada-Nya semata untuk memutuskan di hari kemudian kelak, agama siapa yang direstui-Nya dan agama siapa pula yang keliru, kemudian menyerahkan pula kepada-Nya penentuan akhir, siapa yang dianugerahi kedamaian dan surga dan siapa pula yang akan takut dan bersedih.[14]
Ketegasan Quraish Shihab di dalam menjadikan Islam sebagai pilihan hidup yang utama yakni memilih Islam sebagai agama-Nya baru dapat terlihat ketika dia menafsirkan firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 132,
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata), “Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”
dimana dia katakan,
“Memang banyak agama yang dikenal oleh manusia, tetapi yang ini, yakni yang intinya adalah penyerahan diri secara mutlak kepada-Nya, itulah yang direstui dan dipilih oleh-Nya. Karena itu maka janganlah kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah diri kepada-Nya yakni memeluk agama Islam.
Pesan ini berarti kamu jangan meninggalkan agama itu walau sesaat pun. Sehingga dengan demikian, kapanpun saatnya kematian datang kepada kamu, kamu semua tetap menganutnya.”[15]
Menafsirkan firman Allah dalam surat Ali ‘Imrân ayat 19,
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama yang ada di sisi Allah adalah al-Islam.”
kembali dia menegaskan bahwa ketundukan dan ketaatan kepada-Nya adalah keniscayaan yang tidak terbantah, sehingga jika demikian, hanya keislaman, yakni penyerahan diri secara penuh kepada Allah yang diakui dan diterima di sisi-Nya. Dan Islam dalam arti “penyerahan diri” adalah hakikat yang ditetapkan Allah dan diajarkan oleh para nabi sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad SAW.[16]
Dalam pengamatannya, tidak ditemukan kata Islam dalam Al-Qur’an kecuali setelah agama ini sempurna dengan kedatangan Nabi Muhammad SAW. Ditinjau dari sudut pandang agama maupun sosiologis, menurutnya, itulah nama ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW., dan secara Aqidah Islamiyah, siapapun yang mendengar ayat itu dituntut untuk menganut ajaran yang dibawa oleh para rasul adalah Islam, sehingga siapapun sejak Adam hingga akhir zaman yang tidak menganut agama sesuai yang diajarkan oleh rasul yang diutus kepada mereka, maka Allah tidak menerimanya.
Perselisihan di antara pengikut para nabi yang diutus Allah untuk membawa ajaran Islam, menurutnya, terjadi lebih karena kedengkian yang ada di antara mereka. Bukan kedengkian antara mereka dengan yang lain, tetapi antara mereka satu dengan yang lain. Kedengkian yang merupakan terjemahan dari kata ‘baghyan’ yang digunakan ayat 19 surat Ali ‘Imran adalah ucapan atau perbuatan yang dilakukan untuk tujuan mencabul nikmat yang dianugerahkan Allah kepada pihak lain disebabkan rasa iri hati terhadap pemilik nikmat itu,[17] dan ajaran Nabi Ibrahim a.s. adalah hanif, tidak bengkok, tidak memihak kepada pandangan hidup orang-orang Yahudi, tidak juga mengarah kepada agama Nasrani, demikian tafsirannya[18] pada surat Ali ‘Imran ayat 67 yang berbunyi,
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus.”
Quraish Shihab di dalam menjelaskan surat al-Maidah ayat 18,
وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوبِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بَشَرٌ مِمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, ‘Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.’ Katakanlah, ‘Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?’ (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya.”
mengatakan bahwa salah satu kegelapan utama yang menyelubungi jiwa dan pikiran ahl al-Kitâb, lebih-lebih kelompok Nasrani, adalah keyakinan mereka tentang Tuhan. Inilah yang utama dan pertama yang diluruskan oleh Nabi Muhammad SAW. dan Al-Qur’an.[19]
Umat Kristiani dewasa ini menganggap bahwa Al-Qur’an atau Nabi Muhammad SAW. telah keliru dalam memahami keyakinan umat Kristiani tentang Tuhan. Dia mengingatkan bahwa keyakinan Nasrani tentang Tuhan sungguh beraneka ragam. Sehingga kalau apa yang diinformasikan Al-Qur’an, tidak diakui oleh satu kelompok, maka itu bukan berarti bahwa tidak ada kelompok lain yang berkata demikian. Memang, uraian tentang ketuhanan dan makna-maknanya sedemikian sulit dipahami – bahkan oleh penganut-penganut agama Kristen sendiri – sampai mereka meyakini bahwa ajaran ketuhanan adalah dogma yang tidak dapat terjangkau oleh nalar. Di sisi lain, keyakinan tentang kedudukan al-Masih, baru ditetapkan pada tahun 325M. Sebelum ketetapan itu para uskup dan pemuka agama Kristen berbeda pendapat. Ada yang menyatakan bahwa Isa dan ibunya adalah dua tuhan, ada lagi yang berkeyakinan bahwa hubungan Isa as. dan Allah bagaikan hubungan kobaran api yang berpisah dari kobaran api yang lain, kobaran pertama tidak berkurang dengan adanya kobaran kedua. Ada juga yang berkeyakinan bahwa Isa as. adalah rasul Allah sebagaimana rasul-rasul yang lain. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau anak Tuhan tetapi dalam saat yang sama al-Masih adalah makhluk-Nya dan masih banyak lagi pendapat yang lain. Bahkan paham Trinitas dewasa ini mempunya penafsiran yang berbeda-beda. Sekali lagi, perlu dikemukakan adanya perkembangan pemikiran di kalangan orang-orang Kristen tentang Tuhan dan Keesaan-Nya. Namun secara umum mereka mengenal apa yang mereka istilahkan dengan Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Ruh al-Kudus.[20]
Dalam kitab Perjanjian Lama dan Baru memang ditemukan istilah anak-anak Tuhan. Dalam Kitab Ulangan 14:1 tercantum ucapan Nabi Musa as. yang ditujukan kepada umatnya bahwa: “Kamulah anak-anak Tuhan, Allah-mu”; Dalam Injil (Perjanjian Baru) istilah serupa banyak juga ditemukan. Misalnya dalam Matius 5:5 antara lain ditemukan: “Berbahagialah orang-orang yang membawa damai karena mereka disebut anak-anak Allah”. Tetapi tentu saja kata “anak” atau “bapak” bukan dalam arti sebenarnya, tetapi makna kiasan yakni yang dicintai dan yang memelihara.[21]
Lebih lanjut menjelaskan surat al-Maidah ayat 51,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagaimana mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
dia mengatakan bahwa selama keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani – atau siapapun – seperti dilukiskan oleh ayat-ayat di atas, yakni lebih suka mengikuti hukum Jahiliyah dan mengabaikan hukum Allah, bahwa bermaksud memalingkan kaum muslim dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah, maka jangan mengambil mereka menjadi auliya’ yakni orang-orang dekat. Sifat mereka sama dalam kekufuran dan dalam kebencian kepada kamu, karena itu wajar jika sebagian mereka adalah auliya’/penolong sebagian yang lain, dalam menghadapi kamu, karena kepentingan mereka dalam hal ini sama, walau agama dan keyakinan mereka satu sama lain berbeda.[22]
Lebih spesifik lagi di dalam menafsirkan kata tattakhidzu/kamu mengambil, terambil dari kata akhadza yang pada umumnya diterjemahkan “mengambil”, tetapi dalam penggunaannya kata tersebut dapat mengandung banyak arti sesuai dengan kata/huruf yang disebut sesudahnya. Misalnya jika kata yang disebut sesudahnya – katakanlah – “buku”, maka maknanya mengambil, jika hadiah atau persembahan, maka maknanya menerima, jika keamanannya maka berarti dibinasakan. Kata ittakhadza dipahami dalam arti mengandalkan diri pada sesuatu untuk menghadapi sesuatu yang lain. Nah, jika demikian apakah ayat tersebut melarang seorang muslim mengandalkan non-muslim? Tidak mutlak, karena yang dilarang di sini adalah menjadikan mereka auliya’.[23]
Mengoreksi terjemahan kata auliya’ sebagaimana yang dipakai oleh Tim Departemen Agama dalan Al-Qur’an dan Terjemahnya dengan “pemimpin-pemimpin”, dia menjelaskan bahwa sebenarnya menerjemahkannya demikian tidak sepenuhnya tepat. Kata auliya’ adalah bentuk jama’ dari kata wali. Kata ini terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf waw, lam dan ya yang makna dasarnya adalah “dekat”. Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru, seperti, pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama, dan lain-lain, yang kesemuanya diikat oleh benang merah kedekatan. Itu sebabnya ayah adalah orang paling utama yang menjadi wali anak perempuannya, karena dia adalah yang terdekat kepadanya. Orang yang amat taat dan tekun beribadah dinamai wali karena dia dekat kepada Allah. Seorang yang bersahabat dengan orang lain sehingga mereka selalu bersama dan saling menyampaikan rahasia karena kedekatan mereka, juga dapat dinamai wali. Demikian juga pemimpin, karena dia seharusnya dekat kepada yang dipimpinnya. Demikian dekatnya sehingga dialah yang pertama mendengar panggilan, bahkan keluhan dan bisikan siapa yang dipimpinnya, dan karena kedekatannya itu dia pula yang pertama datang membantunya. Demikian terlihat bahwa semua makna-makna yang dikemukakan di atas dapat dicakup oleh kata auliya’.[24] Kemudian, setelah menjelaskan detail pendapat Thabathaba’i, mufassir Syi’ah kenamaan, dia menjelaskan bahwa pada akhirnya Thabathaba’i berkesimpulan bahwa kata auliya’ yang dimaksud oleh ayat ini adalah cinta kasih yang mengantar kepada meleburnya perbedaan-perbedaan dalam satu wadah, menyatunya jiwa yang tadinya berselisih, saling terkaitnya akhlak dan miripnya tingkah laku sehingga Anda akan melihat dua orang yang saling mencintai bagaikan seorang yang memiliki satu jiwa satu kehendak, dan satu perbuatan, yang satu tidak akan berbeda dengan yang lain dalam perjalanan hidup dan tingkat pergaulan.[25]
Dia melanjutkan bahwa larangan menjadikan non-muslim sebagai auliya’ yang dikemukakan ayat di atas dikemukakan dengan sekian pengukuhan. Kendati demikian, larangan tersebut tidaklah mutlak, sehingga mencakup seluruh makna yang dikandung oleh kata auliya’, sembari menukil pendapat Muhammad Sayyid Thantawi dalam tafsirnya, bahwa non-muslim dapat dibagi menjadi tiga kelompok,
Pertama, adalah mereka yang tinggal bersama kaum muslim, dan hidup damai bersama mereka, tidak melakukan kegiatan untuk kepentingan lawan Islam serta tidak juga nampak dari mereka tanda-tanda yang mengantar kepada prasangka buruk terhadap mereka. Kelompok ini mempunyai hak dan kewajiban sosial sama dengan kaum muslim. Tidak ada larangan untuk bersahabat dan berbuat baik kepada mereka, sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Mumtahanah ayat 8.
Kedua, kelompok yang memerangi atau merugikan kaum muslim dengan berbagai cara. Terhadap mereka tidak boleh dijalin hubungan harmonis, tidak boleh juga didekati. Mereka yang dimaksud oleh ayat ini, demikian juga dengan ayat-ayat lain, sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Mumtahanah ayat 9.
Ketiga, kelompok yang tidak secara terang-terangan memusuhi kaum muslim, tetapi ditemukan pada mereka sekian indikator yang menunjukkan bahwa mereka tidak bersimpati kepada kaum muslim, bahkan bersimpati kepada musuh-musuh Islam. Terhadap mereka Allah memerintahkan kaum beriman agar bersikap hati-hati tanpa memusuhi mereka.
Allah berfirman di dalam Surat al-Maidah ayat 82,
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.”
Menurut Quraish Shihab, ayat ini tidak dapat dijadikan ukuran untuk menggeneralisir orang Yahudi dan Nasrani, tetapi harus dipahami berdasar sebab turunnya, sembari menukil ath-Thabari dalam tafsirnya yang menguraikan sekian banyak sebab turun ayat ini, dan salah satunya berkaitan dengan Najasyi/Negus, Penguasa Ethiopia yang memeluk islam.[26]
Mengutip pakar tafsir al-Alusi, dia mengemukakan bahwa kelihatannya yang dimaksud dengan yahud pada ayat ini adalah semua orang Yahudi. Namun dia mengatakan bahwa pendapat ini sulit diterima, karena kenyataannya sejarah membuktikan bahwa ada di antara orang-orang Yahudi yang memeluk Islam dan setia melaksanakan ajaran-ajarannya, dan ada juga di antara mereka yang bersikap netral/tidak memusuhi islam. Pendapat yang menggeneralisir dapat dibenarkan jika kata yahud dibatasi pengertiannya terhadap kelompok Bani Israil penganut Yudaisme dan yang dikecam oleh sekian banyak ayat Al-Qur’an. Sepanjang pengamatannya, Al-Qur’an tidak menggunakan kata yahud kecuali terhadap penganut Yudaisme yang durhaka lagi melampaui, sembari memberikan beberapa ayat-ayat yang menggunakan kata tersebut dalam surat al-Ma’idah ini yakni ayat 18, 58, dan 64.[27]
Lebih lanjut, kelompok Nasrani pun tidak dapat digeneralisir, apalagi kata nashara, digunakan Al-Qur’an terkadang dalam konteks positif dan pujian sebagaimana dalam ayat ini, dan terkadang juga dalam bentuk kecaman sebagaimana antara lain Surat al-Baqarah ayat 120, dan pernah juga bersifat netral seperti dalam Surat al-Haj ayat 17. Kendati perbedaan ajaran Tauhid antara Islam dan Yahudi tidak semenonjol dan sebesar perbedaannya dengan ajaran Kristen, namun karena faktor iri hati serta kepentingan ekonomi, maka kebencian mereka menjadi besar. Berbeda dengan masyarakat Nasrani, yang disamping tidak adanya persaingan ekonomi, juga karena keberhasilan para pemuka agama Nasrani mengajarkan nilai-nilai spiritual kepada para penganutnya. Dan yang membuat Nasrani lebih dekat kepada umat Islam adalah adanya faktor ulama dan cendekiawan yang memberi contoh keteladanan dan kerendahan hati mereka.[28]
Pendapat di atas senada dengan pendapat Ibn Katsir yang mengatakan bahwa kekafiran orang-orang Yahudi merupakan kekafiran yang sangat ingkar, sombong, menolak kebenaran, tidak menghargai orang lain, dan menghinakan orang yang berilmu. Oleh karena itu mereka membunuh para Nabi bahkan mereka berkali-kali hendak membunuh Rasulullah. Sementara orang-orang Nasrani pengikut al-Masih, dan berjalan pada manhaj Injil, dalam diri mereka terdapat rasa cinta kasih terhadap Islam, dan para pemeluknya secara umum. Hal itu juga didukung karena di antara mereka terdapat qissisiyyun (para pendeta), yang merupakan para khatib dan ulama mereka, yang memiliki ilmu, ibadah dan tawadhu. Mereka inilah yang menurut Ibn ‘Abbas, dating bersama Ja’far bin Abi Thalib dari Habasyah (Ethiopia), dan kemudian beriman dan mata mereka berlinang air mata, ketika Rasulullah membacakan Al-Qur’an kepada mereka. Kemudian mereka berkata, “Kami tidak akan pernah berpindah dari agama kami.”[29] Maka Allah memberikan pahala kepada mereka atas keimanan, pembenaran, dan pengakuan mereka terhadap kebenaran.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan dari pandangan-pandangan Prof. Dr. Quraish Shihab bahwa Islam adalah agama yang paling benar, dan bahwa semua agama di luar Islam saat ini harus diyakini sebagai sebuah kesalahan secara ilmiah. Ketinggian ajaran Islam mengharuskan umatnya mampu memberikan teladan dalam bertoleransi antara sesama umat beragama tanpa harus menggadaikan keyakinan kita dalam wujud pluralisme agama, dan umat Islam dalam rentang sejarah sejak kelahirannya telah mampu memperlihatkan kualitas toleransinya yang sangat baik meski pada suatu tempat dan masa Islam menjadi mayoritas di antara agama-agama di sekitarnya.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an Al-Karim
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Jilid 3, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2006, Cet. IV
Quraish Shihab, Muhammad, Tafsir al-Mishbah, Volume 1, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000
________________________, Tafsir al-Mishbah, Volume 2, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000
________________________, Tafsir al-Mishbah, Volume 3, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000
________________________, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2007, Cet. III
________________________, Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga dan Ayat-ayat Tahlil, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006, Cet. IV
________________________, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Jakarta: Penerbit Mizan, 2003, Cet. XIV
[1] Muhammad Quraish Shihab, Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2007, Cet. III, hlm. 3.
[2] Muhammad Quraish Shihab, Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2007, Cet. III, hlm. 28.
[3] Muhammad Quraish Shihab, Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2007, Cet. III, hlm. 29.
[4] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Jakarta: Mizan, 2003, Cet. XIV, hlm. 376.
[5] Al Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab al-Iman, Bab al-Muslim man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi, No. 9, Maktabah Syamilah
[6] Ibid, hlm. 378.
[7] Ibid., hlm 379.
[8] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 1, Jakarta: Lentera Hati, 2006, Cet. VII, hlm. 216.
[9] Ibid.
[10] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 1, Jakarta: Lentera Hati, 2006, Cet. VII , hlm. 216.
[11] Muhammad Quraish Shihab, Perjalangan Menuju Keabadian, Kematian, Surga dan Ayat-ayat Tahlil, Penerbit Lentera Hati., Jakarta: Lentera Hati, 2006, Cet. IV, hlm. 141.
[12] Muslim, Shahih Muslim Bab al-Iman No. 67, Maktabah Syamilah.
[13] Ibid.
[14] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 3, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000, hlm. 146.
[15] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 1, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006, hlm. 331.
[16] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 2, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006, hlm. 38.
[17] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 2, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000, hlm. 39.
[18] Ibid. hlm. 111.
[19] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 3, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000, hlm. 52.
[20] Ibid, hlm. 54.
[21] Ibid, hlm. 55.
[22] Ibid, hlm. 114.
[23] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 3, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000, hlm. 115.
[24] Ibid.
[25] Ibid, hlm. 116.
[26] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 3, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000, hlm. 164.
[27] Ibid, hlm. 165.
[28] Ibid, hlm. 166.
[29] Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Jilid 3, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2006, Cet. IV., hlm. 138.
Kategori