Catatan Kuliah Filsafat dan Penyempurnaannya (2) – Pendidikan Kunci Kemajuan Bangsa

Ditulis ulang oleh : Wido Supraha, M.Si.
Guru dalam Filsafat Jepang adalah keturunan Dewa, karena tugasnya adalah Tugas Dewa, maka tidak heran para muridnya begitu menghormatinya, bahkan sampai menunduk setiap kali bertemu gurunya. Pemerintah Jepang juga begitu menghormati Guru dengan memberikan gaji yang sangat layak, persis seperti masa ketika al-Makmun memerintah Daulah Islamiyyah, dimana guru digaji dengan emas, dan setiap perayaan ulang tahun, sang guru duduk di dekat khalifah, dan diumumkan di depan khalayak, naskah tulisan terbaru sang guru. Orang tua akan selalu menginginkan anaknya lebih dari dirinya.
Rumah Tangga itu tempat pendidikan yang utama dan terutama bagi anak. Ini teori lama, tatkala orang tua masih senang di rumah. Struktur rumah tangga saat ini sudah sangat berubah. Teori lama masih benar tentunya, tapi tidak aplikatif. Saat ini, cucu dididik oleh kakek dan nenek, dimana akan dimanja nantinya. Padahal teori menyerahkan anak ke kakek dan nenek tidak ada dalam literatur klasik. Sehingga perlu difikirkan bersama pola pendidikan mengikuti perubahan yang terjadi.
Prof. Ahmad Tafsir beberapa tahun yang lalu sudah berhasil membuat makalah yang berisi 8 (delapan) alasan untuk mengatakan investasi di bidang pendidikan adalah investasi yang sanga menguntungkan, diantaranya,
- Mampu meningkatkan kualitas SDM
- Keamanan akan lebih terjamin
- Program Pemerintah akan berjalan dengan baik
- Dll.
Kalau Sarjana Malaysia berhasil meyakinkan pemerintahnya, sementara Sarjana Indonesia tidak berhasil meyakinkan. Apakah Sarjana Indonesia lebih bodoh dari Sarjana Malaysia? Atau pemerintahnya yang bodoh? Atau Sarjana Malaysia tidak sekedar berbicara tapi juga pendekatan intensif? Saat ini, Ketua Proyek Kebersihan Jalan dan Lalu Lintas, adalah lulusan PU Bandung. Ternyata ilmu dari Indonesia diterapkan di Malaysia, tapi mengapa tidak bisa diterapkan di negara sendiri?
Undang-undang Pendidikan di Indonesia sudah beberapa kali mengalami perbaikan dimana secara urut dapat dilihat, sbb. :
- Undang-undang No. 46 Tahun 1947
- Undang-undang Tahun 1950
- Undang-undang Tahun 1954
- TAP MPR Tahun 1967
- Undang-undang No. 2 Tahun 1989
- Undang-undang No. 20 Tahun 2003
Dari keenam Undang-undang itu belum ada penggunaan bahasa Pendidikan Karakter, belum ada kebijakan dan program yang jelas turunan dari UU No. 20/2003. Pangkal masalahnya sepertinya agar setiap pekerjaan diborong semua oleh birokrasi tanpa men-sharing ke Perguruan Tinggi (mungkin karena Perguruan Tinggi dianggap terlalu bertele-tele, sementara pemerintah harus mempertanggungjawabkan anggarannya di tahun tersebut). Adapun di Perguruan Tinggi memang harus melewati step-step berikut,
- Identifikasi Masalah
- Cari Teorinya
- Siapa yang Mengemban Tugas
- Buat Indikatornya à disini proses yang cukup lama
Ketika Pendidikan Karakter ini tidak menjadi suatu prioritas dalam setiap turunan UU yang dibuat, maka hasilnya kita dapat lihat bersama, dimana yang naik pangkat adalah yang bodoh dan punya duit, sementara yang korupsi adalah yang bodoh. 1½ bulan yang lalu, ada “Sarasehan Tentang Pendidikan Karakter Bangsa” yang diselenggaran oleh Mendiknas, M. Nuh, dan sepertinya sekarang sudah memikiran pendidikan karakter ini, atau pendidikan ber-Akhlak.
Kesalahan yang sering dilakukan adalah dimana pendidikan karakter ini diserahkan kepada guru agama dan guru budi pekerti. Seharusnya semua pakar terlibat dalam prosesnya, menggunakan metodologi Keteladananan dan Pembiasaan. Jika metodologi ini diterapkan maka sekurang-kurangnya 60% akan berhasil. Keteladanan, pembiasaan, dan motivasi harus diberikan oleh semua guru.
Di UIN Bandung, ada 1 Thesis, yang judulnya diperintahkan oleh Prof. Ahmad Tafsir yang berjudul: Definisi Pendidikan, ditulis oleh Dedeng Rosidin. Dalam thesis itu disusun segala kata yang terkait dengan pendidikan secara nomenklatur, dan berakhir pada kesimpulan bahwa kata Tarbiyah itu sudah benar untuk kebutuhan pedagogi. Adapun untuk tujuan memadanikan, bisa saja menggunakan Ta’dib.
Yang mempengaruhi dunia ini sesungguhnya adalah filsafat bukan ilmu. Jadi kekuatan yang membentuk dunia adalah agama dan atau filsafat (inilah tesis-nya, berdasarkan data logika dan fact.). Filsafat memang tidak jelas, tapi suatu saat kita tetap akan memerlukannya. Contohnya, Nabi berperang karena ideologi agama. Tidak ada semua perang di dunia kecuali karena agama. Biasanya yang menolak tesis ini adalah yang memiliki alasan bahwa agama itu harusnya mengajarkan kasih sayang.
Selama pendidikan karakter, nilai dan atau akhlak diserahkan kepada guru agama saja, maka akan tidak efektif. Guru-guru lain kurang bisa memasukkan unsur nilai dalam pelajaran yang diajarkannya. Guru juga seharusnya dapat memberikan contoh langsung dari pelajarannya.
Daftar Pustaka
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008, Cet. III.
Kategori