Catatan Kuliah Filsafat dan Penyempurnaannya (3) – Indikator Sekolah Bermutu

Sekolah bermutu adalah sekolah yang mengukur seberapa banyak tujuannya tercapai. Ukuran sekolah bermutu yang diyakini kebanyakan manusia hari ini seringkali melupakan esensi dan substansi ukuran bermutu yang sebenarnya, karena sekarang sudah bergerak kepada ukuran-ukuran umum, seperti,
- Dimensi gedung / fisik bangunan
- Ragam fasilitas
- Kemudahan akses angkutan umum
- Pembiayaan, dimana sekolah bagus diidentikkan dengan sekolah yang mahal, sementara pihak lain menggap bahwa sekolah murah-lah yang terbaik.
- Kualitas lulusan. Salah satu keinginan orang tua adalah tidak menginginkan anak yang nakal, dan untuk ukuran kota besar seperti Jakarta, definisi nakal saat ini tinggal 2 (dua) jenis, yakni tidak mabuk dan tidak tawuran. Maka harapan orang tua untuk menyekolahkan anaknya dalam hal ini tinggal mengukurnya dengan apakah anaknya selama sekolah tidak mabuk dan tidak melakukan tawuran.
Saat ini, pandangan orang banyak sering dijadikan kebenaran. Padahal dalam filsafat, kebenaran tidak ditentukan oleh data melainkan oleh argumen. Apakah ukuran-ukuran di atas sudah tepat sebagai parameter memutuskan ukuran mutu sebuah sekolah, sehingga kita dengan nyaman menitipkan anak kita beberapa jam setiap harinya untuk dididik di sekolah tersebut? Dalam hal ini, hendaknya kita jangan cepat mengikuti reaksi dan aksi pemerintah ataupun suara kebanyakan orang.
Melalui perenungan yang mendalam secara filsafat, saya menemukan beberapa hal yang penting yang seharusnya menjadi indikator keberhasilan sebuah sekolah, dan kemudian nantinya akan saya urutkan dari yang tertinggi secara kepentingan. Di dalam proses menemukan indikator-indikator ini, saya memilih pilihan yang bersifat universal sehingga menjadi indikator dalam filosofi, karena kebenaran filsafat haruslah kebenaran yang universal. Sifat universal itu sendiri bisa terbagi atas universal teoretis (pemikiran) dan universal praktis.
Universal praktis umumnya lebih hebat karena sudah pasti datang dari sebuah universal teoretis, dan biasanya sudah logis, dan sesuai kenyataan. Kalau tidak bisa ditemukan lagi dari sesuatu yang bersifat universal praktis, maka pilihan kita tinggal pada universal teoretis. Hemat saya, fisik bangunan tidak akan pernah menjadi hal penting dalam proses belajar mengajar dan prestasi siswa. Proses transformasi nilai dan pengetahuan dapat dilakukan tanpa harus menggunakan sekat. Belajar di alam terbuka menjadi salah satu konsep yang diminati oleh sebagian pihak dewasa ini.
Hal yang sama tidak akan berlaku dengan ragam fasilitas dan kemudahan akses angkutan umum. Ragam fasilitas yang tersedia umumnya hanya melahirkan keterampilan dan kecerdasan manusia, bukan manusia yang cerdas. Persoalan kemudahan akses mungkin penting ketika mempertimbangkan aspek keamanan, efektifitas dan efisiensi, namun hal ini bukan indikator yang sangat menentukan mutu sebuah sekolah.
Pembiayaan memang menjadi tema sensitif dalam dunia pendidikan. Ukuran ini sebenarnya amat dipengaruhi tingkat ekonomi seseorang dan bersifat relatif. Manajemen pendidikan modern seharusnya sudah dapat mengatasi hal ini, ketika pesantren justeru telah memberikan teladannya sejak puluhan tahun yang lalu. Bagi dari solusi akan hal ini dapat diatasi dengan pengembangan usaha sekolah melalui koperasi, mendorong subsidi pemerintah, kerjasama CSR (Corporate Social Responsibility) korporasi, donasi dari jaringan Komite Sekolah, dan kemudian sisanya baru dibebankan kepada para orang tua siswa. Subsidi Pemerintah tentunya bisa mengambil porsi yang cukup signifikan mengingat sektor pendidikan menjadi sektor utama dalam pengelolaan sebuah negara dan sejalan dengan kebijakan Pendidikan Nasional.
Berbicara tentang kualitas lulusan, maka disinilah sebenarnya mutu sebuah sekolah akan diuji. Tentu tidak cukup bijak jika menggantungkan hasil seorang anak yang tidak nakal dari sebuah sekolah, karena kenakalan tidak sepenuhnya tanggung jawab sekolah, akan tetapi lingkungan rumah tangga sebagai institusi pendidikan terkecil dan terpenting, sangat berperan dalam membentuk kepribadian seorang anak, meski orang tua yang nakal sekalipun ingin anaknya tidak nakal seperti dirinya. Ketidaknakalan seorang anak juga belum tentu merefleksikan pengetahuannya akan hakikat kenakalan, karena boleh jadi terlihat baik di sekolah dan keluarga, namun menjadi berbeda 1800 di luar kedua lingkungan tersebut. Lebih lanjut, apakah lulusan yang dihasilkan sekedar memiliki keterampilan dan kecerdasan belaka, ataukah lebih substansial dan esensial lagi yakni menjadi manusia yang cerdas dan berkarakter. Hal ini sangat ditentukan oleh kurikulum yang dianut, proses penerapannya, dan evaluasi berkesinambungannya.
Di dalam pasal 2 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ditegaskan bahwa Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya di pasal 3, disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kita dapat melihat adanya indikator-indikator penting di dalamnya yang merupakan nilai yang universal, yang berlaku bagi semua orang, zaman, dan tempat, yang merupakan turunan dari falsafah negara yakni Pancasila dan turunan operasionalnya berupa UUD 1945.
Indikator-indikator sebagaimana amanat pasal 3 di atas dapat tercapai manakala kurikulum yang dimiliki sekolah menganut karakteristik integral (takamul) dan holistik (syumul). Pendidikan tidak memfokuskan seluruh perhatiannya pada aspek rohani atau akhlak saja, atau aspek pemikiran rasional saja, atau aspek pelatihan fisik dan kemiliteran saja, atau aspek pendidikan sosial saja, akan tetapi keseluruhan aspek tersebut harus terakomodir di dalam kurikulum sekolah. Maka pendidikan yang dilakukan adalah untuk segenap eksistensi manusia; baik akal dan hati, rohani dan jasmani, akhlak dan perilaku, sebagaimana pendidikan harus mampu menyiapkan manusia untuk menghadapi kehidupan dengan segala dinamikanya, suka dan duka, perang dan damai, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan keburukannya, dengan segala pahit dan manisnya.
Sebagaimana Pasal 30 ayat 2, bahwa pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama, maka porsi pengajaran agama 2 jam setiap pekan menjadi amat sangat kurang, terlebih ketika beban ini hanya diserahkan pada guru agama saja, dan tidak menjadi spirit institusi sekolah secara keseluruhan bersama seluruh pelaku pendidikan di dalamnya, baik melalui keteladanan dan pembiasaan secara terusmenerus sehingga melahirkan pationate, integrity, dan excellence pada diri setiap individu siswa.
Maka indikator utama sekolah yang bermutu itu adalah ketika kurikulum yang digunakan menyentuh aspek akal, jasmani, dan rohani. Di dalam pasal 36 ayat 3 UU No. 20/2003, Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global;
dan
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Namun kurikulum di dalam UU ini, belum memperhatikan aspek pengembangan jasmani secara teknis dan operasional. Oleh karenanya, bermutunya sebuah sekolah tidak sebatas karena para siswanya tidak ada yang nakal, akan tetapi lebih jauh lagi, siswa yang sehat jasmani dan emosi yang stabil, cerdas, dan berakhlak teladan, yang kesemuanya terlahir dari penanaman keimanan yang kokoh sebagai representasi dari Sila 1 Pancasila, falsafah negara kita, Republik Indonesia. Αllâhu a’lam.
Kategori