Catatan Kuliah Filsafat dan Penyempurnaannya (4) – Sekularisasi Pendidikan

Ditulis ulang oleh : Wido Supraha, M.Si.
Pendidikan secara umum dapat dibagi atas dua jenis, yakni pendidikan sekuler khususnya di negara-negara Anglo-Saxon (negara sekuler yang dipengaruhi oleh Inggris, Injil, dan Protestanisme) dan negara-negara Eropa Barat seperti Inggris dan Jerman, dan pendidikan berbasis agama khususnya negara secara umum di Timur. Imperium Romawi sendiri sebenarnya adalah negara agama.
Prof. Ahmad Tafsir ketika membimbing sebuah tesis di IAIN Bandung yang dilakukan oleh Husni, menemukan sebuah buku yang terbit tepatnya pada tahun 1874, History of the Conflict between Religion and Science, ditulis oleh John William Draper (ilmuwan Amerika, 5 Mei 1811 – 4 Januari 1882)[1]. Di dalam buku ini dijelaskan bahwa seni yang tidak mau dipengaruhi agama. Awalnya seni itu untuk Tuhan (nyanyian Gereja, dll.), kemudian mundur ke seni untuk meninggikan derajat manusia, dan akhirnya pada 1920-an, di Italia muncul Seni untuk Seni, dan barulah seni berkembang pesat dan muncul seperti Michelangelo di Lodovico Buonarroti Simoni yang terkenal untuk sumbangan studi anatomi di dalam Seni Rupa, dan karyanya yang dianggap terbaik adalah Patung David, Pietà, dan Fresko di langit-langit Sistine’s Chapel.
René Descartes (31 Maret 1596 – 11 Februari 1650) kemudian muncul sebagai seorang filsuf dan matematikawan Perancis. Salah satu pemikirannya tentang Filsafat dan Agama dan paradigma sains di filsafat itu juga menjadi satu pemikiran penting yang kemudian memisahkan antara agama dan ilmu, khususnya ketika dia menganjurkan untuk berangkat bukan dengan kepercayaan melainkan dengan keraguan, dan kemudian diterapkan pada segala sumber ilmu termasuk dalam hal ini agama. Jadi semua falsafah haruslah bermula dari pikiran individual. Pernyataan ini diwujudkan dengan: Cognito Ergo Sum (Saya berfikir, kalau begitu saya wujud).[2]
Napoleon Bonaparte (1769 – 1821) dengan idenya liberte, egalite, fraternite, menjadi moto nasional Perancis yang kemudian memulai pembebasan agama dari negara, maka kemudian tidak ada kurikulum agama di sekolah-sekolah. Maka bebas dari agama ini yang disebut value free, dan lawannya value laden. Sehingga kalau kebenaran sudah diuji, maka itulah kebenaran dan jangan diukur dengan nilai agama dan adat istiadat. Nantinya keluarlah budaya lesbi, hedonis, dll, dengan ikatan konsep ‘jangan mengganggu orang lain’.
Al-Attas termasuk yang berpendapat bahwa pengetahuan tidaklah netral, dan dapat diisi dengan suatu sifat dan isi yang ditopengi sebagai pengetahuan.[3] Sebagaimana juga kebenaran itu terpisah dari kemajuan. Kebenaran itu non-cumulative (tidak bertambah) dan kemajuan itu cumulative (bertambah), artinya kebenaran itu tidak makin berkembang dari waktu ke waktu, sedangkan kemajuan itu berkembang.[4]
Di Belanda beberapa belas tahun yang lalu ditemukan ada sebuah majalah untuk pasutri yang ingin tukar menukar pasangan. Nantinya baru disadari ketika isteri sudah tua tidak bisa lagi ditukar, sementara suaminya masih bisa memilih wanita lain. Dengan demikian perlu disadari bahwa pemikiran Tuhan bersifat trans-waktu, dan Tuhan sudah memiliki pengetahuan pada akhir segala sesuatu. Dan kesimpulannya, sudah benar, Tuhan itu benar, maka tidak perlu kita membuat aturan sendiri untuk menata kehidupan kita.
Sekularisasi didefinisikan kemudian sebagai pembebasan manusia “pertama-tama dari agama dan kemudian dari metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya.”[5] Itu berarti “terlepasnya dunia dari pengertian-pengertian religius dan religius-semu, terhalaunya semua pandangan-pandangan dunia yang tertutup, terpatahkannya semua mitos supranatural dan lambang-lambang suci … ‘defatalisasi sejarah’, penemuan manusia akan kenyataan bahwa dia ditinggalkan dengan dunia di tangannya, sehingga dia tidak bisa lagi menyalahkan nasib atau kemalangan atas apa yang ia perbuat dengannya …; manusialah yang mengalihkan perhatiannya lepasa dari dunia-dunia di atas sana ke arah dunia sini dan waktu kini.[6]
Sekularisasi yang cukup penting untuk diperhatikan dampaknya adalah sekularisasi di bidang politik, karena ia melahirkan produk hukum. Contohnya adalah ketika agama tidak boleh masuk dalam kurikulum pendidikan. Taman Siswa pada akhirnya diketahu menerapkan pola sekulerisasi dalam pendidikan dengan menolak pendidikan agama dan menggantinya dengan pendidikan budi pekerti. Mendiknas pertama saat itu, Ki Hajar Dewantara, dianggap sebagai seorang tokoh Nasional yang mencoba memasukkan paham Freemasonry pada anak didiknya.
Pasal 2 dari Undang-undang Pendidikan sebenarnya terdiri dari dua pasal kemudian sebagian politisi menolaknya dan akhirnya menjadi tinggal satu pasal, dimana cerdas menjadi utama dan iman menjadi terpinggirkan dan menjadi tanggung jawab guru agama saja. Pendidikan karakter dan budaya bangsa (adat istiadat), tidak akan menyangkut hal-hal yang diperdebatkan oleh agama, sehingga dengan berbasiskan keimanan agama masing-masing, nilai-nilai universal seperti jujur, tidak korupsi adalah didukung oleh semua agama.
Maka perlu kita sadari budaya Barat sesungguhnya telah hancur karena memisahkan konsep agama dalam kehidupannya. Bila hubungan antara hati dan akal manusia telah diputuskan maka manusia akan memperoleh kenyataan bahwa pertanyaan tentang perumusan hidup ideal tidak pernah akan terjawab. Memilih sain dan teknologi sebagai satu-satunya gantungan hidup, atau meletakkan sain dan teknologi sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam kehidupan, berarti kita telah menyerahkan kehidupan manusia kepada alat yang dibuatnya sendiri. Paham positivistik memang akan bermuara pada sikap sekularistik seperti itu.[7]
[1] Buku ini dapat didownload dalam proyek buku-buku lama secara gratis di situs Gutenberg, http://www.gutenberg.org/etext/1185
[2] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru, Cet. V, 2004, hlm. 17
[3] Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung: Penerbit Pustaka, Cet. 1, 1981, hlm. 195
[4] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, Bandung: Teraju, Cet. 1., 2004, hlm. 4
[5] Oleh theolog Belanda Cornelis van Peursen, yang menduduki jabatan filsafat pada Universitas Leiden. Definisi ini dikutip oleh theolog Harvard Harvey Cox dalam bukunya ‘The Secular City’, New York, 1965, hlm. 2, dan dikutip dari laporan konferensi yang diadakan di Ecumenical Institute of Bossey, Swiss, September, 1959
[6] Cox, ibid, hlm. 2 dan 17
[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, Bandung: Rosda, Cet. III, 2008, hlm. 309
Kategori