Lanjut ke konten

Urgensi Dua Kalimat Syahadat (أهمية الشهادتين)

asyhadu

Materi ini mengingatkan kaum muslimin akan pentingnya dua kalimat syahadat yang telah sangat dikenal sejak pertama kali mengenal Islam, bahkan dihafal dan terus menerus diulang pengucapannya setiap hari. Namun adakah di antara Anda yang memaknai untaian kalimat singkat namun penuh makna ini? Bukankah dua kalimat ini kita lafazhkan setiap harinya? Bagaimana sesungguhnya urgensi dari kalimat yang merupakan gerbang pertama seseorang untuk masuk ke dalam agama Islam?
Screen Shot 2015-01-30 at 7.16.55 PM

 

Aqidah berasal dari kata ‘aqoda, bermakna ma’qudah (yang terikat). Aqidah bagaikan ikatan perjanjian yang teguh dan kuat, karena ia terpatri dalam hati dan tertanam di dalam lembah hati yang paling dalam. Aqidah adalah iman dengan semua rukunnya yang enam. Rukun pertamanya adalah mengucapkan syahadatain, dua kalimat syahadat.[1]

Tegaknya Islam wajib didahului tegaknya rukun Islam. Tegaknya Rukun Islam wajib didahului tegaknya syahadah. Maka sedemikian pentingnya syahadah ini sehingga ia perlu mendapatkan perhatian khusus agar mendapatkan pemaknaan yang shahih, menentukan kebahagiaan hidup kita, dunia dan akhirat. Bersama syahadat, kita saksikan generasi awal pemeluk agama ini (السَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ) memiliki kesabaran di atas rata-rata ketika disiksa, ditawan, dipukuli, dan berhijrah.

Syahadatain, dua kalimat syahadat, dua kalimat yang diucapkan sebagai persaksian seorang Muslim. Kalimat pertama menegaskan bahwa ‘Tidak Ada Tuhan yang disembah dengan sebenar-benarnya selain Allah’, dan kalimat kedua menegaskan bahwa ‘Muhammad Saw. adalah benar utusan Allah Swt.’.[2] Yang dimaksud dengan kalimat ini adalah makna hakikinya bukan sekedar lafazhnya. Maka kemudian, kedua kalimat ini melahirkan loyalitas (wala’) dan penolakan (bara’), sebagai wujud kelurusan tauhid. Muslim pun akan tergerak untuk hanya mengesakan Allah, selalu bergantung kepada Allah, mengingkari dan berlepas diri dari segalah sesuatu yang disembah selain Allah. [3]

Berkata Ibn Qayyim al-Jauziyyah, “Tauhid itu mengandung kecintaan kepada Allah, ketundukan dan merendahkan diri kepada-Nya, patuh dengan sebenarnya untuk ta’at kepada-Nya, memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, menghendaki pertemuan dengan wajah-Nya Yang Maha Tinggi dengan segenap perkataan dan perbuatan, memberi dan menahan, mencinta dan marah karena-Nya, serta menghindarkan diri dari segala sesuatu yang menyeret pada kedurhakaan kepada-Nya.”[4]

Begitu pentingnya pemaknaan yang benar akan konsep syahadat, dan melihat begitu banyak penyimpangan dalam sejarah pengembangan agama ini, maka lahirlah disiplin ilmu tauhid. Kehadiran ilmu tauhid ini merupakan salah satu bentuk perhatian terhadap aqidah Islam, baik dari sisi pemahaman, penarikan konklusi dalil, ataupun pembelaan terhadap ragam serangan yang telah pernah terjadi di masanya. Ragam serang itu muncul karena lahirnya ragam pemikiran menyimpang sehingga membutuhkan upaya untuk pelurusan dan penguatan kembali.[5] Bersyukurlah kita berada dalam keyakinan Islam. Islam dengan akidah ketuhanan menjadi penyempurna dan perbaikan bagi setiap akidah yang telah mendahuluinya dalam berbagai aliran keagamaan ataupun filsafat yang membahas masalah ketuhanan.[6]

Syahadatain merupakan awal sekaligus inti dari ber-Islam. Syahadatain adalah akidah itu sendiri. Syahadatain adalah sesuatu yang kepadanya segala bentuk ketundukan sebagaimana makna ad-Din. Maka Islam adalah akidah, agama, dan manhaj hidup seorang mukmin.[7] Syahadatin menjadi inti dan sumber motivasinya. Konsep ini membawa kita kepada keimanan dengan cara yang benar bahwa hanya kepada Allah kita beribadah, dan bahwa hanya Allah yang memiliki hak membuat syariat untuk manusia.[8]

Allah Swt. berfirman dalam Surat Al-Baqarah/2 ayat 143,

2_143

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan [95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

Kata wasathan hanya satu kali ditemukan dalam Al-Qur’an, namun ada 4 kata lain yang menggunakan dasar kata yang sama didapati, dengan satu kata sebagai kata kerja. Ummat wasathan adalah umat terbaik, sebagaimana dikatakan ‘Rasulullah wasathan fi qaumihi‘, dan sebagaimana Shalat Wustha adalah shalat terbaik. Ketika Allah menjadikan Ummat ini sebagai ummatan wasathan maka Dia memberikan kekhususan kepadanya dengan syari’at yang paling sempurna, jalan yang paling lurus, dan paham yang paling jelas. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Sa’id, juga disebutkan oleh Rasulullah bahwa kata al-wasath juga bermakna al-‘adl, adil dan pilihan.[9]

Kata syahadah dengan ragam bentuknya dapat ditemukan sebanyak 160 kata di dalam Al-Qur’an, 107 kata benda, dan 53 kata kerja. Sebagaimana kata ‘syahiidan’, dalam Surat An-Nisa’/4 ayat 41,

4_41

Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu.

 

1. Pintu Masuk ke dalam Islam

Memasuki agama Islam sangatlah mudah, hanya dengan memformalkan pengucapan syahadatain di atas keimanan. Namun sesuatu yang mudah ini sangat sulit dilakukan oleh kafir Quraisy yang sangat memahami makna di balik kalimat yang mudah diucapkan tersebut. Kandungan dan konsekuensi logis di balik kalimat tersebut telah menahan mereka untuk kembali ke jalan Islam, jalan hidayah nan penuh kasih. Dikatakan ‘kembali’, karena asasinya, manusia telah pernah berjanji di alam ruh, untuk sentiasa menyembah Allah semata.

Allah Swt. berfirman dalam Surat Al-A’raf/7 ayat 172,

7_172

 

7_173

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata- kan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”,

Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?”

Menurut Imam Jalaluddin Muhammad al-Mahalli, kata ‘min zhuhurihim‘ merupakan badal isytimal (kata ganti yang mencakup) dari kata-kata sebelumnya, ‘min bani Adam‘ dengan mengulang penyebutan huruf jar ‘min‘.[10]

Maka kemudian kita menyaksikan bagaimana Nabi Muhammad Saw. telah berupaya mengislamkan seluruh isi bumi ini semaksimal kemampuan yang ada saat tersebut, sebagaimana hadits ke-8 Arba’in An-Nawawiyah berikut ini:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاَةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَـهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالىَ [رواه البخاري ومسلم 

Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma sesungguhnya Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka darah dan harta mereka akan dilindungi kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah ta’ala. (Riwayat Bukhari dan Muslim)

 

Allah Swt. juga berfirman dalam Surat Muhammad/47 ayat 19,

47_19

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.

Kalimat ‘wastaghfir li dzanbika‘ mengikuti untaian kalimat tauhid menunjukkan bahwa ketidakkonsistenan antara pernyataan dan perbuatan merupakan dosa. Maka selain menjaga kemurnian kalimat tauhid dengan amal ibadah yang shahih, seorang Muslim juga dituntut untuk tidak menyombongkan diri di atas kalimat tersebut, sebagaimana firman Allah dalam Surat Ash-Shaffat/37 ayat 35,

37_35

Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri.

Maka hanya dengan ilmu-lah, seorang Muslim akan terhindar dari kesombongan diri, dan bersyahadat dalam arti yang sebenarnya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surat Ali ‘Imran/3 ayat 18,

3_18

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu  (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

 Perlu diketahui bahwa kata paduan qa-sin-tha ini digunakan dalam 27 kata di dalam Al-Qur’an, dengan 14 kata di antaranya adalah kata ‘bil qisth‘. 24 kata darinya adalah kata benda, dan 3 kata merupakan kata kerja.

 

2. Intisari Ajaran Islam

Syahadatain menjadi inti dari ajaran Islam. Keimanan sebagai motivator kehidupan sekaligus asas amal. Gerak hati menjadi lebih penting daripada gerak jasmani. Sebab hati sumber dan pengarah amal. Jika hati penuh dengan keimanan, keikhlasan, ketakwaan, maka amal jasmani mendapat ridha dan pahala dari-Nya. Maka wajib setiap Muslim untuk memperbaiki ibadah hati. [11]

Allah Swt. berfirman dalam Surat Al-Anbiya/21 ayat 25,

21_25

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.

 

Allah Swt. juga berfirman dalam Surat Al-Jasiyah/45 ayat 18,

45_18

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.

 

Maka prinsip syahadatain yang menjadi intisari ajaran Islam adalah sebagai pernyataan penghambaan dan ibadah hanya kepada Allah. Pernyataan bahwa Rasulullah menjadi teladan dalam penghambahan dan ibadah tersebut. Pernyataan bahwa penghambaan dan ibadah itu meliputi seluruh aspek kehidupan.

 

3. Konsep Dasar Reformasi Total atau Gerakan Perubahan

Generasi terbaik agama ini telah mencontohkan, bagaimana begitu mereka menerima syahadatain sebagai dua persaksian penting dalam hidup mereka, mereka langsung melakukan perubahan tanpa menunggu waktu lama. Sebuah perubahan yang sangat drastis. Cukuplah sosok Mush’ab bin ‘Umari menjadi contoh dari begitu banyak contoh terbaik. Sosok yang awalnya merupakan pemuda dengan gaya hidup mewah di kota Makkah, langsung berubah menjadi da’i nan sederhana, duta Rasul untuk kota Madinah, sehingga tatkala syahid menjemputnya saat perang Uhud, dibacakan ayat berikut ini kepadanya dari Surat Al-Ahzab/33 ayat 23,

33_23

Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya),

 

Orang-orang yang tadinya mati hatinya tiba-tiba mendapatkan cahaya setelah menerima syahadatain, sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Surat Al-An’am/6 ayat 122,

6_122

Dan apakah orang yang sudah mati  kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.

 

Allah Swt. juga berfirman dalam Surat Ar-Ra’d/13 ayat 11,

13_11

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa malaikat yang mencatat amalan-amalannya. Dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut malaikat Hafazhah. Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.

 

 

4. Hakikat Da’wah Para Rasul

Tauhid merupakan misi dakwah para Rasul. Agama para Nabi adalah satu, yaitu tauhid, sedangkan syariat bisa berbeda-beda. Seluruh bentuk ibadah tidak diterima tanpa tauhid. Tauhid menjadi pangkal keselamatan di dunia, karena dengannya seseorang menjadi Muslim dan kemudian darah dan hartanya terlindungi. Tauhid juga tentu menjadi pangkal keselamatan di akhirat.[12]

Sesungguhnya dakwah para Rasul adalah kepada syahadatain ini. Dengan hakikat ini, seorang Muslim akan memahami Islam sebagai pedoman hidup menyeluruh, baik untuk urusan kecil maupun besar hanya kepada Allah dan Rasulnya. Jika demikian, maka pemahaman lengkap kita akan agama ini menjadikan Islam sebagai agama dan kedaulatan, akidan dan syari’ah, sistem moral dan kepemimpinan, jihad dan ibadah, dunia dan akhirat, dengan segala yang terkandung di dalam Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. [13]

Dengan motivasi yang benar dari syahadatain, seseorang akan mulai menghadirkan aktifitas-aktifitas kebaikan diawali memperbaiki diri sendiri, kemudian membentuk rumah tangga Muslim, dan dilanjutkan membimbing masyarakat. Dari tiga aktifitas mendasar tersebut, maka mulailah para peyakin syahadatain meningkatkan aktifitas mereka hingga membebaskan tanah air dari kekuatan asing, memperbaiki pemerintahan, mewujudkan kesatuan umat Islam, sampai pada puncaknya memimpin dunia dengan dakwah Islamiyah ke seluruh pelosok dunia. [14]

Allah Swt. berfirman dalam Surat Ali ‘Imran/3 ayat 31,

3_31

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Allah Swt. berfirman dalam Surat Al-An’am/6 ayat 19,

6_19

Katakanlah: “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” Katakanlah: “Allah”. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Quraan ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quraan (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?” Katakanlah: “Aku tidak mengakui.” Katakanlah: “Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)”.

 

Allah Swt. berfirman dalam Surat An-Nahl/16 ayat 36,

16_36

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut [826] itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya [827]. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).

 

5. Keutamaan yang Besar

Kalimat ini selain melahirkan konsekuensi logis, juga memberikan balasan terbaik bagi para peyakinnya khususnya di akhirat kelak. Namun adalah sesuatu yang sulit untuk meraihnya jika kalimat ini belum menyatu dalam sanubari dan keseharian kita, dan terpatri kuat dalam alam bawah sadar manusia.

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

Barangsiapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga” (HR. Abu Daud)

مَنْ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَابْنُ أَمَتِهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ شَاءَ

”Barangsiapa mengucapkan ’saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, dan (bersaksi) bahwa ’Isa adalah hamba Allah dan anak dari hamba-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam serta Ruh dari-Nya, dan (bersaksi pula) bahwa surga adalah benar adanya dan neraka pun benar adanya, maka Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga dari delapan pintu surga yang mana saja yang dia kehendaki.” (HR. Muslim no. 149)

 

Maraji’

1] Abdullah Azzam, Aqidah, Landasan Pokok Membina Ummat, Jakarta: GIP, Cetakan ke-6, 1995, hlm. 19.

2] Muhammad Sa’id Salim al-Qaththany, Al-Wala’ wa al-Bara’, Jakarta: Ramadhani, Cetakan ke-4, 1994, hlm. 6.

3] Muhammad at-Tamimi, Mengungkap Kebatilan Penentang Tauhid, Jakarta: Darul Haq, 1997, hlm. 10.

4] Muhammad Sa’id Salim al-Qaththany, Al-Wala’ wa al-Bara’, hlm. 23.

5] Abu Zaid al-A’jami, Akidah Islam Menurut Empat Madzhab, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cetakan ke-2, 2014, hlm. 71.

6] Sa’id Hawwa, Allah Subhanahu wa Ta’ala, Jakarta: GIP, Cetakan ke-3, 2005, hlm. 226.

7] Taufiq Yusuf al-Wa’iy, Fiqih Dakwah Ilallah, Jakarta: Al-I’tishom, Cetakan ke-2, 2012, hlm. 21.

8] Abdurrahman Abdul Khaliq, Dasar-dasar Dakwah Generasi Islam Pertama, Jakarta: Pustaka Al-Hidayah, Cetakan ke-2, 1993, hlm. 19.

9] Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Jilid 1, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2004, hlm. 291.

10] Jalaluddin Muhammad al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid 1, Surabaya: Elba, 2010, hlm. 664.

11] Ridhwan Muhammad Ridhwan, 20 Taushiyah Hasan Al-Banna, Jakarta: Al-Farda, 2004, hlm. 157.

12] Shalah Shawi, Ats-Tsawabit Wal MutaghayyiratPrinsip-prinsip Gerakan Dakwah Yang Mutlak dan Fleksibel, Jakarta: Era Intermedia, 2011, hlm. 154.

13] Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah, Jakarta: Intermedia, Cetakan ke-2, 1998, hlm. 56.

14] Sa’id Hawwa, Membina Angkata Mujahid, Jilid 1, Jakarta: Al-Ishlahy Press, Tanpa Tahun, hlm. 61.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: