Pernikahan, Cara Allah Memuliakan Wanita (2)

Pernikahan adalah cara Allah Swt memuliakan setiap wanita beriman nan berakal. Ia menjadikan dasar iman untuk bergerak dan membuat pilihan kehidupan sehingga ia meraih kemuliaan dengannya. Pilihan untuk menikah setelah kehadiran niat untuk menjadi wanita mulia tentu akan mendapatkan kemudahan dan kebaikan dalam seluruh urusannya. Ada saja kemudian cara Allah Swt meninggikan maqam wanita mukminah agar ia tetap berada dalam kemuliaannya, bersama ilmu dan penghayatan dalam ber-Islam.
Pernikahan sejatinya untuk menguatkan keimanan yang telah bersemayam di dalam dada, sehingga memperhatikan keimanan pasangan akan mendukung pemuliaan wanita.[1] Ia merupakan ikatan suci yang tidak layak dirusak dan dianggap sebelah mata, sehingga wanita yang diceraikan sebelum disentuh ditetapkan untuknya ½ dari mahar yang telah dikabarkan, tanpa kewajiban idah.[2] Benar bahwa Islam memberikan jalan keluar untuk dapat menikahi wanita lebih dari satu, namun prinsip keadilan akan memberikan suaminya keselamatan di dunia dan akhirat.[3] Mahar adalah satu di antara bentuk keseriusan tekad untuk menjaga kemuliaan wanita.[4]
Pernikahan sejatinya untuk mendapatkan sepasang manusia yang berkualitas dan siap menggapai ridho Ilahi. Ingatkah kita bagaimana Nabi Syu’aib a.s. menguji kualitas Nabi Musa a.s selama 8-10 tahun lamanya, sebelum akhirnya dia yakin untuk menjadikannya suami untuk anak wanitanya tersayang?[5] Sedemikian ketatnya seleksi pasangan hidup sehingga tidak diharapkan terlintas sedikitpun keinginan berpisah, bahkan perpisahan menjadi dipersulit agar pernikahan tidak dianggap permainan.[6]
Pernikahan sejatinya untuk menjaga keberlangsungan bahkan kebaikan nasab atau jalur keturunan anak manusia yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan, meski di antara hikmahnya juga menjaga keselamatan dan kesehatan individu.[7] Ingatkah kita bagaimana Nabi Luth a.s. menawarkan wanita-wanita negerinya yang memiliki keimanan yang kokoh untuk menjadi sebab lahirnya kesadaran bahwa homo seksual adalah penyakit kejiwaan yang dapat disembuhkan dengan mudah ketika manusia mampu menata persepsinya terhadap sesuatu?[8]
Pernikahan sejatinya adalah capaian utama pertama dari seluruh upaya penjagaan kehormatan diri untuk meraih ampunan dan pahal yang amat besar.[9] Ia merupakan buah kesuksesan yang penuh kesucian, sehingga dengannya ia akan dikaruniakan kemampuan untuk meraih capaian utama berikutnya.[10] Jika ini menjadi paradigma awal berpikir maka kelanjutan upayanya akan penuh dengan keberkahan.
Pernikahan sejatinya adalah cara Allah Swt untuk melihat sejauh mana implementasi kebaikan dari ilmu yang telah diwariskan Rasul-nya yang mulia. Ikatan suci ini telah diawali tanpa unsur paksaan, maka keridhoan keduanya melahirkan kemuliaan cinta. Begitu mulianya, sehingga setiap pemberian suami kepada wanita tidaklah untuk ditanyakan apalagi dimintakan kembali, karena telah jelas hak masing-masing sebagaimana kewajiban di antara keduanya.[11] Kemuliaan cintalah yang kemudian menghadirkan bentuk komunikasi paling efektif di antara sepasang manusia yang akan hidup bersama hingga ajal menjemput mereka. Komunikasi efektif adalah ciri kesiapan manusia dalam menghadirkan solusi terhadap seluruh problematika pasca pernikahan.[12]
Pernikahan sejatinya adalah wujud kesiapan wanita untuk mengandung seorang calon mujahid, dan kesiapan untuk menikmati kelemahan yang bertambah-tambah selama kandungan di dalam tubuh. Ia siap menjadi mujahidah bahkan syahid di jalan Allah dengan jihad di saat melahirkan karena kepasrahan penuh hanya kepada Allah semata. Ia siap memberikan waktu-waktu berharganya di dunia untuk tujuan akhirat dimulai dari fokus dan konsentrasinya untuk menyusi sang mujahid baru selama dua tahun lamanya atau tiga puluh bulan.[13]
Sekali lagi, pernikahan adalah bukti bahwa wanita siap melahirkan generasi rabbani, dengan peluh tanpa henti dalam mentarbiyah keturunannya. Ia bak madrasah ilmu yang mengalirkan ilmu tanpa pernah surut dan mundur karena ia semakin dekat dengan derajat tinggi di sisi Allah Swt. Ia ingatkan pasangan hidupnya untuk sentiasa berdo’a saat awal sekali ikhtiar mereka untuk memperbanyak generasi penyembah dan pejuang agama Allah dengan berdo’a, “Allaahumma jannibnaa asy-syaithaan, wa jannibi asy-syaithaanu maa razaqtanaa”, agar kesucian terjaga sentiasa dari sentuhan syaithan laknatullah ‘alaihim. Ingatkah kita bagaimana istri ‘Imran a.s. menadzarkan anaknya agar kelak menjadi wanita shaleh dan pelayan Allah Swt?[14] Ingatkah kita bagaimana keyakinan penuh keluarga Zakaria a.s. akan iradah Allah Swt memberikan keturunan untuk mereka agar dapat mereka bina menjadi sosok pejuang Islam padahal sang istri sudah tua dan dianggap mandul? [15] Ingatkah kita bagaimana Maryam a.s. tetap dalam prasangka baiknya kepada Allah Swt dengan ujian yang sangat berat untuk ukuran seorang wanita dengan dilahirkannya anak tanpa ayah biologis? Namun justru ketegaran dalam ujian Allah Swt itulah yang kemudian menjadikan Maryam a.s, saudara Harun a.s. ini, sebagai wanita yang paling mulia di masanya.[16]
Semoga bersama kesabaran seluruh wanita mukminah, kedalaman penghayatan terhadap ajaran Islam secara sempurna, kesungguhan untuk meraih kesuksesan akhirat, Allah memudahkan langkah setiap wanita untuk menjadikan diri dan pasangan hidupnya sebagai hamba-hamba yang dicintai Allah Swt dan dikumpulkan kelak di Surga-Nya Allah Tabaraka wa Ta’ala. (selesai)
[1] Lihat Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 221, An-Nur [24] ayat 3, Al-Mumtahanah [60] ayat 10
[2] Lihat Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 235-237, Al-Ahzab [33] ayat 49
[3] Lihat Q.S. An-Nisa [4] ayat 4, 129
[4] Lihat Q.S. Al-Maidah [5] ayat 5
[5] Lihat Q.S. Al-Qashash [28] ayat 27
[6] Lihat Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 230-232
[7] Lihat Q.S. An-Nisa [4] ayat 22-25, Al-Ahzab [33] ayat 37, Ath-Thalaq [65] ayat 4
[8] Lihat Q.S. Al-Hijr [15] ayat 66-71
[9] Lihat Q.S. Al-Ahzab [33] ayat 35
[10] Lihat Q.S. Al-Maidah [5] ayat 5, An-Nur [24] ayat 32-33
[11] Lihat Q.S. An-Nisa [4] ayat 19
[12] Lihat Q.S. An-Nisa [4] ayat 128
[13] Lihat Q.S. Luqman [31] ayat 14, Al-Ahqaf [46] ayat 15, Al-A’raf [7] ayat 189, Ar-Ra’d [13] ayat 8
[14] Lihat Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 35-37
[15] Lihat Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 38-41
[16] Lihat Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 42-47, [19] ayat 16-39, Al-Anbiya [21] ayat 91, At-Tahrim [66] ayat 12
Kategori