Menyegarkan Kembali Makna Shidq

Dr. Wido Supraha (wido@supraha.com)
ALlah ﷻ telah berfirman dalam Surat At-Taubah ayat 119,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ
وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
Wahai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan jadilah kalian orang-orang beriman yang membersamai orang-orang SHIDQ karena kalian pun mengamalkan SHIDQ.
Begitu pentingnya maqam SHIDQ ini, sehingga Allah ﷻ menggunakan terma ini dalam ragam bentuknya dalam 155 tempat di dalam Al-Qur’an.
Nabi kita, Muhammad صلی اللہ علیہ وسلم, jauh sebelum menjadi Nabi telah gemar dengan sifat SHIDQ, sehingga ia pun digelari masyarakat sebagai The Trust Man (Al-Amin). Ini karena keyakinannya bahwa menjadi SHIDQ adalah bagian dari jalan kebenaran.
Manusia terbaik pelanjut estafet kepemimpinan Nabi, tidak lain tidak bukan adalah Abu Bakar رضي الله عنه, yang sentiasa berada dalam garda terdepan membenarkan yang benar, dan jujur bahwa sesuatu itu jika benar maka layak dibenarkan. Maka masyarakat menggelarinya dengan gelar puncak: ASH-SHIDDIQ.
Di dalam salah satu karya Al Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah, Madarij as-Salikin, beliau mensifati SHIDQ sebagi maqam kaum teragung, sumber segala maqam salikin, jalan yang lurus yang menghindarkan dari kebinasaan. Jalan yang akan membedakan manusia dari sifat munafik, dan tempat akhir hidup manusia: Jannah atau Nar.
Inilah rahasia mengapa Nabi صلی اللہ علیہ وسلم, mengingatkan kita semuanya untuk menjaga SHIDQ karena SHIDQ pangkal ragam kebaikan yang banyak. Dalam Hadits Riwayat Imam Muslim No. 2067, beliau bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا
Selalulah kalian bersifat SHIDQ, karena sesungguhnya SHIDQ akan membawa manusia pada AL-BIRR dan sesungguhnya AL-BIRR akan membawa manusia kepada AL-JANNAH. Jika manusia selalu bersifat SHIDQ dan berusaha untuk SHIDQ, maka dia akan dicatat di sisi Allah dari kalangan SHIDQ.
Di antara nasihat para sahabat, seperti Ibn ‘Abbas رضي الله عنه, bahwa 4 sifat (SHIDQ, AL-HAYA, HUSNUL KHULQ, dan SYUKR) jika ada pada setiap manusia, maka beruntunglah ia.
Ulama hikmah menasihati kita agar menjadikan SHIDQ sebagai kendaraan, AL-HAQQ sebagai pedang, dan Allah sebagai puncak pencarian.
Namun sejatinya, orang-orang SHIDQ hanya dapat ditemukenali juga oleh pribadi SHIDQ. Pribadi SHIDQ lah yang mengetahui siapa orang yang SHIDQ di sekitarnya.
Maka secara terma, dalam SHIDQ termuat makna Jujur akan Kebenaran, membenarkan kejujuran, jujur di jalan yang benar, benar-benar jujur, atau jujur untuk selalu benar. Begitu kuatnya perpaduan makna ini dikarenakan sejatinya kebenaran itu hanya satu, yang akan membawa kebahagian hakiki yang sejati, di dalam naungan cahaya yang satu. Maka terasa bagi kita pondasi bangunan Ad-Din dalam pribadi kita berawal dari SHIDQ.
Sebagian manusia bergantung kepada selain Allah karena ia tidak jujur dengan realita kebenaran Wujud. Sebagian lainnya merasakan kesempitan hidup dan penuh tekanan karena ia meninggalkan kejujuran. Sebagian lainnya memutuskan hidup dalam pencitraan, manipulasi, dan terjebak dalam keculasan karena ia malas duduk sejenak untuk berpikir realitas kebenaran.
Maka Allah Jalla wa ‘Ala memerintakan Nabi-nya untuk mengajarkan kepada kita semua untuk mengambil pribadi-pribadi terbaik yang pernah ada dalam sejarah manusia dalam bab SHIDQ, di antaranya Nabi Ibrahim عليه السلام, Nabi Isma’il عليه السلام, dan Nabi Idris عليه السلام. Lihat Surat Maryam ayat 41, 54, 56.
Nabi Ibrahim عليه السلام, menjadi teladan dalam bab SHIDQ, karena hati nuraninya mampu jujur sehingga menemu kenali bahwa sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, bahkan tidak mampu menolong, tidak layak dijadikan sesembahan. Bahkan syaithan pun haram diminta pertolongan bagi beliau, sesuatu yang hari in dipuja-puji dan menjadi tempat bergantung sebagian manusia yang pendek akalnya karena kemalasan berpikir mendalam.
Nabi Isma’il عليه السلام, menjadi teladan dalam bab SHIDQ, karena ia mampu jujur untuk mengikuti nuraninya yang membutuhkan Tuhan Yang Benar untuk disembah dengan car penyembahan yang benar, sehingga ia perintahkan keluarganya untuk rajin Shalat dan Zakat. Sementara di saat itu bahkan hingga hari ini banyak di antara manusia yang menyia-nyiakan shalat dan senang mengikuti hawa nafsunya. Lihat ayat 59 dari Surat At-Taubah.
Ketika berbicara SHIDQ, sebagian manusia langsung berpikir bahwa yang dimaksud adalah kejujuran dalam lisan. Tentu hal ini tidaklah salah, namun ternyata ini baru tingkat pertama menuju maqam SHIDDIQ. Sa’id Hawwa mengatakan bahwa tingkatan SHIDQ sejatinya memiliki 6 (Enam) tingkatan, yakni,
Shidq dalam Lisan
Kesuksesannya menerapi dirinya dalam tingkatan ini, akan memudahkannya terbebas dari sifat Munafiq.
Shidq dalam Niat
Kesuksesannya menerapi dirinya dalam tingkatan ini, akan memudahkannya terbebas dari sifat pendusta.
Shidq dalam Tekad Kebaikan
Kesuksesannya menerapi dirinya dalam tingkatan ini, akan memudahkannya dari kemalasan dari kemauan kuat untuk mencintai kebaikan.
Shidq dalam Merealisasikan Tekad Kebaikan
Kesuksesannya menerapi dirinya dalam tingkatan ini, akan memudahkannya terhindar dari Kebakhilan. Sebagai ilustrasi ALlah turunkan ayat 74-76 dari surat At-Taubah sebagai contoh kegagalan manusia dalam tingkatan ini.
Shidq dalam Amal
Kesuksesannya menerapi dirinya dalam tingkatan ini, akan memudahkannya untuk mencapai Ihsan, karena seluruh amal-nya bukan lagi untuk makhluk tapi untuk sang Khalik.
Shidq dalam Seluruh Maqam
Kesuksesannya menerapi dirinya dalam 5 tingkatan pertama akan memudahkannya mencapai kesempurnaan SHIDQ, karena ia menemukan korelasi antar ragam Maqam seperti Khauf, Raja’, Tawakkal, Qana’ah dan seterusnya.
Maka Allah ﷻ sebagaimana Surat Al-Ahzab ayat 23-24 dan Az-Zumar 32-33 akan memberikan balasan dari upaya terapi yang terus-menerus kita lakukan, berjibaku dengan seluruh tribulasi untuk mencapai tingkatan yang paling tinggi dari Maqam SHIDQ.
Semoga Allah Swt memudahkan langkah-langkah kita.
Kategori
Pertanyaan dari Akh Ridwan,
Apa hakikat sebenarnya kejujuran dari dalam hati dengan kejujuran yang berasal dari sikap belaka.. Dan apakah di zamannya Rasulullah saw, Rasulullah pernah menyembunyikan sesuatu??
Jawaban:
Akh Ridwan, sebagaimana tadabbur yang ana sampaikan di atas, bahwa dalam kata SHIDQ berkumpul makna jujur dan benar. Jujur karena benar, berani benar untuk sebuah kejujuran. Maka SHIDQ terlahir dari hati yang paling dalam, hati yang paling bersih, hati yang sentiasa dibasuh dengan ilmu, sehingga ia menjadi pencinta dan penikmat ilmu.
Sementara kejujuran dalam sikap, jika ia tidak dilandasi dari hati, maka ia akan gagal bahkan baru di tangga pertama kejujuran. Akan sulit baginya menaikkan marhalahnya menuju maqam SHIDQ yang lebih tinggi.
Di masa Rasulullah صلى الله عليه و سلم, beliau tidak pernah menutupi ilmu, karenanya Islam mengingatkan para ahlul ilmu untuk tidak menyembunyikan ilmu. Beliau صلى الله عليه و سلم, juga tidak pernah menyembunyikan harta, sehingga tidak ditemukan kecuali di dalam lemarinya tinggal sedikit roti yang bahkan tidak cukup untuk berdua. Bahkan shalat beliau pun menjadi tidak khusyuk ketika teringat masih adanya harta yang belum disampaikan. Beliau صلى الله عليه و سلم pun tidak pernah menutupi sebuah kebenaran, sehingga bersama komitmennya, jika anaknya Fathimah mencuri, beliau صلى الله عليه و سلم yang akan memotong tangannya langsung.
Wallaahu a’lam,
Pertanyaan:
Terkait sabda Nabi Diatas,
Bagaimana kalau yg menenangkan hati Itu adalah bit’ah bagaimana tadz?
Jawaban:
Hati hanya mendapatkan ketenangan yang hakiki nan abadi ketika ia berada di dalam jalan kebenaran, jalan yang penuh cahaya. Bid’ah akan menutupi masuknya cahaya, maka ketenangan hanya akan sekedar perasaan yang bersifat fana.
Wallaahu a’lam,
Pertanyaan dari seorang Ikhwah:
Ustad bagaimana untuk menimbulkan sifat-sifat SHIDQ ini, apakah dia murni Fitrah sejak lahir atau bisa ditumbuhkan ?
Jawaban:
Kepada Akh Fulan,
SHIDQ sejatinya adalah fitrah setiap manusia ketika dilahirkan, namun seiring perjalanan hidupnya, ada banyak hal yang dapat menutupi SHIDQ-nya. Mulai dari pembinaan orang tua, lingkungan tumbuh kembang, guru, nafsu syahwat, dan faktor lainnya.
Ketika Nabi Ibrahim a.s. bersama SHIDQ-nya berhasil menemukan kebenaran, tidak demikian dengan Yunani yang bahkan berakhir dengan problem moralitas.
Maka sifat ini perlu terus menerus dipelihara dengan memohon keterlibatan Allah Swt. dalam penjagaannya, dengan menjaga tauhid dari ragam bentuk kesyirikan, dengan menjauhkan ibadah dari ragam bentuk bid’ah kesesatan, dengan menghindarkan diri ragam kemaksiatan, dengan menuntut ilmu tanpa henti dan lelah. Pada saat itu berlaku sabda Nabi Saw., istafti qalbaka.
Nabi Saw, pernah bersabda,
عن وابصة بن معبد رضي الله عنه قال : أتيت رسول الله صلى الله عليه و سلم , فقال: جئت تسأل عن البر؟ قلت: نعم. قال: استفت قلبك. البر مااطمأن إليه النفس واطمأن إليه القلب. والإثم ماحاك في النفس و تردد في الصدر وإن أفتاك الناس وأفتوك.
Dari Wabishah bin ma’bad r.a. beliau berkata: Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau berkata: “Kamu datang untuk bertanya tentang kebaikan?” Aku menjawab: benar. Kemudian beliau bersabda(artinya): “ISTAFTI QALBAKA (Mintalah fatwa kepada hatimu). Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa yang menyebabkan hati bimbang dan cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani)
Yassirlana wa lakum.