Lanjut ke konten

Tadabbur Surat an-Nāzi’āt

an-naziatSurat ke-79 dalam Al-Qur’ān al-Karim dinamakan dengan An-Nāzi’āt, surat Makkiyah yang bermakna segala sesuatu yang berposisi sebagai pencabut, baik yang mencabut dengan keras maupun dengan lemah lembut. Allah ﷻ bersumpah dengan setiap wujud pencabut seperti Malaikat yang ditugaskan sebagai pencabut nyawa, atau kematian yang menggantikan kehidupan, bintang yang menggerakkan posisinya dari ufuk ke ufuk, banteng-banteng liar yang bergerak (migrasi) dari wilayah ke wilayah, dan busur yang melesatkan anak panahnya. Segala sesuatu yang Allah ﷻ bersumpah dengannya tentunya harus mendapatkan perhatian yang lebih mendalam atas kandungannya.

Malaikat sebagai satu di antara makna pencabut, diulang sifat dan hakikatnya pada ayat-ayat berikutnya. Ia mencabut nyawa orang-orang kafir dengan sangat keras. Ia mampu turun dari langit dengan sangat kencang, bahkan mendahului segala sesuatu di alam ini dengan begitu kencangnya, untuk mengatur urusan-urusan di dunia. Meski secara umum, sesuatu yang bergerak dengan kencang itu bisa merujuk kepada bintang-bintang atau bahtera-bahtera. Namun, manusia akan bersepakat, bahwa kematian hadir pada masa yang telah ditetapkan, tanpa ada suatu apapun yang sanggup bersegera untuk menghalanginya, sekencang apapun.

Kiamat kecil menjadi sebuah keyakinan yang telah dan akan selalu hadir terwujud dengan kematian demi kematian atas makhluk yang hidup. Peristiwa ini sekedar pengantar sekaligus pengingat akan keyakinan yang juga pasti akan hadir, Kiamat Besar, Kiamat yang sesungguhnya. Kiamat tersebut akan hadir diawali dengan dua masa tiupan, yang akhir mengiringi yang pertama, ar-rādifah menyusuli ar-rājifah, menghidupkan kembali setelah mematikan. Jarak di antara kedua tiupan itu adalah ’empat puluh’, ditandai dengan hujan yang menyuburkan bumi. Pada masa awal tiupan, diawali dengan tiupan kejutan, hingga datanglah tiupan kematian.

Tatkala tiupan pada masa kedua diperdengarkan, maka bangkitlah dengan serta merta seluruh yang hancur dan berserakan. Siapapun yang bangkit pada hari itu sangatlah merasa takut hatinya, pandangannya pun tertunduk karena kehinaan yang amat sangat. Kehinaan karena dahulu pernah meragukan akan adanya peristiwa kebangkitan ini.

Manusia pada saat itu bertanya-tanya apakah mereka akan dikembalikan kepada kehidupan sebelum kematian mereka. Mereka bertanya apakah mereka juga akan dikembalikan ke neraka ‘hafirah’, sebuah nama neraka di antara nama-nama neraka lainnya: Jahim, Saqar, Jahannam, Hawiyah, Lazhzha, Huthamah. Mereka pun bertanya-tanya, mungkinkah tulang yang telah hancur luluh (an-nakhirah; al-fāniyah al-bāliyah) dapat dikembalikan kembali. Mereka sangat takut dengan pengembalian yang menakutkan dan merugikan (raj’ah ghābinah; raj’ah khāsirah)..

Pengembalian merupakan sebuah kepastian. Pengembalian itu dengan mudah terjadi hanya dengan satu tiupan (zajrah) saja pada sangkakala, dengan serta-merta seluruh manusia keluar dari kuburan mereka dan hidup kembali di permukaan bumi, di tempat yang datar. Di antara tempat yang diyakini adalah di antara gunung Hassan dan gunung Ariha, atau di suatu wilayah di Syam, atau sebuah gunung di Bait al-Maqdis. Tentunya Allah ﷻ Maha Mengetahui kepastiannya.

Kepastian akan realitas pencabutan dan pengembalian sejatinya mendorong manusia untuk tidak sombong apalagi sampai mengakui diri lebih tinggi dari Allah ﷻ. Kisah dakwah Musa bin ‘Imran a.s. menjadi sumber keteladanan bagi siapapun yang mengharapkan kehidupan yang baik setelah kematian. Fir’aun dijadikan satu model manusia yang sangat melampaui batas kemusyrikan bersama permusuhan dan kesombongannya terhadap Tuhan-Nya.

Nabi Musa bin ‘Imran a.s. pernah dipanggil Allah ﷻ di sebuah lembah yang disucikan nan diberkahi, bernama Thuwa. Begitu sucinya lembah itu sehingga layak diinjak tanahnya tanpa mengenakan alas kaki. Di atas tanah yang telah disucikan dua kali inilah, Musa a.s. diperintahkan untuk berdakwah kepada Fir’aun.

Dakwah Musa a.s. kepada Fir’aun langsung tertuju kepada upaya pensucian jiwa (tazkiyah) dan pembersihan dosa dari ragam noda kekufuran sehingga ia siap mengakui bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah ﷻ, menjadi sosok yang bersih dan beriman (takun zākiyyan mukminan). Dakwahnya menawarkan jalan yang diridhai Allah ﷻ. Musa a.s. hadir bersama ragam mukjizat untuk lebih menguatkannya seperti tangan yang tampak putih cemerlang bagi orang-orang yang melihatnya, juga tongkat yang dibawanya yang dapat berubah menjadi ular yang merayap. Namun, Fir’aun menjawab dakwah itu dengan bentuk kesombongannya yang lain yakni dengan menantang Musa a.s. sembari mengumpulkan kaumnya serta para pembesar kerajaannya, dan ia mengikrarkan bahwa setiap tuhan berada di bawah Fir’aun, sebuah kedustaan di atas kebodohan.

Tantangan Fir’aun atas seruan dakwah Musa a.s. dijawab Allah ﷻ dengan adzab di dunia dan di akhirat. Adzab di dunia terutama karena perkataannya, “Aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku” (Q.S. 28:38), dan adzab di akhirat terutama karena perkataannya, “Akulah Tuhanmu yang paling tinggi” (Q.S. 79:24). Jarak antara kedua perkataan itu adalah 40 tahun. Allah ﷻ tenggelamkan Fir’aun ke dalam laut.

Sejatinya penciptaan langit jauh lebih tinggi tingkat kesulitannya dibandingkan sekedar menciptakan manusia, mematikannya dan menghidupkannya kembali di Hari Kebangkitan. Allah ﷻ menciptakan langit sebagai atap setelah meninggikannya sehingga tiada sesuatupun yang lebih tinggi darinya, dan struktur langit telah tercipta tanpa tiang sama sekali. Ketika malam, langit menjadikan seisi bumi gelap gulita (azhlama lailahā), dan ketika siang, langit menjadikan seisi bumi terang benderang (nawwara dhiyā-ahā). Siklus siang dan malam ini sangat erat kaitannya dengan kejadian bumi yang dinaungi langit yang telah dihamparkan Allah ﷻ dan dipancarkan darinya mata air sehingga tumbuhlah tetumbuhan. Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa Baitullah telah ada 2000 tahun sebelum bumi. Justru dari sanalah, dari bawah Baitullah, bumi dihamparkan. Maka untuk menjaga bumi dari goncangan, Allah ﷻ berkehendak untuk memancang gunung-gunung di atas hamparannya.

Seluruh kenikmatan di atas bumi adalah untuk kebahagiaan manusia dan hewan-hewan ternak (obyek alasan, maf’ul li ajlih, yang diperkirakan adanya, muqaddar)  sehingga manusia pada khususnya dapat mensyukuri nikmatnya dengan beribadah kepada-Nya. Jika Hari Kiamat telah hadir, maka tertutuplah pintu taubat-Nya, beruntunglah manusia yang terus beribadah kepada-Nya, dan merugilah manusia yang terus berpaling dari-Nya, mengutamakan kehidupan dunia semata sehingga ia pun melampaui batas-batas yang telah ditetapkan-Nya. Mereka yang terus berpaling, baru teringat akan perbuatan-perbuatannya baik yang buruk maupun yang baik setelah Hari Kiamat terjadi. Mereka pun sangat-sangat menyesal dengan kelalaian mereka terlebih setelah Allah ﷻ tampakkan neraka dengan jelas di hadapan penglihatan mereka. Neraka yang akan menjadi tempat duduk, tempat tingal, dan tujuan manusia, sang pelampau batas syariat.

Siapakah yang beruntung? Merekalah yang mampu menahan dirinya dari keinginan hawa nafsunya. Merekalah yang sentiasa menjaga rasa takutnya di atas penghayatannya atas tanda-tanda kebesaran Allah di alam ini.

Sebagai penutup, Allah ﷻ mengingatkan kembali urgensi meyakini hari Kiamat. Tidaklah terlalu penting kapan pastinya dan tepatnya ia terjadi, karena manusia tidak memiliki ilmu yang cukup akan hal itu, kecuali hanya dibekali dengan tanda-tandanya. Namun yang pasti, seluruh manusia yang merasakan peristiwa itu, ia merasa bahwa hidupnya sungguh terasa baru sebentar saja, di antara kedua ujung siang itu, yakni laksana waktu Sore antara waktu Zhuhur hingga terbenam matahari atau waktu pagi antara terbit matahari sampai pertengahan siang. Hal ini karena ia baru ingat dosanya yang terlalu besar sementara tiada lagi waktu baginya untuk memperbaiki diri dan bertaubat, karena kedahsyatan huru-hara Kiamat telah dihadapannya.

Maraji’:

  • Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayān ‘an Ta’wil ay al-Qur’ān
  • Tafsir al-Jalālain
  • Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Wasith
  • Tafsir Ibn Katsir

Tinggalkan komentar