Ustadz itu Tukang Do’a?

Di tengah masyarakat, banyak yang bergantung dengan sosok guru yang sering dilabeli dengan ustadz. Sosok itu sering dirujuk dalam masalah fiqh kehidupan sehari-hari.
Ia dimohon bantuannya untuk membaca do’a pernikahan, meski selepas do’a, acara pernikahan dilanjutkan dengan dansa-dansi.
Ia dimohon keikhlasannya untuk mendo’akan jama’ah saat sakit, menyalatkan jenazah kepada mayat, didengarkan taushiyahnya saat ta’ziyah, memimpin tahlilan, dan shalawatan.
Yang menarik, untuk urusan aqidah, ucapannya kurang didengar. Lebih ta’zhim kepada ‘orang pintar’ yang menarik kata-katanya akan hal-hal ghaib yang langsung menyentuh urusan perut. Banyak yang lebih suka hal yang aneh-aneh daripada yang lurus-lurus.
Yang menarik, untuk urusan ekonomi, ucapannya sering dinomorduakan. Lebih hormat kepada motivator yang mendorongnya untuk beramal ribawi dan judi, karena langsung terasa dampaknya di dompet.
Yang menarik, untuk urusan politik, ucapannya dibuang. Lebih mengutamakan syahwat karena kepentingan dan kebahagiaan pribadi, entah karena sebab kesamaan alumni, kesamaan nasab, keterkenalan di media publik, atau sejarah hutang budi masa lalu.
Mereka ambil sebagian pendapat ustadznya untuk wilayah ibadah dan akhirat, tapi meninggalkan nasihat mereka untuk urusan dunia. Seakan guru mereka awam tentang kehidupan dunia, hanya mendalam urusan masjid, sementara mereka lebih tahu dalam semua hal dunia.
Saat ustadz mereka jualan barang, mereka cibir: “Ustadz kok jualan!”. Mereka lupa, bagaimana hidup sang ustadz kalau tidak jualan, padahal jalan yang menjadi orang kaya dalam Al-Qur’ān hanyalah jual beli.
Saat ustadz mereka aktif ke politik praktis, mereka cibir: “Ustadz mempolitisasi agama!” Mereka tidak faham, boleh jadi ustadz itu ditugaskan guru ustadznya, untuk memperbaiki regulasi hukum di dunia, baik UU maupun Inpres dan Permen. Mereka tidak pernah mau tahu, bahwa ustadznya banyak mengorbankan harta untuk tujuan mulia di atas.
Mereka lupa bahwa seorang guru, setiap kali berbicara selalu berpikir keras. Tidak sekedar menimbang halal haram, namun juga maslahat mafsadat.
Mereka tidak paham, guru mereka tidak pernah mengharapkan amplop mereka, kecuali kuatnya ma’rifat mereka atas hakikat Allah dan jalan menuju ‘Arsy-Nya.
Mereka menganggap label ‘ustadz’ itu pekerjaan dunia, tidak faham bahwa guru mereka justru terjun ke dunia ‘ustadz’ untuk memperbaiki adab masyarakat.
Mereka lupa, guru mereka sangatlah khawatir masuknya api neraka ke dalam perutnya saat berbicara ilmu kehidupan, sehingga selalu berusaha bicara di atas bashirah dan pemahaman yang komprehensif.
Mereka kurang menyadari diri bahwa aktifitas mereka berjibaku di tengah persoalan umat tidak sedalam guru mereka.
Mereka kurang menyadari diri bahwa mereka terjebak dengan berpikir individual di atas opini publik, meninggalkan pola pikir jama’ah menuju kembalinya peradaban Islam yang mulia.
Saya teringat nasihat gurunda Kyai Miftah Farid di Bandung: Sadar Kekurangan Diri adalah Awal Perbaikan, Tidak Menyadari akan Sulit Diperbaiki.
Mari kita selalu doakan untuk keberkahan ilmu guru-guru kita, ustadz-ustadz kita, para alim nan faqih dari beragam wilayah dan ormas. Kumpulkan seluruh kebaikan mereka, selami nasihat mahal mereka. Bersama mereka hidup akan jauh lebih terarah, tidak silau dengan dunia.
Al-Faqir, Wido Supraha
@supraha
***
Ikuti kelas Tadabbur Al-Qur’an melalui Google Classroom, dan silahkan bergabung dengan kode kelas:
ojm91z
Pertanyaan dapat diajukan melalui: suprahawido@gmail.com, dan jawaban akan disampaikan di Channel Dialog Islami: https://chat.whatsapp.com/IFvHr8kiLHuBtmuIZDc8Tj
__
💠 Facebook: facebook.com/wido.supraha
📷 Instagram: instagram.com/supraha
🐦 Twitter: twitter.com/supraha
📠 Telegram: telegram.me/supraha
🎥 Youtube: youtube.com/supraha
Kategori