Lanjut ke konten

Panduan Logika Hukum Pejuang Penolakan LGBT di Indonesia

INTISARI LOGIKA HUKUM PEJUANG PENOLAKAN LGBT DI INDONESIA

Diresensikan dan dinarasikan ulang dengan beberapa tambahan oleh Dr. Wido Supraha (Yayasan Adab Insan Mulia) dari buku LGBT dalam Perspektif Keindonesiaan, untuk menjadi intisari bahan perjuangan seluruh generasi beradab di Indonesia, terkait akan segera disahkannya RUU KUHP dengan rapat Panja terakhir tanggal 13-16 September 2019, sementara kandungan pasalnya masih banyak memiliki persoalan.

  • Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai groundnorm, sehingga setiap Undang-undang yang disusun di Indonesia harus sesuai dengan living ideology and law masyarakat, tidak boleh netral agama sebagaimana negara sekuler, dan tidak ada doktrin pemisahan antara agama dan negara, dengan demikian LGBT adalah ujian besar bagi eksistensi Pancasila
  • Hak berkeyakinan tidak boleh dibatasi sebagaimana pasal 18 ayat 1 dan 3 dari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dengan demikian keyakinan umat beragama untuk menolak LGBT tidak boleh dibatasi karena ia bagian dari Hak Asasi Manusia yang Berketuhanan Yang Maha Esa
  • PBB harus berhenti mempromosikan dan memaksakan penerimaan LGBT di seluruh dunia karena LGBT tidak diakui secara universal di banyak negara, khususnya negara-negara yang memegang nilai moral agama, sebagai bentuk margin of appreciation kepada negara yang menolak, sehingga pendapat partikular tidak boleh memaksa pendapat universal
  • Agama adalah faktor utama yang dibutuhkan para pengidap penyakit kejiwaan LGBT untuk dapat bertransformasi menuju kembalinya fitrah yang sehat, karenanya MUI Pusat telah mengeluarkan Fatwa Nomor 57 tahun 2014 yang menegaskan larangan perbuatan LGBT
  • Al-Qur’an membahas Nabi Luth a.s. dan kaumnya dalam 15 surat dan 89 ayat dengan 3 surat yang khusus membahas penyimpangan LGBT: Al-A’raf [7] ayat 80, Asy-Syu’ara [26] ayat 165 dan An-Naml [27] ayat 54-55
  • LGBT tidak hanya dilarang dalam Islam, tapi juga dilarang di dalam Injil sebagai ibadah kafir “pelacuran kudus”, dilarang dalam sastra Hindu, dan juga dalam pemahaman Buddha.
  • LGBT adalah penyakit kejiwaan terkait penyimpangan seksualitas yang harus disembuhkan, dan masyarakat harus melindungi para dokter, akademisi, media dan pejabat publik dari somasi para pegiat LSM yang pro-LGBT, dan teguran dari lembaga seperti American Psychiatric Association (APA) dan The British Psychological Society.
  • Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran (PP PDSKJI) telah menyatakan sikapnya di tahun 2016 bahwa homoseksual dan biseksual masuk dalam kategori orang dengan masalah kejiwaan (ODMK), sebagaimana pendapat senada ditegaskan oleh Pengurus Pusat Ikatan Psikologi Klinis-Himpunan Psikologi Indonesia (IPK-Himpsi) dan Ikatan Perawat Jiwa Indonesia
  • Pelaku LGBT sangat berpotensi mengalami gangguan jiwa dan fisik, beresiko tinggi mengalami depresi, kecemasan, penyalahgunaan zat dan percobaan bunuh diri.
  • Fakta adanya sinyalemen perilaku LGBT di tengah masyarakat Indonesia di masa kuna, seperti Serat Chentini, Cebolang, dan Calabai tidak lantas menjadi dalil bahwa Indonesia wajib menerimanya, apalagi jika sinyalemen tersebut berasal dari kisah fiktif, fakta minoritas bentukan penjajah, atau bermuatan keuntungan ekonomi pribadi, dan bukankah memaksa menerima satu perilaku sosial berkonsekuensi memaksa penerimaan pada sekian banyak perilaku sosial lain yang bertentangan dengan kebudayaan bangsa Indonesia
  • Penyimpangan orientasi seksual bukanlah hak asasi, karena hak asasi di Indonesia harus berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
  • Pengidap jiwa LGBT juga pada faktanya tidak memiliki kromosom khusus selain XY untuk laki-laki dan XX untuk perempuan, dan para peneliti di Barat telah menelitinya dan mengeluarkan keputusan “No One was Born as Gay!”
  • Organisasi pendukung LGBT tertua dan terbesar di Asia saat ini ternyata ada di Indonesia, bernama Gaya Nusantara. Melalui proses yang panjang dan sistematis, diawali dengan menerima eksistensi waria (1970), dilanjutkan berdirinya organisasi LGBT dan penerbitan majalah khusus LGBT (1980), mengadakan kongres hingga pesta homoseksual dan berlindung dibalik program penanggulangan HIV dan AIDS, bersinergi dengan gerakan feminis Indonesia (1990-an), hingga sekarang menerima dukungan dari Internasional dan berhasil menjadi mitra Komisi AIDS Nasional.
  • Perlahan tapi pasti, para penolak LGBT dicitrakan sebagai kaum yang intoleran, homophobia dan senang melakukan persekusi
  • Laporan Kementerian Kesehatan RI yang dikutip dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, telah terdapat jutaan pelaku homoseksual (LSL) di tahun 2012, dan bahkan menurut UNAIDS Special Analysis 2018, Indonesia menjadi negara penyumbang penyebaran infeksi baru HIV AIDS terbesar ke-3 di Asia Pasifik
  • Penelitian terbaru menunjukkan bahwa terdapat 8 pengidap HIV dari 200 waria dan gay, dengan rentang usia terbanyak antara 20 sampai 49 tahun, usia laki-laki produktif, dengan biaya pengobatan yang harus dikeluarkan negara hingga Rp 1,000,000,- per bulan.
  • LGBT menyebabkan hilangnya usia produktif warga negara, habisnya anggaran negara untuk pengobatan bulanan para pengidap penyakit bawaannya, dan tentunya hilangnya moralitas bangsa yang berdampak pada rusaknya tatanan berbangsa dan bernegara di Indonesia
  • Penanggulangan LGBT bukanlah dengan kondom atau alat kontrasepsi sehat bagi para pelaku seks bebas, melainkan langsung ke akar masalahnya dengan mencegah tumbuh suburnya perilaku penyimpangan tersebut, di antaranya melalui aturan hukum yang tegas bagi pelakunya
  • Jika Malaysia menghukum pelaku LGBT dengan cambuk dan penjara hingga 20 tahun, Brunai dengan cambuk dan penjara hingga 10 tahun, Uzbekistan dengan penjara 3 tahun, Turkmenistan dengan penjara 2 tahun, Sudah dan sebagian Nigeria dengan hukuman mati, begitupun di Singapura bahkan di Rusia dengan lahirnya UU berjudul “For the Purpose of Protecting Children from Information Advocating for a Denial of Traditional Family Values”, dan banyak negara lainnya, seperti Chad, Tanzania, Afghanista, Turkmenistan, Uzbekistan, Eritrea, Aljazair, Tunisia, begitupun negara Eropa Timur seperti Lithuania, Moldova, Armenia, Ukraina, Kroasia, Hungaria, Slovakia, Polandia, dan Macedonia, bagaimana dengan hukum pidana di Indonesia?
  • Di Amerika Serikat sendiri hanya 19 dari 50 negara yang memberikan proteksi terhadap diskriminasi LGBT dalam layangan publik. Jika Bill Clinton di tahun 1993 membatasi ruang gerak LGBT di Militer, dan kemudian dibuka bebas oleh Barrack Obama, kini Donald Trump kembali membatasi ruang gerak LGBT. Hal ini menunjukkan bahwa di negara maju seperti Amerika Serikat sendiri, LGBT tidak mendapatkan tempat yang sangat bebas. Bagaimana dengan Indonesia?
  • Pidana pada perilaku LGBT dengan bentuk penjara, rehabilitas dan kerja sosial, justru akan menghindarkan pelakunya dari persekusi dan intimidasi masyarakat, dengan demikian jika persoalan LGBT tidak diatur di Indonesia akan berpotensi persekusi
  • Lex ut sic regula actuum moralium obligans, ad id quote rectum est (pedoman hukum atau kaidah hukum, legal norms, dan ukuran baik-buruk atau benar-salah menurut masyarakat (social norms atau moral norms) tidak selalu harus dibedakan, karenanya dosa (sin) dalam sudut pandang agama tidak perlu dipisahkan dari kejahatan (crime) dalam sudut pandang hukum positif (Syamsuddin Arif), padahal jika dosa tidak bisa menjadi dasar perbuatan kriminal, dan jika semua urusan dosa adalah urusan dengan Tuhan, maka tidak akan ada lagi tindak pidana yang terjadi di atas muka bumi (Chairul Huda).
  • Di dalam KUHP yang berlaku, LGBT hanya digolongkan kejahatan jika dilakukan kepada anak di bawah umur atau belum dewasa (Pasal 292 KUHP), sementara jika dilakukan sesama orang dewasa tidak secara tegas melarang atau membolehkannya
  • Pengajuan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal 284, 285 dan 292 KUHP untuk menguatkan pidana pada pelaku zina dan LGBT di tahun 2016 oleh para pejuang moralitas di Indonesia seperti Prof. Dadang Hawari, Prof. Musni Umar, Prof. Mudzakkir, Dr. Adian Husaini, Dr. Dewi Inong Iriana, Prof. Neng Djubaedah, Dr. Asrorun Ni’am, Prof. Atip Latipulhayat, dan Prof. Hamid Chalid didukung MUI Pusat, Yayasan Peduli Sahabat, dan Persistri, ternyata mendapatkan perlawanan keras dari Komnas Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sehingga melahirkan keputusan akhir MK dengan 4 (hakim) mendukung pemohon dan 5 (lima) hakim menolak pemohon dan meminta agar pengubahan KUHP dilakukan di DPR-RI, Komisi III
  • Keputusan MK yang anomali dan banci setelah proses perjuangan pemohon JR selama 2 (dua) tahun tersebut telah mengikat kaki dan tangannya sendiri dengan alasan tidak boleh memasuki ranah legislatif sehingga tidak memberikan penafsiran hukumnya (Hamdan Zoelva), padahal domain MK untuk meluruskan dan mengembalikan makna terhadap usulan perluasan definisi zina menurut perasaan hukum masyarat dengan hukum, dan padahal untuk putusan lain, MK telah begitu progresif menjadi positive legislator, tidak sekedar negative legislator (Chairul Huda).
  • Pendapat bahwa negara tidak boleh intervensi perilaku LGBT sebagai hak kebebasan pribadi adalah pendapat kuna berbasis filosofi utilitarian yang dipelopori Jeremy Bentham yang berkeyakinan jika ingin membuat tindak pidana maka carilah perbuatan-perbuatan yang melanggar hak orang lain. Jika persoalan LGBT adalah persoalan pribadi mengapa ada delik victim less crime, bahwa kejahatan yang tidak ada korban kemudian tetap dapat dikriminalisasi
  • Filosofi hukum modern adalah bahwa seseorang harus dilindungi bukan hanya dari serangan melanggar hukum yang dilakukan orang lain, melainkan seseorang itu juga harus dilindungi dari perbuatan yang merusak dirinya. Perzinaan adalah contoh perbuatan yang merusak anak yang lahir terkait ketidakjelasan hak-haknya.
  • Hukum pidana adalah sarana social defence dalam melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat (Naskah Akademis KUHP BPHN 2009)
  • Melindungi kelompok minoritas LGBT bukan dengan memberikan hak khusus atau privilege tertentu sehingga melahirkan kebebasan bagi mereka, namun perlindungan yang dihadirkan oleh negara dengan penuh kasih sayang dalam bentuk penyadaran dan bersifat rehabilitatif. Hal ini bertujuan agar mereka bertransformasi kepada fitrahnya, yang disebut Jenkins dan Azimullah, sebagai a natural disposition towards goodness.
  • Konsep pengobatan LGBT seperti BPSS (Biologi, Psikologi, Sosial dan Spiritual) yang dikembangkan Prof. Dr. Dadang Hawari, atau Living Ideas yang digunakan Carl Gustaf Jung,  atau Aqidah Therapy yang digunakan oleh banyak Doktor Psikolog di Indonesia adalah di antara fakta empirik bahwa pengidap penyakit LGBT bisa sembuh dengan memperkenalkan pola kehidupan normal, memberikan solusi pada psikologinya, menjauhkan dari lingkungan sosial buruknya, dan memperkenalkanya pada tujuan hidupnya untuk akhiratnya.
  • Mengapa banyak manusia yang mau diintimidasi pemikirannya dengan pemaksaan keyakinan bahwa konsep Hak Asasi dari Barat harus selalu diyakini universal, sementara konsep hak asasi dari selain Barat pasti bersifat parsial?
  • Pernikahan sejenis belum diizinkan di Indonesia sebagaimana Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berlaku saat ini, Pasal 1 angka 3 dan 4 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan Pasal 1 angka 6 UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, maka bangsa Indonesia wajib menjaga hukum positif yang telah sejalan dengan nilai agama, dan mewaspadai langkah-langkah berikutnya dari pendukung LGBT untuk mengubah pasal-pasal di atas dengan perspektif Barat bahwa perkawinan hanya kontraktual belaka antara manusia, bukan ikatan lahir batin antara perempuan dan laki-laki untuk membentuk keluarga sebagaimana di Indonesia
  • Kini, dalam Rancangan UU KUHP baru yang sedang dibahas Komisi III DPR RI ternyata kalimat ‘pencabulan sesama jenis’ dihilangkan, sehingga perilaku LGBT semakin hilang kejelasan hukumnya, dan perjuangan anak bangsa yang menemui jalan buntu di MK kembali berpotensi menemui kebuntuan di Komisi III DPR RI
  • RUU KUHP ini membutuhkan tingkat partisipasi publik yang sangat tinggi, karena ini akan menjadi produk sejarah setelah 56 tahun Indonesia belum pernah memiliki KUHP produk sendiri. Untuk itu bangsa harus menolak pengesahan RUU KUHP yang terkesan terburu-buru di 26 September 2019. DPR dan Pemerintah harus lebih banyak menerima masukan dari masyarakat.

Kategori

Kajian, Liputan

Tag

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: