Lanjut ke konten

Kemerdekaan NKRI, Kemerdekaan Ummat Islam

Pada 17 Agustus 1945 M/2605 Tahun Jepang yang bertepatan dengan 09 Ramadhan 1364 Hijriyah, bertempat di rumah seorang keturunan Hadramaut, Yaman Selatan, Almarhum Bapak Faradj bin Said bin Awadh Martak, diproklamasikanlah kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05.

Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno/Hatta

Pada hakikatnya momen proklamasi di atas adalah momen kemerdekan bagi seluruh komponen bangsa dari berbagai suku dan agama. Hal ini tentu sudah menjadi kesepakatan umum dan tidak terbantahkan. Namun begitu, tulisan ini dibuat untuk memberikan semangat kepada kaum muslimin pada khususnya untuk bersyukur atas nikmat kemerdekaan ini, karena jika melihat sejarah Nusantara baik sebelum maupun sesudah datangnya penjajah Belanda, peran umat Islam bagi Nusantara begitu luar biasa, begitu pula dampak penjajahan bagi umat Islam di masa-masa awalnya juga begitu luar biasa. Rasa syukur umat Islam ini harus diwujudkan dengan partisipasi aktif dalam pembangunan dan memimpin narasi perjuangan di era paska kemerdekaan, di era digital hari ini.

Tulisan ini dimulai dengan mengajak pembaca untuk memotret kondisi umat Islam yang berada dalam kedamaian sejak awal masuknya ke bumi Nusantara sejak abad 7 M hingga abad 16 M, yang kemudian harus terusik ketenangannya paska masuknya penjajah dari Barat dengan ideologi: Gold-Glory-Gospel. Tidak kurang di antara negara Barat yang masuk seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Perancis datang untuk merampas kekayaan bangsa, merusak kehormatan bangsa dan mengganggu keyakinan mayoritas bangsa di masanya.

Sejatinya, Islam begitu mudah diterima di bumi Nusantara karena ajarannya yang rahmatan lil ‘alamin. Keindahan syariatnya yang memandang semua manusia adalah sama-sama hamba Allah (‘abdullah), meniadakan kelas-kelas sosial (kasta), dan menguatkan fitrah manusia, memberikan bekas mendalam dalam jiwa para leluhur bangsa.

Berinteraksi dengan beragam bangsa dari luar, sudah biasa dilakukan umat Islam di Indonesia, sebagai konsekuensi posisi geografis yang pasti dilewati oleh siapapun dari Jazirah Arab yang hendak menuju China. Namun, baru pada abad ke-17, umat Islam mengangkat senjata sejak adanya bangsa asing yang datang dengan maksud jahat. Sejak itulah, kesultanan Islam hingga pada akhirnya gerakan senjata rakyat yang dipimpin ulama bergerak membebaskan negeri sampai titik darah penghabisan.

Dukungan ulama dalam perjuangan para Sultan sangatlah kuat. Bahkan meski mereka berada di Haramain, mereka memberikan motivasinya. Di antaranya Syaikh Abdul Shamad al-Palimbani (1704-1789 M). Beliau pernah menguatkan semangat dua Sultan Islam yakni Sultan Hamengkubuwono I dan Mangkunegara. Pesan beliau kepada Hamengkubuwono I (6 Agustus 1717-24 Maret 1792):

”Tuhan telah menjanjikan bahwa para Sultan akan memasuki (Surga), karena keluhuran budi, kebajikan, dan keberanian mereka yang tiada tara melawan musuh dari agama lain (sic!). Di antara mereka ini adalah raja Jawa yang mempertahankan agama Islam dan berjaya di atassemua raja lain, dan menonjol dalam amal dalam peperangan melawan orang-orang agama lain (sic!).”

Juga surat beliau kepada Pangeran Paku Alam atau Mangkunegara:

Selanjutnya, Yang Mulia hendaknya selalu ingat akan ayat al-Quran, bahwa sebuah kelompok kecil akan mampu mencapai kemenangan melawan kekuatan besar. Hendaklah Yang Mulia juga selalu ingat bahwa dalam al-Quran dikatakan: ”Janganlah mengira bahwa mereka yang gugur dalam perang suci itu mati” (al-Quran 2:154, 3:169)… Alasan panji-panji ini dikirimkan kepada Anda adalah bahwa kami di Makkah telah mendengar bahwa Yang Mulia, sebagai seorang pemimpin raja yang sejati, sangat ditakui di medan perang. Hargailah dan manfaatkanlah, insya Allah, untuk menumpas musuh-musuh Anda dan semua orang kafir.”

(Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, karya Prof. Dr. Azyumardi Azra, (Jakarta: Prenada Media, 2004).

Meski pada akhirnya semua gerakan bersenjata umat Islam berhasil dikalahkan dengan ragam politik adu domba (devide et impera) hingga akhir abad 19 M, dan ketika syarat-syarat kemenangan itu tidak lagi terlihat, Allah SWT selalu punya caranya. Di awal abad 20 M, umat Islam terus bergerak dengan gaya baru melalui pembentukan gerakan sosial keormasan di bidang dakwah dan pendidikan, sembari membangun jaringan internasional difasilitasi ulama haramain (dua tanah suci). Di awal abad 20 pula, Allah SWT melemahkan kekuatan penjajah dengan peristiwa global berupa Perang Dunia I (28 Jul 1914 – 11 Nov 1918) dan Perang Dunia II (1 Sep 1939 – 2 Sep 1945).

Ciri gerakan Islam adalah selalu tidak bersifat eksklusif, namun menyatukan potensi bangsa yang memiliki visi yang sama: bebas dari penjajahan. Berkata Muhammad Natsir (17 Juli 1908-6 Februari 1993):

Pergerakan Islam pulalah yang pertama-tama meretas jalan di negeri ini bagi kegiatan politik yang mencita-citakan kemerdekaan, yang telah menebarkan benih kesatuan Indonesia, yang telah mengubah wajah-wajah isolasi pelbagai pulau dan juga roman muka provinsialis, yang juga pertama-tama menanamkan benih persaudaraan dengan orang-orang seiman sekeyakinan di luar batas-batas Indonesia.”

(M. Natsir, “Indonesisch Nationalism” dalam Pembela Islam, No. 36, Oktober 1931. Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997).

Pernyataan M. Natsir di atas seakan menegaskan apa yang pernah disampaikan oleh H.O.S. Tjokroaminoto (16 Agustus 1883-17 Desember 1934) bahwa semangat Islam bukan sekedar semangat anti penjajahan, tapi juga semangat mengkonsolidasikan potensi bangsa. Beliau berkata:

 “Kita cinta bangsa sendiri dan dengan kekuatan ajaran agama kita, agama Islam, kita berusaha untuk mempersatukan seluruh bangsa kita, atau sebagian besar dari bangsa kita.”

Pidato Ketua SI pada Kongres Nasional Pertama Centraal Sarikat Islam, yang berlangsung di Bandung, 17-24 Juni 1916

Penjajahan selalu menghilangkan kebebasan beragama, menghilangkan kebebasan beribadah, menghilangkan kebebasan berpendapat, menghilangkan kebebasan berekspresi, dan menghilangkan kebebasan pendidikan. Korban terbesar penjajahan tentunya adalah umat Islam. Oleh karenanya dapat dipahami ketika Muhammad Natsir mengatakan:

adalah untuk kemerdekaan Islam, agar kaidah-kaidah Islam dilaksanakan untuk kesejahteraan dan kesempurnaan kaum Muslimin serta segenap ciptaan Allah.

(Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta…. Ucapan Natsir dikutip Endang Saifuddin Anshari dari buku Prof. Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 (Singapore-Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1973)

Posisi Islam yang membangun kerajaan di dalam jiwa manusia ini menjadi tembok penghalang besar bagi Belanda dalam memenangkan misinya. Sekurang-kurangnya hal ini dapat kita rasakan dari laporan Gubenur Jenderal van Limburg Stirum
Kepada Menteri Jajahan PLeyte:

“Juga agama Islam menjadi faktor yang penting dalam pergerakan rakyat di masa sekarang. Jelas sekali bahwa di tahun-tahun yang akhir ini, ke-Islaman rakyat lebih menonjol. Dari bebagai-bagai pertanda dapat diambil kesimpulan, bahwa bukan bagian kecil dari rakyat, tidak saja lebih yakin kepada agama itu, tetapi juga karena mereka menyadari, dengan agama itu mereka termasuk golongan yang besar, yang dapat memberi perlindungan terhadap bermacam-macam pengaruh, dan memberi kekuatan kepada golongan itu.”

(Lihat: Mr. Mohammad Roem, “Tiga Peristiwa Bersejarah”, Jakarta: Penerbit Sinar Hudaya, 1972)

Ketika Islam telah tertanam dalam jiwa, manusia bergerak dari hamba dunia menjadi hamba Allah semata. Sebaliknya, ketika Islam tidak menjadi panduan, betapa banyak umat Islam di masa lalu yang menjadi pengkhianat bangsa, rela digaji penjajah untuk membunuh anak bangsa. Mereka bergerak dari hamba Allah menjadi sekedar hamba dunia. Inilah yang pernah diingatkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits riwayat al-Bukhari no. 2886:

ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺪِّﻳْﻨَﺎﺭِ ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺪِّﺭْﻫَﻢِ، ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﺨَﻤِﻴْﺼَﺔِ ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﺨَﻤِﻴْﻠَﺔِ ﺇِﻥْ ﺃُﻋْﻄِﻲَ ﺭَﺿِﻲَ ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳُﻌْﻂَ ﺳَﺨِﻂَ

“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamisah dan khamilah (sejenis pakaian yang terbuat dari wool/sutera). Jika diberi, dia senang. Tetapi jika tidak diberi, dia marah.”

Mereka, para pengkhianat bangsa, demi harta dunia menghamba kepada hawa nafsu dan syaithan. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam Nuniyah mengatakan:

هَربوا من الرق الذي خُلقوا له
فبُلُوا برِقِّ النفس والشيطان

“Mereka lari dari penghambaan (menjadi budak Allah) di mana mereka diciptakan untuk itu, lalu mereka dihukum dengan penghambaan kepada hawa nafsu dan setan.”

Dampak seseorang yang meninggalkan Allah SWT, maka ia akan terjatuh pada 3 (tiga) perkara yang sangat membinasakan, sebagaimana pesan Rasulullah SAW dalam riwayat at-Thabrani juga dalam Al-Awsath no. 5452:

فَأَمَّا ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ:
شُحٌّ مُطَاعٌ وَ هَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

Adapun tiga perkara yang membinasakan adalah:
(1) kebakhilan dan kerakusan yang ditaati;
(2) hawa nafsu yang diikuti;
dan (3) seseorang yang membanggakan diri sendiri.

Jika hari ini, setelah 77 tahun merdeka, kita masih tidak bisa melepaskan diri dari hawa nafsu dan syaithan, maka pada hakikatnya kita belum merdeka. Batin kita masih terjajah meski fisik kita sudah terbebas. Sangat wajar jika masih banyak terjadi:

  • Korupsi (Pencurian)
  • Kolusi (Mafia) dari sebuah proyek
  • Perasaan Tidak Enak Konsisten Pada Kebenaran
  • Sikut-sikutan Untuk Meraih Jabatan
  • Kerjasama Menutupi Kesalahan atau Kejahatan
  • Asal Bapak Senang (ABS)
  • Rela melakukan kemaksiatan demi mendapatkan proyek

Umat Islam dahulu dididik oleh para ulama melalui pondok-pondok pesantren agar menjadi hamba yang merdeka dan bergantung kepada Allah. Kemandirian ekonomi para santri dibangun melalui perdagangan, peternakan dan pertanian. Namun, VOC memutuskan mata rantai jaringan kemandirian itu dengan penggajian, maka perlahan hilanglah kemandirian kepada kebergantungan sebagai buruh. Sangat wajar jika masih ada mental sebagian saudara sebangsa yang berpikiran:

  • Rizki hanya diperoleh melalui Ikatan PNS atau Ikatan Kedinasan
  • Bermental buruh di sebuah perusahaan
  • “Mencari rizki yang haram saja susah, apalagi yang halal”
  • Tidak berani hijrah dari pekerjaan yang mengandung riba, gharar, dan kemaksiatan

Hakikat kemerdekaan sebagaimana disebutkan dalam Majmu’ al-Fatawa 8/306:

العبودية لله هي حقيقة الحرية،
فمن لم يتعبد له، كان عابدا لغيره

“Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barang siapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya”.

Sejatinya seseorang akan merdeka jika ia mampu mengatur hawa nafsunya agar berada dalam naungan wahyu Ilahi. Minimal keuntungan yang diperolehnya adalah:

  1. Mengenali dan menguatkan fitrahnya
    • Menghamba hanya kepada Allah semata
    • Menguatkan orientasi seksual (gender) berbasis jenis kelamin (sex)
    • Menikahi lawan jenis dan bersama mendidik generasi baru
    • Terakomodirnya fungsi panca indra dan akal dalam kehidupan
  2. Bahagia dalam menjalani sesuatu yang sejalan dengan passion dan talent
  3. Mengerjakan apa yang dicintai dan mencintai apa yang dikerjakan yang semakin mendekatkan diri kepada Allah (taqarruban ilallah)
  4. Selalu ingin bermanfaat bagi alam semesta dan membuat seisi alam tersenyum bahagia
    • Membantu anak yatim dan orang miskin
    • Membebaskan manusia dari lilitan hutang, perbudakan, dan penyiksaan
    • Mencerdaskan manusia
    • Kelestarian alam dan seluruh ekosistemnya

Maka, apa yang dapat dilakukan oleh bangsa yang telah merdeka secara fisik ini setelah 77 tahun kemerdekaan NKRI? Mulailah dengan membebaskan diri berbagai bentuk penjajahan pemikiran yang akan membawa bangsa ini tidak percaya diri dengan narasinya yang Pancasilais melawan hegemoni serangan asing seperti Sekularisme, Liberalisme, Pluralisme Agama, Kapitalisme, Feminisme, hingga LGBTQIAS2+. Dengan ketinggian narasi Islam, bergeraklah memimpin bangsa dengan agenda sebagai berikut:

  • Aktif partisipasi memimpin narasi Qur’ani dalam sosial media
  • Aktif partisipatif memasyarakatkan budaya Islami di dunia digital
  • Mengembangkan semangat literasi dan publik speaking
  • Mengembangkan dunia pendidikan mudah dan murah bagi anak bangsa
  • Aktif sinergi potensi kekayaan ummat dalam membantu sesama
  • Menjaga nama baik bangsa, negara dan agama
  • Mengembangkan potensi diri menjadi entrepreneur muda yang energik dalam mengembangkan potensi produk dan jasa lokal ke dunia internasional
  • Membangun Pusat Rehabilitas Nasional Untuk Kecanduan Gadget, Pornografi dan LGBTIQIAS2+

Darah para syuhada akan terus harus semerbak bersama gerakan generasi bangsa yang merawat NKRI. Target kita selanjutnya adalah memimpin narasi dunia yang telah menua ini. Semoga Allah SWT meridhai langkah kita.

Wido Supraha | Direktur Institut Adab Insan Mulia

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: