Konsep Tuhan

Dalam tema diskusi awal, tiada materi yg lebih mendasar dalam agama kita, kecuali kejelasan akan konsep Tuhan. Konsep yg dengannya kita termotivasi untuk hidup dan mengakhiri kehidupan.
Prof. Wan menjelaskan bahwa secara ontologis, Islam, sebagaimana jelas tertulis dalam Al-Qur’an, bersifat TEOSENTRIS, karena realitas sebenar hanya Allah yg juga tertulis dalam Al-Qur’an, dan wujud yg pasti (wajib al-wujud). Seluruh yg lain bersifat MUNGKIN berdasar kehendakNya.
Pengulangan kata Allah dan Rabb dalam kesatuan (the unity) ditemukan pada lebih dari 3750 tempat dalam Al-Qur’an. Konsep bahwa Allah Pemilik sekaligus Pemelihara terus disusupkan ke dalam jiwa manusia.
Secara teologis, Allah menjadikan Al-Qur’an dan agama ini bersifat antroposentris sebagaimana juga pendapat Izutsu dalam God and Man in the Koran. Hal ini karena manusia, watak, sikap, jiwa, tanggung jawab, dan takdirnya, ternyata menjadi perhatian utama kandungan Al-Qur’an, sebagaimana persoalan Tuhan itu sendiri.
Gagasan tentang Allah bukan sama sekali baru khususnya bagi bangsa Arab sebelum Islam. Terbukti dari syair2 sebelum Islam yg menambahkan nama-nama personal begitupun persembahan-persembahan lama. Namun … gagasan Tuhan Yang Esa atau bahkan gagasan tentang Tuhan itu sendiri tidak dipandang memiliki urgensi dan sentralitas dalam pandangan dunia mereka.
Mereka memang yakin Tuhan sebagai Rabb Al-Bait (pemilik rumah) dan bahkan mereka yakin Allah pencipta langit, bumi, dan ka’bah. Namun … Allah hanyalah satu di antara Tuhan Yang Maha Tinggi, yg kepadanya mereka mengadakan perantaraan dan seserahan berupa anak perempuan. Mereka bersumpah dengan namaNya dan menyebutNya di saat membunuh anak-anak perempuan mereka.
Keyakinan mereka kepada Allah mendorong mereka memohon pertolongannya saat menemui kesulitan, namun kembali kepada kemusyrikan setelahnya. Inilah realitas yg mengutip istilah Izutsu sebagai temporary monotheism (monoteisme sesaat).
Hubungan penuh ambiguitas ini yang menjadikan mereka menyerahkan takdir kepada penguasa gelap (dahr) hingga kematiannya, dan kepada ketentuan-ketentuan atas persoalan yg telag diputuskan sebelumnya (azdar) yang berada di luar kemampuan manusia, maka lahirlah pandangan nihilistik-pesimistik jahiliah.
Setelah Al-Qur’an mewahyukan konsep Tuhan, Allah, sebagai faktor Yang Maha Tinggi dan utama dalam kehidupan manusia dan alam semesta, bangsa Arab jahiliyah memprakarsai pertentangan yang hebat terhadap risalah Muhammad Saw. Hal ini karena Tuhan menurut Al-Qur’an adalah hakikat mutlak (Al-Haqq), sementara semua bentuk ketuhanan yang lain adalah salah (Bathil), yang lain hanyalah nama.
Tuhan menurut Al-Qur’an bukanlah proyeksi pikiran manusia (seperti dugaan Feurbach), bukan produk kebencian orang-orang yang kecewa (seperti tuduhan Nietzsche), bukan ilusi orang-orang yang masih kekanak-kanakan (seperti asongan Freud), juga bukan candu masyarakat, hiburan yang dipersembahkan demi keuntungan pribadi (seperti hinaan Marx), karena Dia selalu Hidup (Al-Hayy Al-Qayyum), yang melampaui batasan tata ruang dan waktu, Yang Pertama (Al-Awwal), dan Yang Akhir (Al-Akhir), Yang Nyata (Azh-Zhahir), dan Yang Tersembunyi (Al-Bathin), maka hakikat Tuhan yang pasti adalah tidak dapat diketahui, karena ia melampaui semua batas pengertian.
Namun, untuk membantu pemahaman manusia, dan juga pengaruh-Nya terhadap tindakan mereka, Tuhan menggunakan kiasan-kiasan (metafora) dan kesamaan-kesamaan dengan sesuatu yang agung di langit dan bumi, dan dari pengalaman-pengalaman kita sendiri. Penggambaran sifat-sifat Tuhan cukup banyak, namun dapat diringkas ke dalam beberapa sifat-sifat penting : hidup, abadi, esa, kuasa, benar, indah, adil, cinta dan baik. Semuanya ini hanyalah petunjuk-petunjuk wujud tertinggi yang dibserikan sebagai cita-cita manusia tertinggi yang telah Dia tanamkan dalam sifat kita.
Aspek Tuhan terpenting dalam Al-Qur’an adalah ke-esa-an-Nya, penegasan yang menjadi aspek terpenting dalam ajaran Islam, yakni TAUHID. Implikasi spiritual, intelektual, dan sosio-moral konsep ini dapat ditemukan dengan baik dalam Al-Qur’an sendiri atau melalui penyimpulan logis. Singkatnya, Tuhan adalah ESA, tidak dilahirkan juga tidak mempunya keturunan, dan tidak mempunyai sekutu. Sebab, jika Tuhan lebih dari satu, pasti akan terjadi ketidakteraturan dan kekacauan di alam semesta. Dia adalah tempat bergabung yang abadi dan berdiri sendiri, yang secara metaforis sama dengan batu yang keras yang menjadi jangkar bagi sesuatu. Tidak mengherankan kemudian, jika Surat Makkiyah Awal yang mengandung penggambaran keesaan Tuhan, sama dengan 1/3 Al-Qur’an.
Dari Tuhan Yang Esa ini, kemanusiaan berkembang yang meski terbagi ke dalam ras dan suku, laki-laki dan perempuan, yang esensinya menjadi salah satu tujuan di dunia ini. Keesaan Tuhan Yang Maha Benar tentunya berimplikasi pada kesatuan pengetahuan, kesatuan kenabian (nubuwwah). Kesatuan pengetahuan dalam kajian ke depan nanti, bermakna tidak ada pemilahan yang disebut ilmu sekuler dan ilmu agama. Tuhan pencipta langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya adalah Dia Yang Pemelihara (Rabb), yang berarti penguasa, pemilik, pemberi makan, juga pendidik pada kesimpulan yang sempurna. Sebagai pendidik dan pemelihara, sebagai Tuhan, melalui Jibril, mewahyukan kepada Nabi Saw pertama kali di Gua Hira’. Dalam detik yang sangat menentukan itu, Dia memperkenalkan diri-Nya bahwa Tuhan adalah pemelihara (Rabb) yang menciptakan dan mengajar. Maka gagasan tentang Tuhan dijelaskan lebih jauh dalam ayat-ayat selanjutnya bahwa Dia yang menciptakan dan menyempurnakan, menentukan kadar bagi segala sesuatu, dan memberi petunjuk. Tanpa Tuhan tidak akan ada sesuatu.
Pemeliharaan (Rububiyah) Tuhan dicirikan dengan rahmat dan keadilan. Padanan yang sering digunakan dalam Al-Qur’an yang menunjuk kepada Tuhan adalah Pengasih-Penyayang (Rahman-Rahim) yang berada di awal setiap surat, kecuali satu surat. Ia juga Pemberi Ma’af (‘Afuw), Pengampun (Al-Ghafir), Maha Menghitung (Al-Hasib), dan Pemberi Balasan. Semuanya ini sesungguhnya untuk mendorong potensi-potensi manusia. Seseorang yang percaya kepada realitas Tuhan ini dengan benar, akan berusaha keras dalam semua keadaan untuk berbuat baik sesuai dengan nilai-nilai yang diwahyukan Tuhan, dan jika ragu atau salah pada suatu waktu, ia tahu Tuhan akan mengampuninya. Maka berkembanglah moral kognitif positif manusia sebagaimana juga mempertahankan tata aturan alam semesta.
Sikap Tauhid yang tidak mengenal kompromi sekaligus penegasan keesaan Tuhan dimaksudkan untuk mengembangkan dan membebaskan pikiran manusia agar menemukan kebenaran dengan memisahkan diri dari belenggu perantara yang bisa jadi akan menghalangi proses pencarian kebenaran itu. Karenanya, Al-Qur’an mencela mereka yang mengikuti hawa nafsunya (hawa), menjadikannya sebagai tuhan-tuhan (arbab) yang menghalangi indra pendengaran dan pikiran terhadap kebenaran yang obyektif. Secara ontologis, posisi orang-orang yang seperti itu ditempatkan di bawah binatang.
Dalam frekuensi yang sama, Al-Qur’an mengutuk orang-orang yang mengikuti nenek-moyang mereka dengan membabi buta, menggantikan kebenaran Tuhan dari Nabi Terpercaya, menyebutnya dengan buta, tuli dan bisu. Untuk segala tujuan ideal ini, Islam melarang seluruh bentuk keyakinan dan praktik takhyul. Al-Qur’an misalnya mengutuk adat Quraisy tentang praktik ramalan dengan anak panah sebagai tidak benar (fisq). Tuhan harus disucikan.
Di balik penggambaran sifat-sifat Tuhan terdapat gagasan imanensi Tuhan. Berulang kali Al-Qur’an menyebut bahwa Tuhan selalu hadir dan dekat, lebih dekat dari urat leher manusia. Tentu ini bukan pengertian fisik Tuhan yang berada atau dekat, meskipun pada kenyataannya dekat dengan manusia. Ini mengimplikasikan dalam konteks bahwa Tuhan selalu sadar dan memperhatikan gerak hati dan tindakan manusia dengan harapan bahwa manusia akan menahan diri dari tidak menghiraukan tujuan utamanya. Tuhan mengingatkan Muslim untuk tidak seperti mereka yang dilupakan Tuhan karena melupakan Tuhan. Pada sisi lain, kedekatan Tuhan juga dimaksudkan untuk memberikan rasa damai dan ketinggian spiritual mereka yang berjalan di jalan yang benar. Karena Tuhan penting bagi manusia, maka tingkat kesadaran terhadap Tuhan (taqwa) menjadi alat terpenting dalam proses perkembangan pribadi Qur’ani. Taqwa menjadi satu-satunya kriteria kemuliaan di antara manusia dalam penilaian Al-Qur’an. Maka kita mulai merasakan suatu konsep hidup yang komprehensif, yang menyatukan keyakinan, pengetahuan dan tindakan.
Kekuatan kita terhadap seluruh perspektif di atas (ingat Tuhan yang antroposentris), menghindarkan kita dari jalan yang pernah dilalui Mu’tazilah, teolog, filosof yang menghilangkan tujuan dan dasar utama Al-Qur’an dalam berbagai tingkat masalah. Setiap sekte berusaha mempertahakan atau menjelaskan Tuhan atas dasar prinsip tertentu karena kekurangan artikulasi pandangan dunia yang utuh dan saling terkait. Ketika Mu’tazilah mempertahankan keesaan dan keadilan Tuhan dengan mengorbankan rahmat dan pengampunanNya, filosof mereduksinya ke dalam prinsip yang tidak memuaskan karena terlepas dari penciptaan dan sejarah-Nya, sementara teolog yang yakin aspek kemahakuasaan dan kehendak-Nya yang sewenang-wenang, kesulitan menyatukan konsep ini dengan gagasan Al-Qur’an tentang kebebasan dan tanggung jawab manusia. Para sufi yang berusaha menggapai cita Al-Qur’an tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tenggelam dalam perjuangan egois yang mengabaikan persoalan-persoalan sosial politik, realisasi unsur-unsur keshalihan dan kesuksesan Islam yang penting. Kaum tradisionalis yang dengan waspada melindungi penggambaran literal Al-Qur’an jatuh ke dalam jurang antropomorpisme yang berbahaya yang menegasikan pernyataan terpenting Al-Qur’an tentang Tuhan: Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.
Demikianlah pengantar kami tentang konsep Tuhan, semoga bisa menjadi bahan diskusi kita bersama. Wallaahu muwaffiq ilaa aqwaam ath-thariiq.
Kategori